Advertorial
Intisari-Online.com- Shell Shock adalah sindrome gangguan syaraf akibat Perang Dunia I (1914-1918) yang pertama kali disebutkan di media pada 1915.
Banyak tentara ditemukan mengidap shell shock karena sangat menderita dalam peperangan.
Hal itu dikarenakan pertempuran tiada henti dan ledakan-ledakan berat yang dihadapi.
Pasukan yang menderita shell sock akan mengalami kesusahan tidur, mereka selalu panik mendengar suara keras, tembakan, dan teriakan-teriakan serupa.
Baca Juga:4 Tradisi Tak Biasa yang Hanya Ada di Eropa, Salah Satunya Implan Perhiasan di Bola Mata
Shell Shock sungguh menyeramkan hingga mempengaruhi kemampuan mereka untuk berjalan dan berbicara.
Sejarah
Gejala yang terkait dengan shell sock mulai muncul pada tahap awal perang.
Pasukan Inggris adalah salah satu yang melaporkan gejala ini.
Ia dikaitkan dengan cidera kepala dan ditandai dengan tinnitus (mendengar hal yang tidak ada), sakit kepala, pusing, amnesia, dan tremor.
Pada 1914, jumlah tentara Inggris yang melaporkan gejala ini mencapai 4%, sedangkan untuk petugas mencapai 10%.
Shell shock yang berupa masalah psikologis dan emosional ditentang oleh sebagian besar dokter dan pejabat.
Menurut mereka itu adalah gangguan luar atau fisik.
Para penderita shell shock kemudian dicap sebagai seorang pengecut tidak berkarakter yang kehilangan kejantanan.
Baca Juga:Wow, Start Up Travel dari Solo Ini Meraih Penghargaan Internasional PBB di Spanyol
Korban atau Pengecut
Tentara Inggris yang menderita shell shock akan diadili karena kepengecutan dan desersi (pengingkaran tugas).
Bukanlah hal biasa bagi pasukan Inggris untuk dieksekusi karena kejahatan perang, tapi itu memang terjadi.
Sedikitnya lebih dari 3.000 tentara yang menerima hukuman mati.
Beberapa dihukum karena menjadi pengecut, namun kebanyakan karena dianggap desersi.