Find Us On Social Media :

'Go to Hell with Your Aid!' Saat Indonesia Memilih Keluar dari IMF pada 1965

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 10 Oktober 2018 | 12:30 WIB

Kemudian sejak 1950, Indonesia seketika memiliki utang utang luar negeri warisan Hindia Belanda senilai 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru senilai 3,8 miliar dollar AS.

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia inilah, Indonesia yang berada di bawah pimpinan Soekarno jelas mengalami masalah ekonomi pascaperang kemerdekaan.

Persis pada Agustus 1956, Indonesia pun kemudian memperoleh pinjaman dari IMF sebesar US$55 juta.

Dalam suasana Perang Dingin dan dengan Gerakan Non Blok yang Indonesia anut, isu terkait arah pemerintahan yang akan cenderung memihak kanan kapitalis atau kiri komunis tetap berada dalam posisi stabil.

Baca Juga : Pertemuan IMF-World Bank Tuai Kontroversi, Inilah Kali Pertama Indonesia Berutang kepada IMF

Namun, bukanlah hal rahasia lagi jika AS melalui IMF berusaha 'membujuk' Indonesia agar bergabung mendukung kekuatan blok barat AS.

Pada Mei 1963, Pemerintah bersama tim dari IMF menyusun program stabilitas ekonomi dan diikuti dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon).

Hal itu dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan harapan dapat membangun kembali ekonomi Indonesia melalui jalan kapitalis-liberal.

Tak pelak hal itu pun menimbulkan reaksi dari golongan kiri PKI yang kemudian menyerang program berbau kapitalis-liberal berhaluan IMF dan kreditur barat itu.

Baca Juga : Utang Negaranya Terus Menggunung, Mahathir Malah Tolak Donasi Rp365,4 Miliar untuk Lunasi Utang Tersebut

Protes pun dilakukan dan segera bergabung dalam satu suara Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan kelompok-kelompok mahasiswa.

Bereaksi terhadap protes, pada 7 September 1963 presiden Soekarno akhirnya setuju untuk mengoreksi program bersama dengan IMF tersebut.