Keuntungan mereka masing-masing mencapai puluhan miliar dollar AS per tahun.
Jauh dari upah maksimal 2 dollar yang diterima anak-anak di Kongo.
Setahun saja, mereka paling banter meraup 712 dollar AS atau setara Rp9,9 juta.
Ketimpangan antara kesejahteraan anak-anak di Konga dengan vendor-vendor smartphone itu memicu Amnesty International mengkritisi proses yang terjadi selama ini.
"Industri tambang adalah tempat kerja terburuk bagi anak-anak, mengingat bahaya kesehatan dan keamanan yang ditimbulkan," kata tim peneliti dari Amnesty International Mark Dummet.
"Perusahaan-perusahaan dengan keuntungan total 125 triliun dollar AS tak bisa mengklaim mereka tak mampu mengecek dari mana komponen-komponen produk mereka berasal," ia menambahkan.
Setidaknya ada 16 perusahaan teknologi yang dimaksud Dummet, yakni Ahong, Apple, BYD, Daimler, Dell, HP, Huawei, Inventec, Lenovo, LG, Microsoft, Samsung, Sony, Vodafone, Volkswagen dan ZTE.
Melalui jalur diplomasi, Amnesty International dan Afrewatch meminta pemerintah menetapkan regulasi yang mengikat.
Mulai dari jejeran industri tambang, penyuplai, hingga pabrikan smartphone.
"Tanpa hukum yang mengharuskan perusahaan mengecek dari mana sumber komponen, mereka akan terus mengambil keuntungan dari penindasan hak asasi manusia. Pemerintah harus bertindak," kata Dummet. (Fatimah Kartini Bohang)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Derita Pekerja Anak di Tambang Bahan Baku Smartphone”
(Baca juga: Centang Biru WhatsApp Dimatikan, Begini Cara Mudah Tahu Pesan Kita Telah Dibaca)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR