Intisari-Online.com - Pengalaman buruk dengan pesawat terbang, apalagi kecelakaan, selalu memberi getaran rasa ngeri yang kuat bagi siapa pun. Bagi penyintas atau orang yang lolos dari celaka, pengalaman itu memberi torehan makna tersendiri dalam hidup mereka sesudahnya.
Masih begitu lekat dalam ingatan Letnan Kolonel Nav Arif B (41) pengalaman menggetarkan jiwa pada hari Lebaran tahun 2003. Kala itu, ia bertugas sebagai navigator pesawat Hercules yang terbang dari Lanud Halim Perdanakusuma di Jakarta menuju Lanud Abdul Rachman Saleh di Malang.
Malam sebelumnya, Arif terbang dengan pesawat yang sama dari Medan ke Jakarta (Halim) melalui Pekanbaru dan Palembang. Penerbangan berlangsung lancar tanpa kendala apa pun. "Pada saat itu malam Lebaran. Kami tiba di Halim saat magrib dan sudah takbiran. Malam itu kami mendapat perintah untuk terbang ke Malang keesokannya setelah shalat Id," cerita Arif.
Hercules berpenumpang sekitar seratusan orang itu mampir di Yogyakarta dan Madiun untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Dari Madiun, pesawat lanjut terbang menuju Malang. Arif sempat melihat langit menuju timur berawan tebal dan mengusulkan penerbangan ditunda. Namun, sang kapten saat itu akhirnya memutuskan terus lanjut dan melewati jalur normal seperti biasa.
Ketika mendekati Kota Mojokerto, di ketinggian 9.500 kaki, sisi kanan dan kiri pesawat ada awan tebal, tetapi di area tengah bersih dan jelas. Tiba-tiba, pesawat seperti kehilangan daya, padahal mesin tetap hidup. "Pesawat tiba-tiba menukik ke bawah, mesin tetap hidup, tetapi tidak punya daya angkat sama sekali," kata Arif.
Pesawat terjun bebas dalam keadaan berputar menyerupai spiral. Suasana di kokpit pesawat pun benar-benar tegang. Tak ada daya untuk mengubah keadaan selain ucapan-ucapan istigfar.
"Saya hanya terpikir ini mungkin waktunya saya mati. Kita sudah di pintu nyawa mau dicabut. Kita enggak berdaya, mau lari ke mana pun enggak bisa. Yang berkelebat di kepala saya hanya wajah keluarga, bapak, ibu, istri, saudara-saudara. Mereka belum saya telepon, belum minta maaf," kenang Arif, yang ketika itu belum punya momongan.
Setelah sekitar 2,5 menit terjun bebas menukik ke daratan, tiba-tiba di ketinggian sekitar 2500 kaki, pesawat tiba-tiba kembali normal dengan sendirinya. Kekuatan pesawat kembali muncul dan berhasil keluar dari kondisi horor tersebut. "Perhitungan saya, seandainya pesawat itu masih terus menukik ke darat, dalam 20 detik lagi sudah sampai tanah," ujar Arif, ayah dari dua anak usia 11 tahun dan 6 tahun.
Hercules itu pun akhirnya mendarat dengan selamat di Malang. "Kami seperti sudah di gerbang kematian," kata Arif.
Kekuatan Lain
Peristiwa pesawat hilang daya itu, menurut Arif, belakangan terungkap akibat dari pertemuan dua arus udara di antara dua awan tebal. Arus udara dengan energi besar itulah yang membuat Hercules kehilangan daya sekalipun mesin tetap menyala normal.
Hingga kini, meski peristiwa itu telah lama terjadi, pengalaman selama 2,5 menit dalam hidupnya itu masih terekam lekat dalam ingatannya. Pengalaman itu memberinya pelajaran penting, tidak hanya soal pengetahuan dalam penerbangan, tetapi juga hal-hal yang terukur dalam nalarnya.
Arif yang semula terbilang tipe yang mengandalkan perencanaan matang, persiapan, dan segala hal yang terukur logika, kini mencoba lebih menyadari ada kekuatan lain yang senantiasa mengintai di luar kendalinya. Peristiwa itu pada akhirnya mengubah cara pandang Arif dalam hidup.
"Baru sadar, setangguh-tangguhnya kita, kita enggak ada apa-apanya. Pada dasarnya, kita harus selalu ingat kekuatan di luar sana yang lebih mampu daripada kita. Kita sudah dilatih menguasai pesawat, kita yakin semua bisa. Namun, kita harus sadar itu masih bukan apa-apa ketika bertemu kekuatan yang besar. Orang bisa anggap itu fenomena alam. Buat saya itu dua-duanya, kekuatan alam dan kehendak Tuhan. Jangan sampai kita meremehkan itu," kata Arif.
Kobaran api
Pengalaman mengerikan yang mengancam nyawa juga sempat dialami Adrianus Meliala, kriminolog dari Universitas Indonesia. Adrianus lolos dari maut dalam peristiwa kecelakaan pesawat Garuda Boeing 737-400 bernomor penerbangan GA-200 pada 7 Maret 2007 di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat yang ditumpanginya itu tergelincir di ujung timur landasan pacu kemudian terperosok di kebun kacang sehingga berakibat badan pesawat terbakar dan meledak.
Saat peristiwa yang memakan 22 korban jiwa itu, Adrianus mengaku masih tetap dapat berpikir dengan jernih sekalipun kondisi di dalam kabin tengah porak-poranda dan dilanda histeria penumpang. Ia masih sempat mencari kacamatanya sebelum berusaha mencari jalan keluar. "Saya masih bisa berpikir cukup jernih dan berhitung bagaimana cara meloloskan diri. Asap sudah di mana-mana," kenang Adrianus.
Ketika itu, Adrianus yang berbadan besar memutuskan tidak mengambil jalan keluar pesawat yang dipenuhi arus penumpang. "Badan saya, kan, besar, kasihan orang-orang di depan saya kalau kita berdesak-desakan di situ. Akhirnya, saya belok kanan, ambil jalan keluar lewat pintu darurat yang lain," kata Adrianus.
Adrianus dengan perhitungannya nekat memilih pintu darurat yang sebenarnya telah dipenuhi kobaran api. Jalur itu dilalui oleh tiga orang, termasuk Adrianus. Namun, orang yang melompat setelah Adrianus menderita luka bakar lebih parah karena api sudah terburu berkobar terlalu besar.
Keputusannya itu, meski membuat tubuhnya mengalami luka bakar 30 persen, berhasil menyelamatkan jiwanya. Ketika itu, ia amat optimistis bisa selamat dari kecelakaan itu. "Dorongan untuk keluar dari kecelakaan itu begitu besar," kata Adrianus.
Berani melawan
Meski masih tersisa rasa kengerian yang hebat dalam benaknya, Adrianus adalah satu dari segelintir penyintas yang mampu mengingat cukup detail detik-detik saat peristiwa itu terjadi. "Mungkin karena pikiran saya masih bisa tetap cukup jernih saat kecelakaan, jadi saya masih bisa recall (mengingat) dengan baik peristiwa itu," kata Adrianus.
Kendati mentalnya cukup tangguh, menaklukkan rasa takut setelah kecelakaan tidaklah mudah baginya. Enam bulan setelah peristiwa itu, Adrianus baru berani terbang kembali dengan pesawat. Sejak itu, selama beberapa bulan, setiap kali pergi terbang dengan pesawat, Adrianus ditemani istrinya, Rosari Ginting. Ketika hendak mendarat, Adrianus kerap dilanda ketakutan dan dia akan menggenggam tangan sang istri kuat-kuat. "Waktu itu, setiap terbang, saya sampai selalu harus bawa celana ganti karena sampai mengompol," kenangnya.
Lama-lama, ketakutan itu menyurut jauh dalam waktu satu tahun. Namun, kemudian muncul kebiasaan yang sebelumnya tak ada. Setiap kali hendak terbang, Adrianus selalu datang ke bandara jauh lebih awal, sekitar tiga jam sebelum waktu keberangkatan. Tujuannya supaya bisa check in paling pertama demi mendapatkan kursi penumpang di bagian paling belakang.
"Setelah peristiwa itu, setelah banyak ngobrol dengan pilot-pilot, teknisi, dan orang-orang yang mengerti, saya jadi selalu memilih kursi paling belakang. Itu tempat yang paling tidak disukai karena guncangannya terasa kuat, tetapi paling besar kemungkinan selamat kalau terjadi sesuatu," kata Adrianus.
Setelah kecelakaan itu, Adrianus mulai melibatkan diri lebih banyak untuk organisasi yang bertujuan sosial. Adrianus berkomitmen untuk lebih mendedikasikan dirinya pada berbagai kepentingan sosial yang memberi manfaat bagi orang banyak. Perjalanan hidupnya yang dirasakannya telah penuh juga membuat dirinya kini lebih terpanggil untuk memberi dalam bentuk apa pun. (Sarie Febriane/kompas.com)