"Tanah ini milik kami, sebagai orang Kristen, Yahudi dan Muslim. Orang luar tak boleh ikut campur urusan kami. Kami telah tinggal di sini selama berabad-abad sebagai saudara dan pemerintah menciptakan masalah," kata Jonathan.
"Masalah telah dimulai, dan saya rasa akan ada lagi lebih banyak kekerasan di seluruh negara," kata Jonathan yang bekerja di restoran di daerah kota tua.
Aktivitas Abeer, ibu empat putri ini selain bekerja di museum Masjid Al-Aqsa, juga memimpin organisasi perempuan Palestina.
"Berat kondisinya, berbeda dari satu hari ke hari lain tergantung situasi politik, tergantung apakah ada yang menghancurkan rumah atau menahan orang, setiap hari berbeda," tambahnya.
Sebelum pernyataan Trump sekalipun, kehidupan di Yerusalem, cerita Abeer sudah sulit dan penuh ketidakpastian.
"Sangat berat (kehidupan di sini), berlaku sistem apartheid, kami bisa dibunuh, diculik, diserang dan polisi merupakan bagian dari ini, mereka tidak mencoba membantu atau mencegah. Mereka bagian dari penyerangan. Mereka bisa menciduk Anda dari rumah Anda. Hidup kami seperti ini," tambahnya.
Setiap hari Abeer meninggalkan rumah pukul tujuh pagi dan mengantarkan empat putrinya ke sekolah yang hanya berjarak dua kilometer dari kediamannya.
Perjalanan mengantar anak ke sekolah hanya memakan waktu lima menit pada situasi normal, namun kondisi tak pernah bisa diprediksi.
"Mereka menutup jalan dan akibatnya pernah sampai kami tak boleh keluar rumah. Ada hari saat ada orang yang diserang, anak muda digeledah dan disuruh membuka baju, dipermalukan, diberhentikan di pos pemeriksaan, dan menunggu tanpa alasan jelas," kata Abeer.
(Baca juga: Israel Pindahkan Ibukota ke Yerusalem, Tugas Pasukan PBB Asal Indonesia pun Makin Berat)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR