Find Us On Social Media :

'Go to Hell with Your Aid!' Saat Indonesia Memilih Keluar dari IMF pada 1965

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 10 Oktober 2018 | 12:30 WIB

Intisari-Online.com- IMF (International Monetary Fund) atau Dana Moneter Internasional didesain sebagai suatu bank sentral internasional.

Dibentuk pada 1944 dan kemudian diresmikan tahun 1945, IMF dapat memberikan bantuan kepada negara yang membutuhkan bantuan ekonomi.

Tak terkecuali bagi Indonesia.

Keanggotaan Indonesia di IMF sendiri didapatkan secara tidak langsung, meski nantinya tak menghindari momen Indonesia keluar dari IMF.

Baca Juga : Pemerintah Filipina Bakar 4 Kontainer Bantuan untuk Korban Yolanda, Apa Alasannya?

Hal itu dikarenakan Indonesia bergabung dalam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 28 September 1950.

Saat itu, aturan main menyatakan bahwa negara yang menjadi anggota PBB akan secara otomatis menjadi anggota di IMF dan Bank Dunia.

Sementara keanggotaan Indonesia di PBB sendiri adalah hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949-1950.

Baca Juga : 10 Perang Terlama dalam Sejarah, Salah Satunya Perang Aceh yang Bikin Belanda Frustasi

Sebuah pengakuan kemerdekaan Indonesia pertama kalinya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pengakuan kemerdekaan ini didapat setelah pemerintah Indonesia mau menanggung beban utang.

Kemudian sejak 1950, Indonesia seketika memiliki utang utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru senilai 3,8 miliar dollar AS.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia inilah, Indonesia yang berada di bawah pimpinan Soekarno jelas mengalami masalah ekonomi pascaperang kemerdekaan.

Persis pada Agustus 1956, Indonesia pun kemudian memperoleh pinjaman dari IMF sebesar US$55 juta.

Dalam suasana Perang Dingin dan dengan Gerakan Non Blok yang Indonesia anut, isu terkait arah pemerintahan yang akan cenderung memihak kanan kapitalis atau kiri komunis tetap berada dalam posisi stabil.

Baca Juga : Pertemuan IMF-World Bank Tuai Kontroversi, Inilah Kali Pertama Indonesia Berutang kepada IMF

Namun, bukanlah hal rahasia lagi jika AS melalui IMF berusaha 'membujuk' Indonesia agar bergabung mendukung kekuatan blok barat AS.

Pada Mei 1963, Pemerintah bersama tim dari IMF menyusun program stabilitas ekonomi dan diikuti dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon).

Hal itu dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan harapan dapat membangun kembali ekonomi Indonesia melalui jalan kapitalis-liberal.

Tak pelak hal itu pun menimbulkan reaksi dari golongan kiri PKI yang kemudian menyerang program berbau kapitalis-liberal berhaluan IMF dan kreditur barat itu.

Baca Juga : Utang Negaranya Terus Menggunung, Mahathir Malah Tolak Donasi Rp365,4 Miliar untuk Lunasi Utang Tersebut

Protes pun dilakukan dan segera bergabung dalam satu suara Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan kelompok-kelompok mahasiswa.

Bereaksi terhadap protes, pada 7 September 1963 presiden Soekarno akhirnya setuju untuk mengoreksi program bersama dengan IMF tersebut.

Namun, tahun 1963 tersebut juga sekaligus menjadi tahun yang menegangkan antara Indonesia dengan Barat (AS dan Inggris).

Hal itu karena Inggris telah mengakui kemerdekaan Malaysia dan Soekarno menganggap tindakan itu dapat mengganggu kestabilan Asia Tenggara.

Indonesia kemudian berbalik arah dan mulai menjalin hubungan dengan China.

Tak tanggung-tanggung, Soekarno juga membentuk poros Jakarta-Peking-Phom Penh-Pyongyang, aliansi yang kemudian mengkampanyekan "Ganyang Malaysia."

Baca Juga : Benarkah Soekarno Sudah Tahu Rencana G30S Bahkan Berniat Sembunyikan Jejak Para Jenderal yang Diculik?

Atas tingkah Indonesia tersebut, AS mulai menuntut agar Indonesia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

AS menggunakan tuntutan itu sebagai syarat agar pinjaman IMF berikutnya yang telah disetujui sebelumnya dapat cair.

Namun, dengan gagah berani Soekarno berkata "go to hell with your aid" kepada AS melalui pidato 17 Agustus 1965 dan mengakhiri kerjasama dengan IMF (termasuk dengan Bank Dunia).

Indonesia keluar dari IMF hingga kembali bergabung lagi pada 1967 saat tampuk kekuasan diduduki oleh Soeharto.