Find Us On Social Media :

Demi Diabetes, Pantang Mundur Memburu Undur-undur

By Agus Surono, Selasa, 30 Mei 2017 | 21:30 WIB

Ubur-ubur bisa dijadikan obat diabetes.

Intisari-Online.com – Nama Latin binatang ini adalah Myrmeleon Sp. Namun lebih dikenal sebagai undur-undur. Jalannya memang mundur, meski bisa maju.

Binatang yang semakin langka di perkotaan karena sudah susah ditemukan tanah ini ternyata mulai diburu penderita diabetes.

Ya, undur-undur ternyata berkhasiat utuk mengobati penyakit diabetes.

(Baca juga: Jangan Asal Satset, Beginilah Cara Mencukur Rambut Kemaluan yang Benar Bagi Pria)

“Cara makannya bisa langsung, ada juga yang dikonsumsi berupa ekstraknya,” tutur Desi Ratnasari, salah satu penjual undur-undur.

Sejak tahun 2010, Desi bersama sang suami Mujiono menjual undur-undur secara online.

Melalui blog yang dikelola bersama suami, Desi menjual undur-undur dengan harga Rp900 per ekor. Desi bilang, minimal pembelian undur-undur adalah 50 ekor. Dalam sebulan, Desi bisa menjual hingga 1.000 ekor undur-undur.

Mengelola toko daringnya dari Semarang, Desi kerap melayani permintaan undur-undur ke sejumlah kota, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang dan Surakarta.

“Kalau budidaya undur-undur itu di daerah Demak,” tutur Desi. Hingga saat ini, permintaan undur-undur belum pernah putus. Bisnis ini pun awet dilakoni Desi sejak tujuh tahun lalu.

Pembudidaya undur-undur lainnya adalah Dede Hermawan di Sumedang, Jawa Barat.

Merawat dan membudidaya undur-undur sejak tahun 2012, Dede mengaku tidak sulit menekuni usaha ini. Untuk budidayanya sendiri, ia cukup menggunakan kandang di samping rumah seluas 5 meter x 5 meter.

Dede bilang, varietas undur-undur banyak ditemukan di beberapa daerah Indonesia termasuk di Pulau Jawa.

Peminatnya sendiri tidak hanya dari Jawa, tapi juga dari Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua hingga Malaysia. "Hewan ini besar, unik dan banyak diolah menjadi obat herbal," ujar Dede.

Harga yang dibanderol untuk undur-undur hidup yaitu Rp500 per ekor. Selain itu ada juga paket 180 ekor senilai Rp100.000 dan paket 400 ekor senilai Rp200.000. Dalam sebulan, Dede bisa menjual minimal 3.000 ekor undur-undur. Jadi omzetnya minimal sekitar Rp2 juta per bulan.

Dede aktif memasarkan melalui blog ataupun sosial media Facebook. "Peminatnya untuk tahun ini kebanyakan dari luar negeri karena lihat dari internet," sebutnya.

Ia optimistis, ke depannya permintaan undur-undur untuk bahan obat herbal akan terus meningkat, baik di dalam maupun luar negeri. 

(Baca juga: Inilah 5 Sayuran Ajaib untuk Kesehatan, Salah Satunya Mampu Cegah Kanker dan Jaga Kesehatan Jantung)

Budi daya

Dede Hermawan, pembudidaya undur-undur asal Sumedang, Jawa Barat bilang, undur-undur tidak sulit dipelihara. Hanya saja, ada beberapa hal yang penting diperhatkan dalam budidaya serangga ini.

Menurut Dede, untuk membesarkan dan merawat undur-undur dibutuhkan kandang atau lahan yang luas untuk ternaknya.

Sebab, beberapa undur yang digabungkan dalam satu kandang akan bertumbuh dan mengalami masa metamorfosis.

“Nantinya undur-undur ukuran besar bisa saling bunuh kalau lahan kandang sempit,” ujar Dede.

Dede sendiri menggunakan lahan di belakang rumah berukuran 5 meter x 5 meter dengan taburan pasir.

Setelah menyiapkan lahan, Dede memberi makanan seperti semut ataupun putik bunga untuk undur-undur ukuran dewasa. Makanan undur-undur bisa juga berupa bubuk roti gandum. Namun, setelah di lahan berpasir, nantinya undur-undur akan memangsa semut merah.

Dede menyebut sebisa mungkin undur-undur tidak terkena matahari atau air. “Sebab rahang tajam undur-undur bisa menyuntikkan racun ke tubuh mangsanya kalau disiram air,” katanya.

(Baca juga: Keajaiban Tersembunyi di Balik Tempe, Daging Saja Kalah)

Undur-undur yang telah dirawat bisa dipanen dengan beberapa cara. Seperti memancing dengan umpan serangga yaitu semut, meniup sarang undur-undur dengan sedotan, ataupun butiran pasir dikorek dengan saringan agar undur-undur keluar.

Dalam waktu 28 hari atau satu bulan, bisa panen 50-100 ekor undur-undur.

Pemain lainnya dalam usaha ini adalah Desi Ratnasari bersama suaminya Mujiono di Semarang.

Mereka telah menjual undur-undur sejak 2010. Desi menjelaskan, bahwa undur-undur yang terlalu tua tak dapat dijual. Apalagi jika undur-undur sudah berubah menjadi kepompong.

Hal ini juga menjadi kendala dalam proses budidaya dan jual-beli undur-undur.

“Terkadang, sampai ke konsumen sudah menjadi kepompong,” tutur Desi. Jika sudah demikian, Desi harus mengirim kembali serangga ini kepada konsumen, sesuai jumlah undur-undur yang tak bisa dikonsumsi.

(Baca juga: Dari Soekarno Sampai Si Unyil, Bagaimana Peci Menjadi Ikon Nasional)

Untuk mencegah itu tidak terjadi, harus dilakukan cara budidaya yang tepat dan pemeliharaan yang baik.

Namun, jika undur-undur terlanjur menjadi kepompong, tak perlu khawatir. Sebab, kepompong dapat bermertamorfosis menjadi capung.

Jika ditetaskan di tempat luas, capung-capung hasil metamorfosis nantinya akan menghasilkan keturunan undur-undur baru.