Dalam suatu pertunjukan, saya hampir saja tidak berkesempatan menyaksikan tarian teman saya yang menjadi medium. Dia melompat-lompat dalam trance dengan satu kaki. Pada ujung mulutnya keluar busa, keringat mengucur di sekujur tubuhnya yang telanjang itu.
Sebenarnya dia sudah lama tidak bisa menari lagi, tapi rupanya program rencana kunjungan para dewa sudah demikian ditentukan: para dewa mengabulkan permintaan mereka.
Membuat kredit untuk bayar kurban
Dalam perjalanan kembali ke kota, menjelang tengah malam, saya berjumpa dengan peziarah pertama dalam perjalanannya menuju Kuil Mazu. Di sana esok pagi akan diadakan pesta kurban besar dan puncak acara pada lusanya.
Saat itu ada arak-arakan berbagai benda menuju laut dan di sana dibakar. Upacara itu untuk menghormati Dewi Mazu.
Biaya untuk pesta Kuil Mazu itu sama seperti bila akan diadakan pesta Oktober, yaitu diperoleh dari kuil-kuil kecil masing-masing desa. Di Lu'ermen semuanya serba lebih besar. Mulainya saja sudah sejak 49 hari yang lalu.
Juga tempat mempersembahkan kurban luas sekali. Bisa jadi luasnya mencapai selusin lapangan bola. Pengunjungnya mencapai ratusan ribu orang. Polisi yang mengawasi kendaraan saja terbagi dalam dua ratus kelompok.
Lebih dari dua ribu ekor 'babi suci' menjadi kurban untuk dipersembahkan pada para roh. Di antaranya ada lima 'babi suci perkasa', yang beratnya lebih dari 600 kg. Jumlah pengunjung pertunjukan juga banyak sekali ditambah pedagang kaki lima dan tukang obat.
Konon pagi itu ada tiga orang pengemis yang datang dengan taksi.
Saya menanyakan tentang riwayat kelima ekor babi yang dianggap paling bagus dan paling gemuk itu. Binatang-binatang itu ternyata dari Taipeh, yang dipelihara selama lima tahun.
Apakah nama babi-babi itu? "Babi-babi itu dinamai Pangeran Babi Besar," jelas seorang pemuda yang membantu kawannya dalam upacara kurban itu.
Lima orang penyumbang menghasilkan dana sebesar 9.000 mark (± Rp 4,4 juta) dipakai untuk membeli kurban tersebut. Kini Pangeran Babi Besar yang sudah mati itu dinobatkan di sebuah pagoda dengan nenas di mulutnya.
Si pemuda yang menceritakan tentang riwayat babi itu pada kami, rupanya tidak begitu senang dengan kemewahan pesta itu. Menurut dia, pesta sate saja bisa menelan biaya besar sekali.
Walau tampaknya hanya sate. Uang kertas yang biasanya dibakar memang tidak ada harganya, tapi untuk itu perlu biaya besar. Rekannya, karena anjuran seorang tukang ramal harus membawa korban, sampai bikin kredit untuk itu.
Tiba-tiba sekelompok pendeta melompat ke tengah kerumunan massa, dipimpin seorang pria yang paling tua, dengan membawa belati di mulutnya.
"Itu bagian penyerbuan Mazu," jelasnya. "Para pendeta menguji apakah si dewa puas atau tidak dengan kurban itu."
Apakah pemuda itu percaya akan hal itu? "Ah, itu 'kan kebanyakan tidak betul," ujarnya tertawa. "Saya sendiri juga tidak begitu percaya." (Tilman Spengler)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1986)
(Baca juga: Heboh Pernikahan Sedarah di Riau, 4 Tokoh Dunia Ini Juga Ternyata Terlibat Kasus Inses)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR