Mengapa Polandia? Karena hanya negeri ini yang bersedia memberikan kredit.
Sesuai dengan keadaan waktu itu, untuk diproduksi di Indonesia, Nurtanio memilih pesawat Wilga --di Indonesia diganti namanya menjadi Gelatik. Di samping itu, ia menyiapkan juga kemungkinan-kemungkinan produksi Otter.
Sementara untuk KOPELAPIP, Nurtanio menyiapkan produksi Fokker F-27.
Menyiapkan tenaga personel
Salah satu tugas berat Nurtanio pastilah menyiapkan personel yang diperlukan. Ia tahu betapa sulitnya mempertemukan mereka yang berlatar belakang pengalaman dan mereka yang digodok pendidikan.
Untuk membuat tutup mesin, orang keluaran sekolahan menghitungnya berhari-hari, sedangkan orang yang ditempa pengalaman mengambil kawat lalu dilingkarkan di mesin. Berapa panjang kawat, itulah ukurannya.
(Baca juga: Wah Ternyata Bentuk Telinga Mampu Ungkapkan Kepribadian Anda Lho! Apa Bentuk Telinga Anda?)
LAPIP merekrut lulusan STM untuk menjadi foreman, lulusan ST untuk menjadi workman, dan sejumlah guru STM. Instruktur didatangkan dari Poladia. Tiap memberi instruksi, mereka didampingi guru STM.
Pada waktunya, eks guru STM inilah yang menggantikan instruktur-instruktur Polandia dalam pendidikan angkatan-angkatan berikutnya.
Anak-anak Nurtanio” tersebut, seperti juga seluruh fasilitasnya, kemudian diserap oleh IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT Dirgantara Indonesia) dan menjadi tenaga inti di bengkel-bengkel pabrik yang memroduksi CN-235.
Banyak juga dari mereka yang semula dididik untuk KOPELAPIP kemudian ditampung oleh TNI AU dan perusahaan-perusahaan penerbangan swasta. Ini jasa lain dari Nurtanio.
Tidak kepalang tanggung
Keliling dunia dengan pesawat buatan Bangsa Indonesia. Itulah salah satu keinginan Nurtanio. Untuk itulah, LAPIP merancang pesawat terbang dengan dasar Super Aero buatan Cekoslovakia, yang sudah bobrok dan terbuang di Bandara Kemayoran.
“Jangan bilang-bilang orang-orang dahulu,” kata Nurtanio kepada salah seorang stafnya. “Pesawat ini nanti akan diberi nama Arev (Api Revolusi) dan dipakai untuk terbang keliling dunia. Penerbangnya saya dan Bob (Budiarto Iskak).”
(Baca juga: Siapa Sangka, 7 Buah di Sekitar Anda Ini Ternyata Bisa Jadi Buah yang Beracun, Apa Saja Ya?)
Namun ketika tanggal 21 Maret 1966 ia untuk kesekian kalinya menguji-coba Arev, pesawat ini terbakar di udara dan jatuh di kota Bandung. Nurtanio gugur.
Beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, tiba-tiba saja Nurtanio punya pikiran yang disampaikan kepada stafnya: “Bagaimana kalau sekali-sekali kita mengadakan piknik dengan seluruh karyawan dan keluarganya? Semuanya bawa makanan masing-masing untuk kita makan bersama-sama.”
Piknik bersama itu berlangsung sehari sebelum kecelakaan, sehingga seperti pamitan antara bapak dengan anak-anaknya. Suasana ini berminggu-minggu jadi tekanan berat kepada anak-anak buahnya.
Mereka mengenal Nurtanio sebagai orang yang “lurus”, besar perhatiannya kepada anak buah, dan selalu mendorong mereka untuk terus belajar. Ia juga jujur; memeriksa dengan teliti pekerjaan pemborong dan tidak segan-segan memerintahkan untuk membongkar dan memperbaikinya, serta rajin mengembalikan hadiah rekanan.
Nurtanio adalah orang berpangkat yang rajin melayani pemuda-pemuda yang meminta penjelasan, sampai melayani surat-surat pemuda BJ Habibie, yang ketika itu belajar di Jerman. Orang penerbangan ini, uniknya masih memikirkan bagaimana memanfaatkan penerbangan untuk pertanian.
(Baca juga: BJ Habibie: Teknologi Itu Memudahkan Bukan Menyulitkan)
Nurtanio juga pekerja keras dan keluarganya tidak “macam-macam”. Ia seorang kepala yang sudah ada di kantor sebelum pukul 07.00, menerima sendiri apel anak buahnya, dan setiap hari pulang paling akhir.
Sekali pun ia bisa karib dengan Marsma TNI Leo Wattimena yang terkesan keras, Nurtanio yang lemah lembut seperti single fighter yang tidak punya kawan selama memimpin LAPIP. Namun ia sangat teguh menggapai cita-cita.
Setelah gugur –Nurtanio meninggalkan seorang istri dengan dua putra dan seorang putri-- pangkatnya dinaikkan setingkat menjadi Marsekal Muda.
(Ditulis oleh: Idrus Ismail (alm) –ditulis ulang Reni Rohmawati. Seperti pernah dimuat di Majalah Angkasa edisi no.1 Oktober 2015)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR