Advertorial

Terlalu Banyak Menonton TV Pasca Kerusuhan 22 Mei 2019 Bisa Berbahaya Bagi Kesehatan Mental

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah
,
Tatik Ariyani

Tim Redaksi

Menyaksikan liputan berita televisi mengenai teror dapat dikaitkan dengan tingkat stres pasca-trauma dan perasaan depresi yang lebih tinggi.
Menyaksikan liputan berita televisi mengenai teror dapat dikaitkan dengan tingkat stres pasca-trauma dan perasaan depresi yang lebih tinggi.

Intisari-Online.com - Kerusuhan yang terjadi 22 Mei 2019 seusai pengumuman akhir rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Presiden 2019 menyisakan banyak kerusakan dan trauma.

Dikutip dari Tribunnews, Polisi menyebut bahwa massa tersebut berasal dari luar daerah.

"Massa tersebut berasal dari luar daerah, Kami tegaskan bukan FPI, justry kami dibantu ulama FPI," Jelas Kombes Pol Hengki Riyadi.

Menurut keterangan, aksi kerusuhan dipicu dari aksi lempar batu di kawasan tersebut, terhadap aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.

Baca Juga: Harganya Tembus Rp400 Juta, Inilah Alasan Mengapa Orang Kaya Memelihara Cheetah

"Jadi awalnya ada sekelompok massa melempari kendaraan patroli polisi, (ini) perta," kata Hengki didampingi panglima FPI, Jakarta Habib Muchsin.

Tak hanya itu, kini kepolisian telah berhasil mengungkap sekelompok orang yang menunggangi aksi unjuk rasa menolak hasil Pilpres 2019 itu.

Dilansir dari Kompas.com, enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Kepolisian juga telah menyita empat senjata api ilegal sebagai barang bukti yang digunakan untuk membunuh empat tokoh nasional dan satu pimpinan lembaga survei.

Baca Juga: Tak Konsumsi Gula, Nenek 70 Tahun Ini Terlihat Seperti Usia 30 Tahunan: Ini Alasan Tak Konsumsi Gula Bikin Awet Muda

Sementara kepolisian masih mendalami kasus tersebut, terlalu banyak menonton televisi pasca kerusuhan ternyata bisa berbahaya.

Menyaksikan liputan berita televisi mengenai teror dapat dikaitkan dengan tingkat stres pasca-trauma dan perasaan depresi yang lebih tinggi.

Dilansir dari Live Science, para peneliti juga menunjukkan penurunan perasaan aman individu yang mengikuti berita teror.

Baca Juga: Camazotz, 'Dewa Batman' yang Disembah Suku Maya Kuno dan Dianggap Dapat Menyembuhkan Sekaligus Mematikan

"Kami memahami bahwa media memainkan peran penting dalam perasaan orang-orang tentang keselamatan atau perasaan ancaman di lingkungan," kata pemimpin penelitian, Holly Mash, asisten profesor penelitian psikiatri di Universitas Seragam Ilmu Kesehatan di Bethesda, Maryland, AS.

Dan semakin banyak televisi yang ditonton seseorang, semakin besar kemungkinan individu tersebut melaporkan gejala-gejala stres dan depresi pascatrauma.

Gejala-gejala stres pasca-trauma termasuk pikiran negatif, mimpi buruk dan perilaku menghindar.

Gejala depresi termasuk suasana hati yang tertekan, sulit berkonsentrasi, sulit tidur dan kurang tertarik pada hal-hal yang biasanya orang nikmati.

Para peneliti berpikir bahwa stres dan gejala depresi pasca-trauma dapat berasal dari perasaan kurang aman.

Baca Juga: Jokowi Tandatangani PP 30 tahun 2019, Kini PNS yang Berkinerja Buruk Bisa Dipecat

Dengan kata lain, semakin seseorang merasa tidak aman, semakin besar kemungkinan dia melaporkan gejala stres atau depresi pascatrauma.

Dan menonton lebih banyak liputan TV terkait kerusuhan, teror, dan pembunuh bayaran juga dikaitkan dengan penurunan perasaan aman.

Baca Juga: 64 Tahun Tak Pernah Tahu Pekerjaan Suaminya, Wanita Ini Temukan Kenyataan Mengejutkan Setelah Suaminya Meninggal

Artikel Terkait