Intisari-Online.com - Pasca PD II senjata nuklir tak hanya sebatas bom yang dijatuhkan dari perut pesawat seperti yang pernah dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki Jepang.
Dengan bantuan roket, senjata pamungkas itu bisa menghantam target tanpa perlu menebar risiko jatuhnya korban dari pihak kawan.
Pasalnya ledakan bom atom (nuklir) yang dijatuhkan dari pesawat ternyata sangat membahayakan pesawat pengangkut bom itu sendiri dan juga para pesawat pengiringnya (escort plane).
Sementara wahana pengangkut bom nuklir juga tak sebatas pesawat saja. Melainkan bisa juga menggunakan kapal selam yang notabene sulit terdeteksi kehadirannya.
(Baca juga: Inilah Rudal Nuklir ‘Setan 2’, Rudal Balistik Rusia yang Bisa Melenyapkan Seluruh Dunia Hanya Dengan Satu Serangan)
(Baca juga: 'Dipertemukan' oleh Serangan Rudal AS di Irak Saat Masih Kecil, Kisah Persahabatan 2 Orang Ini Sungguh Mengagumkan)
Membawa bom menggunakan wahana yang bisa meluncur telah dirintis oleh militer Nazi Jerman yang getol mengembangkan bom terbang V1/V2.
Berkat inovasi Nazi dalam pengembangan teknologi peroketan itu, membuat baik Sekutu maupun Rusia (Uni Soviet) tak perlu repot-repot lagi memulainya dari awal ketika membuat rudal.
Khususnya ketika dua negara itu terlibat persiangan ketat dalam upaya memprodruksi rudal balistik berhulu ledak nuklir ganda.
Pasalnya antara era 50 hingga 60-an, rudal jelajah umumnya hanya mengusung satu hulu ledak saja.
Namun pada era 70-an, memang muncul tren baru berupa rudal balistik berhulu ledak ganda (multi warhead).
Terobosan ini dikenal dengan nama MIRV (Multiple Independently-targetable Re-entry Vechile).
Ada keuntungan yang bisa didapat dari sistem ini. Dengan sekali lontar maka beberapa target lawan yang lokasinya terppisah-pisah bisa langsung dihancurkan.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR