Find Us On Social Media :

Panglima Besar Sudirman, Manusia Multidimensi yang Rela Korbankan Segalanya

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 2 Oktober 2018 | 15:30 WIB

Intisari-Online.com – Jelang Pemilu, partai-partai politik biasanya berlomba menebar pesona. Para "pemimpin" dadakan pun bermunculan ini. Padahal, memimpin bangsa bukan kecakapan instan. Ada proses penempaan, seperti kisah para bapak bangsa berikut ini.

Bapak bangsa yang diulas berikut ini adalah Jenderal Besar Sudirman, ditulis oleh Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, dan pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 2009.

Jenderal Sudirman adalah tokoh yang sangat dikenal dalam sejarah Indonesia. Bukan hanya digunakan sebagai nama jalan di berbagai kota, wajahnya juga pernah menghiasi uang kertas dan logam.

Dalam buku pendidikan sejarah semasa Orde Baru, perjuangan gerilya sang Panglima Besar diceritakan "cuma" dalam beberapa halaman saja.

Baca Juga : Istri Jenderal Sudirman: 7 Bulan Kami Ditinggalkan, Baru 7 Bulan Berkumpul, Beliau Justru Pergi Selamanya

Penggambaran Sudirman umumnya pun hanya satu dimensi: kurus, lugu, berjuang tanpa pamrih, sakit tapi pantang menyerah. Lihatlah patungnya yang terbuat dari perunggu setinggi 6 m, karya dosen ITB Sunaryo, senilai Rp 6,5 miliar di Jln. Jend. Sudirman Jakarta, yang dibuat pada 2003.

Yang tampak hanya keteguhan tanpa emosi. Patungnya di depan gedung DPRD Yogyakarta yang dibuat seniman Hendra Gunawan dari Sanggar Pelukis Rakyat tahun 1950-an juga senada, walaupun terkesan agak jelata.

Padahal Sudirman memiliki nuansa lebih dari itu: ia seorang guru dan kepala sekolah yang bisa membuat sajak, pendiri koperasi, pemain sandiwara, dan pesepakbola (bermain sebagai pemain belakang pada Bond Banyumas). Juga pernah berpolitik dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Berkorban jiwa, raga, dan harta

Baca Juga : Jokowi Membacakan Pesan Jenderal Sudirman Sebagai Pernyataan Penutup Debat Kandidat Ketiga

Lahir pada 24 Januari 1916 di Purbalingga dan meninggal di Yogyakarta pada 29 Januari 1950, Sudirman merupakan pejuang yang mati muda (dalam usia 34 tahun).

Pada umur 29 ia sudah menjadi panglima angkatan bersenjata (waktu itu bernama Tentara Keamanan Rakyat - TKR) yang uniknya terpilih secara demokratis di antara para komandan dari berbagai daerah.

Keraguan pimpinan negara terhadap Sudirman sirna ketika ia membuktikan kemampuannya mengusir pasukan Sekutu yang jauh lebih canggih persenjataannya dengan strategi "Supit Urang" yang menjepit musuh dari dua sisi di Ambarawa.