Advertorial
Intisari-Online.com -Adanya ulah dari oknum TNI yang masih suka main pukul atau tendang terhadap warga sipil yang dianggap ‘berani memerintah dan membangkang’ kemungkinan besar akibat kultur dan mentalitas ABRI/TNI di era Orde Baru.
Pada jaman pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, institusi ABRI yang sengaja digunakan sebagai alat politik, kekuasan, dan penegakkan hukum bagi kalangan sipil pengaruhnya memang sangat dominan.
Apalagi pada era Orde Baru personel Polri juga merupakan anggota ABRI, sehingga para anggota ABRI pun bisa bertindak ‘ala’ Polisi.
Misalnya anggota ABRI bisa menangkap penjahat atau orang yang dianggap penjahat lalu membawanya ke Koramil setempat untuk ‘diinterogasi’ sebelum akhirnya dibawa ke kantor polisi.
Baca juga:'Viral' Video Oknum TNI Tendang Petugas SPBU di Medan Gara-gara Salah Antre, Ini Faktanya
Intinya keberadaan anggota ABRI di era Orde Baru begitu berkuasa dan juga sangat disegani serta selalu mendapat perlakuan istimewa.
Misalnya, dalam antrean untuk kepentingan apapun, di era Orde Baru anggota ABRI tidak pernah ikut mengantri karena selalu mendapat prioritas.
Kalau ada anggota ABRI yang ikut mengantri malah tampak aneh.
Para warga pun yang merasa segan dan tidak enak hati biasanya langsung memberikan prioritas bagi anggota ABRI bersangkutan.
Baca juga:Kendaraan TNI Memang Boleh Diperlakukan Khusus di Jalan Umum, Tapi Ada Syaratnya
Di jalan raya di era Orde Baru, mobil atau motor berplat TNI juga selalu mendapat prioritas sehingga selalu didahulukan atau diberi jalan ketika macet, ketika masuk tol, dapat tempat khusus dan tidak bayar di tempat parkir manapun, dan lainnya.
Untuk menyalip kendaraan berplat TNI di era Orde Baru, para pengendara sipil juga harus hati-hati dan sopan dengan cara membuka jendela dan melontarkan senyum hormat sambil menganggukkan kepala.
Era ‘kejayaan’ anggota ABRI yang selalu mendapat prioritas dan menjadi orang istimewa itu akhirnya pudar ketika Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998 disusul bergantinya pemerintahan reformasi RI.
Akibat reformasi di tubuh ABRI yang kemudian berubah nama jadi TNI dan sekaligus terpisah dari Polri, karakter dan mentalitas prajurit TNI pun berubah total.
Mereka berubah menjadi tentara yang tidak berpolitik, tidak bisa dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan tertentu, menjadi tentara profesional yang melindungi warga sipil, patuh terhadap hukum sipil ketika berada di lingkup non militer, dan lainnya.
Tapi seiring prajurit TNI yang kembali dibanggakan oleh masyarakat pasca reformasi 1998, mental ala Orde Baru yang cenderung berefek negatif ke warga sipil masih sering muncul dari oknum tertentu.
Misalnya seorang anggota TNI masih tersinggung ketika disuruh mengantre saat beli bensin seperti kejadian di SPBU, Tanjung Morawa, Sumatera Selatan (22/8/2018), karena saat itu membawa motor berplat TNI dan merasa harus diprioritaskan.
Namun yang aneh, sepak terjang personel ABRI yang merasa berkuasa dan berhak menghakimi warga sipil juga banyak ditiru warga sipil di era reformasi yang merasa dirinya sebagai anggota TNI.
Para warga yang sebenarnya mengidolakan anggota TNI itu umumnya gemar memiliki atribut yang menyimbolkan anggota TNI seperti memasang stiker logo TNI di mobil atau motor.
Menaruh topi militer dengan pangkat tertentu (kadang perwira tinggi) di dashboard mobil untuk menakut-nakuti warga lain dan berharap polisi ‘takut’ menilang, dan lainnya.
Tapi tidak hanya atribut TNI yang sengaja dipajang untuk menaku-nakuti orang.
Potongan rambut juga dicukur cepak ala anggota TNI sehingga orang bersangkutan mirip anggota TNI.
Bergaya ala anggota TNI dengan rambut cepak plus berbadan atletis gempal sebenarnya tidak salah .
Asal penampilan fisiknya itu tidak digunakan untuk mengintimidasi atau melakukan kekerasan terhadap orang lain sambil mengaku-aku sebagi anggota TNI.
Seperti kejadian pemukulan di tol Jagorawi yang dilakukan seorang pengendara mobil berstiker TNI dan ‘bertampang’ anggota TNI terhadap pengendara lainnya yang dianggap mengganggu pada Rabu (22/8/2018).
Yang pasti setiap oknum TNI yang masih suka bersifat arogan dan kekerasan terhadap warga sipil karena merasa ‘lebih berkuasa’ jelas telah melanggar hukum dan harus berurusan dengan Polisi Militer.
Sedangkan warga sipil yang bergaya militer dengan simbol apapun, lalu suka main kekerasan ala sepak terjang ABRI di era Orde Baru, juga telah melanggar hukum (kriminal) dan harus berurusan dengan aparat kepolisian.
Namun, sengaja memasang logo TNI di kendaraan sebenarnya dilarang oleh TNI karena hanya kendaraan dinas TNI yang berhak menggunakan logo itu sesuai dengan kesatuan masing-masing.
Larangan pemasangan logo atau stiker TNI bahkan tidak hanya berlaku terhadap warga sipil tapi juga motor-motor pribadi yang dimiliki oleh anggota TNI.
Oleh A. Winardi, pernah menjadi reporter majalah kemiliteranAngkasa-Commando selama 10 tahun.