Find Us On Social Media :

13 Tahun Meninggalnya Pejuang HAM Munir: Kisah Manusia Biasa Bernama Munir

By Ade Sulaeman, Kamis, 7 September 2017 | 14:45 WIB

Dalam sebuah wawancara, sambil menyantap sepiring mi goreng, Suciwati berbagi cerita.

Banyak hal yang mengesan-kan pada dia karena saya tidak melihat dia lepas-lepas. Dia adalah seorang ayah bagi anak-anakku, ia sangat akrab karena di saat-saat tertentu dia meman-dikan anak saya, menyuapi anak saya. Itu bukan hal yang mudah bagi seorang laki-laki yang hidup di keluarga patriarki jadi bagi saya dia luar biasa.

Tentu bagi saya itu hal yang khusus. Bagaimana saya mengenal dia, dia bisa enjoy banget dengan perdebatan-perdebatan di rumah tangga kami yang dinamis sekali. Di saat-saat khusus kami selalu ada. Bangun pagi, kami enggak langsung bangun tapi bercengkrama di kamar tidur. Anak-anak ber-kumpul di dalam kamar trus kita bercanda, baru satu jam atau setengah jam kemudian kita melakukan aktivitas.

Bahkan dia pasti meluangkan waktu untuk mengantar anak saya sekolah. Itu hal yang bagi saya luar biasa. Dia senang di kamar tidur, yang paling dia sukai itu memeluk dari bela-kang. Memeluk anaknya, memeluk istrinya dari belakang. Mengejutkan. Munir juga orang yang konyol. Kalo enggak ada dia, sepi. Enggak ada lo enggak rame (kalimat ini adalah slogan dari sebuah iklan rokok-pen).

Kalo dia libur itu, hobinya nonton film, masang musik ke-ras-keras dan kalo musiknya ritmenya cepat, dia akan ajak orang-orang joget. Anak-anak-nya ya diajak joget, istrinya juga.

Suciwati juga mengungkapkan sisi romantis Munir.

Ia menuturkan bahwa tiap pagi selalu pria kelahiran Malang ini memberinya kecupan dan mengatakan, “Aku cinta padamu”.

Saat merayakan ulang tahun pernikahan, Munir juga mengajaknya jalan berdua seperti orang pacaran.

Berantem profesional

“Cinta adalah apa yang tersisa setelah api jatuh cinta padam,” begitu kata pepatah. Cinta dan romance adalah dua hal yang kerap berbeda dan Munir serta Suciwati mengerti bahwa cinta bukanlah rasa meletup-letup ala film Hollywood.

Cinta bagi mereka bukan hanya kegiatan fisik dua manusia. Cinta punya implikasi luas: membangun masyarakat. Memperkuat bangsa. Berbakti pada Tuhan melalui pengabdian untuk sesama.

Kecintaan Munir terhadap keadilan dan kemanusiaan bisa kita telusuri lewat kehidupan Ibu Jamilah atau Umi, begitu beliau biasa dipanggil.

Beliau terkesan intelek walau tak pernah mengecap pendidikan formal sedikitpun.

Perempuan tangguh ini berhasil mendidik - bukan hanya “membesarkan” - tujuh anak, seorang diri.

Waktu Munir berusia 11 tahun, sebuah dokar yang ditarik sapi menabrak mobil yang ditumpangi ayahnya.

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, Abah, begitu beliau biasa dipanggil, akhirnya menghembuskan napas terakhir.