Advertorial
Intisari-Online.com -"Waktu rasanya berjalan amat kencang," tulis Oetojo lagi, yang waktu itu bertugas sebagai anggota regu pengawal Panglima di rumah dinas Pak Dirman di Bintaran Tengah, Yogya.
"Ketika matahari sudah mulai menyengat, seorang kapten keluar dari rumah membawa secarik kertas dari Pak Dirman ke pos jaga tempat saya bertugas. Saya harus membacakan isinya, berupa tulisan tangan, kata demi kata lewat telepon di rumah jaga ke RRI Yogya agar disiarkan ke seluruh negeri."
Isi pokoknya ialah perintah kilat kepada seluruh angkatan perang bahwa RI diserang Belanda lewat lapangan terbang Maguwo.
Semua anggota TNI harus menjalankan tugas masing-masing sesuai rencana yang sudah ditetapkan.
Tidak lama kemudian, Ajudan Panglima, Kapten Soepardjo Roestam, diutus ke Gedung Agung untuk menyampaikan kepada Presiden agar bersiap-siap meninggalkan kota.
(Baca juga:HUT TNI: Jenderal Soedirman, Sang Guru yang Jadi Panglima Besar)
Gedung Agung di Jalan Malioboro, di tengah kota, adalah bekas kediaman Gubernur Belanda yang ditempati Presiden RI zaman perang kemerdekaan.
Tetapi, sampai siang hari, Kapten Soepardjo belum kembali.
Karena habis kesabarannya, Pak Dirman memutuskan untuk berangkat sendiri ke Gedung Agung.
Dalam keadaan sakit dan masih mengenakan piyama ditutup mantel tentara warna hijau, denganblangkon(ikat kepala)wulung(hitam), ia hendak menemui Presiden Soekarno untuk mendapatkan keputusan, kebijakan apa yang harus diambil dalam situasi gawat ini.
Namun, setiba di Gedung Agung, Pak Dirman tidak dapat segera bertemu dengan Presiden, karena harus menunggu dimulainya sidang kabinet di ruang tamu.
(Baca juga:HUT TNI: Jenderal Soedirman, Jenderal yang Tak Sudi Dilecehkan dan Biasa Ambil Risiko)
Sementara itu, serangan udara Belanda makin gencar.
Benteng Vredeburg di depan Gedung Agung ditembaki dan dibom sampai salah satu bangunan yang ditempati Kementerian Pertahanan hancur.
Tetapi sidang kabinet belum juga dimulai, karena menunggu kedatangan Wakil Presiden Mohamad Hatta dari Kaliurang.
Pak Dirman merasa tidak berhasil menemui Presiden, dan minta kepada pengawalnya agar diantar kembali ke rumah dinasnya.
Sudah bulat tekadnya untuk meninggalkan kota, dan mengatur siasat dari luar Yogya saja.
Pukul 11.30, Pak Dirman meninggalkan kota dengan mobil tentara bersama dr. Soewondo (dokter pribadinya), Kapten Soepardjo Roestam, dan Kapten Tjokropranolo (pengawal pribadinya).
Sesuai rencana, mereka bertolak ke Kediri. Dari kota itulah perlawanan akan diatur. Tentara Belanda waktu itu hanya menguasai kota-kota besar di pantai utara.
Daerah pantai selatan Jawa masih dikuasai RI.
Berkali-Kali Terhindar dari Maut
"Dengan dikawal pasukan kecil (tanpa bekal uang dari pemerintah), rombongan Jenderal Soedirman tiba di Kediri tanggal 23 Desember 1948, setelah melalui Grogol, Wonogiri, Jetis (Ponorogo), dan Bendo (Trenggalek)," tulis Pierre Heyboer dalam bukuDe Politionele Acties.De strijd om Indie, 1945/1949, tentangJenderalSeodirman, sang guru yang jadi Panglima Besaryang tengah diburu-buru oleh tentara Belanda.
Usaha menghabisi Panglima terjadi lagi di desa Karangnongko (10 km barat Kota Kediri).
Ketika rombongan sedang beristirahat di desa itu, datanglah seseorang tak dikenal mencari Jenderal Soedirman.
Ini jelas mencurigakan! Orang tak dikenal kok mencari Jenderal Panglima Angkatan Perang.
Karena curiga, Pak Dirman dan Kolonel Bambang Soepeno meninggalkan rumah penginapan pada pukul 05.00, dan masuk ke dalam hutan dengan berjalan kaki.
Setelah fajar menyingsing, Letnan Heru Keser, pengawal yang masih tinggal di rumah penginapan, disuruh Kapten Soepardjo agar mengenakan iket wulung dan mantel yang selalu dipakai Panglima.
Sosok tubuhnya sama dengan Pak Dirman.
Kemudian dengan disaksikan orang banyak, "Pak Dirman" yang ini ditandu ke luar rumah menuju Selatan, dan berhenti di sebuah rumah untuk menginap.
Kemudian dengan diam-diam Letnan Heru Keser, sudah berganti pakaian, meninggalkan rumah itu bersama Kapten Soepardjo.
Sorenya, rumah itu diserang habis-habisan oleh tiga pesawat pemburu Belanda yang memuntahkan peluru senapan mesinnya secara bergantian!
Percobaan pembunuhan masih terjadi dua kali lagi. Pertama di Sedayu, sebelah barat G. Wilis.
Pengawalnya bertempur dengan patroli Belanda yang berangkat dari Ponorogo tanggal 17 Januari 1949. Dukuh Sedayu digeledah.
Rumah-rumah penduduk dimasuki untuk dicari Jenderal Soedirmannya. Padahal Pak Dirman bersembunyi di semak-semak dalam hutan rotan.
Empat hari kemudian, hutan itu dikepung.
Namun, malam hari sebelumnya, Pak Dirman sudah meloloskan diri dalam gelapnya malam gulita, dipapah oleh dua orang pengawal.
Tak berhasil dengan sergapan ini, tentara Belanda mencoba sekali lagi, dengan menerjunkan pasukan payung di sekitar Wonogiri.
Tetapi sekali lagi, Pak Dirman lolos, karena sudah berada di Dukuh Sobo, ±80 km timur Wonosari.
Tanggal 31 Maret 1949, romongan Panglima tiba di rumah Kebayan Karsosemito di Dukuh Sobo.
"Dukuh ini tidak pernah dikenal orang, dari dulu sampai sekarang," tulis Tjokropranolo.
"Tetapi tempat itu paling ideal untuk memimpin perang gerilya. Di dukuh itulah Panglima menetap paling lama, karena paling aman dibanding dengan tempat lain."
Kurir dikirim ke berbagai daerah untuk menyampaikan perintah militer dan mendapatkan berita perkembangan situasi di lapangan.
Banyak sekali komandan pasukan dan pejabat pemerintah dalam pengasingan yang meminta petunjuk, apa yang harus dilakukan untuk menjalankan pemerintahan di daerah yang terpisah dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Presiden Syafruddin Prawiranegara di Sumatera.
(Sesaat sebelum ditawan Belanda, Presiden Soekarno memang telah menyerah-terimakan kekuasaan RI kepada Syafruddin Prawiranegara.)
Hari-hari terakhir
Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem – van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan.
Usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda.
Panglima Soedirman memasuki Kota Yogya lagi dari Desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.
Sayang, Pak Dirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut.
Kuman tuberkulosis yang semakin menggerogoti paru-parunya selama ia berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkan dia.
Pada tanggal 29 Januari 1950 ia meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Artikel ini pernah dimuat diIntisariedisi Oktober 2000 dengan judul "Soedirman Sang Guru yang Jadi Panglima" dan ditulis ulang oleh Moh Habib Asyhad.