Find Us On Social Media :

Panglima Besar Sudirman, Manusia Multidimensi yang Rela Korbankan Segalanya

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 2 Oktober 2018 | 15:30 WIB

Mungkin sampai satu batalion dan kita tidak memiliki personil sebanyak itu khusus untuk keperluan tersebut. Tertawannya para pemimpin oleh Belanda di sisi lain membuat peluang untuk berunding selalu tersedia ketimbang berada di tengah rimba.

Hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, ibukota negara Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit menolak anjuran Presiden Sukarno untuk tetap berada di dalam kota untuk istirahat dan berobat.

Baca Juga : Seandainya Tokoh-tokoh PKI Lebih Cepat Bertindak, Entah Apa Jadinya Kota Yogyakarta

Sebaliknya, Sudirman memutuskan untuk meneruskan perjuangan bersenjata prajuritnya dengan dukungan rakyat. Setelah mengeluarkan Surat Perintah Kilat (dikenal sebagai Perintah Siasat No. 1/Stop/1948) kepada seluruh prajurit yang disiarkan melalui RRI Yogyakarta, ia meninggalkan kota.

Sesuai dengan rencana, Jenderal Sudirman akan memusatkan perlawanan dari Kota Kediri. Tanggal 20 Desember 1948 dari kelurahan Grogol, ia harus naik tandu yang diusung secara bergantian oleh penduduk setempat.

Perjalanan menuju Kediri dilalui dalam beberapa etape. Dalam perjalanan gerilya tersebut, pada tanggal 31 Maret menjelang 1 April 1949, rombongan sampai di rumah Karsosemito di Dukuh Sobo, Pakis, Nawangan, Pacitan.

Sebelumnya, karena perjalanan masih menuruni tebing gunung yang curam, atas permintaan Kepala Desa Pakis, rombongan Sudirman berhenti di punggung Gunung Gandrung untuk mengganti tenaga pendukung tandu, sekaligus memperbaiki tali temali pengikat kursi tandu.

Baca Juga : Laiknya Superman, Pasukan Khusus TNI Juga Punya Kemampuan Super tapi Hanya Digunakan dalam Waktu Singkat

Dalam perjalanan menuju Sobo, Jenderal Sudirman mengenakan destar hitam di kepala, berbaju kaos tebal yang dilapisi jas hujan, sebuah keris terselip di pinggang, memakai selop, duduk di atas tandu sambil memegang tongkat.

Sobo ternyata menjadi tempat Jenderal Sudirman memimpin gerilya paling lama sebelum kembaii ke Yogyakarta (1 April 1949 - 7 Juli 1949).

Setelah kesepakatan Roem-Royen ditandatangani, pemerintahan dikembalikan ke Yogyakarta. Namun Sudirman masih enggan turun dari markasnya. Gatot Subroto menulis surat untuk membujuk sang jenderal.

Letkol. Soeharto yang didampingi fotografer Frans Mendur (IPPHOS) dan wartawan Rosihan Anwar ditugaskan menjemput Jenderal Sudirman dari markasnya di daerah Wonosari.