Find Us On Social Media :

Panglima Besar Sudirman, Manusia Multidimensi yang Rela Korbankan Segalanya

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 2 Oktober 2018 | 15:30 WIB

Sudirman bersimpati dengan kelompok Tan Malaka yang mempelopori Persatuan Perjuangan yang menuntut syarat perundingan dengan Belanda adalah "Merdeka 100%". Sudirman mengatakan "Lebih baik kita diatom daripada tidak merdeka 100%."

Baca Juga : Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pahlawan Sejati yang Mendapat Pangkat Jenderal Penuh Justru Setelah Meninggal

Namun  terdapat kontroversi dalam kasus 3 Juli 1946 ketika serombongan tokoh datang ke Istana di Yogyakarta menuntut penggantian kabinet. Dalam sejarah resmi yang dituding terlibat adalah pendukung Tan Malaka.

Pemerintah Sukarno-Hatta tidak menuduh Sudirman, jika ini dilakukan, tentu akan muncul reaksi keras dari para prajurit. Pada buku Harry Poeze mengenai Tan Malaka (jilid 2, tahun 2009) diuraikan tentang sejauh mana keterlibatan Sudirman dalam peristiwa tersebut.

Dalam buku karya Paul Stange, Kejawen Modern (2009), disebutkan Sudirman menghadiri pertemuan kebatinan Sumarah. Pada masa revolusi kelompok ini cukup banyak pengikutnya di kalangan tentara, yang dipercayai dapat memberi ilmu kebal atau tidak kelihatan oleh musuh.

Selama ini Sudirman dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah dan kepanduan Hizbul Wathan, namun apakah ia juga mengikuti ajaran kebatinan Sumarah? Sampai kini masih menjadi tanda tanya.

Baca Juga : HUT TNI: Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar

la menderita sakit TBC dan dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Sebagai tanda terima kasih ia sempat menulis puisi "Rumah nan Bahagia" yang kemudian diabadikan pada salah satu ruangan tempat ia dirawat.

Sebelah paru-parunya "diistirahatkan" dan ketika bergerilya setelah Agresi Militer II Desember 1948, ia ditandu dengan hanya sebelah paru-paru.

Ketika itu streptomisin baru ditemukan dan pemerintah berupaya mendapatkannya di Jakarta yang sudah dikuasai Belanda, untuk mengobati Sudirman.

Namun karena uang rupiah tidak diakui Belanda, maka obat itu diperoleh secara susah payah dengan barter batik tulis halus dari Yogyakarta. Sudirman sendiri membawa perhiasan istrinya agar dapat digunakan sebagai biaya hidup ketika bergerilya.

Baca Juga : Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar: Jenderal yang Tak Sudi Dilecehkan