Dede menyebut sebisa mungkin undur-undur tidak terkena matahari atau air. “Sebab rahang tajam undur-undur bisa menyuntikkan racun ke tubuh mangsanya kalau disiram air,” katanya.
(Baca juga: Keajaiban Tersembunyi di Balik Tempe, Daging Saja Kalah)
Undur-undur yang telah dirawat bisa dipanen dengan beberapa cara. Seperti memancing dengan umpan serangga yaitu semut, meniup sarang undur-undur dengan sedotan, ataupun butiran pasir dikorek dengan saringan agar undur-undur keluar.
Dalam waktu 28 hari atau satu bulan, bisa panen 50-100 ekor undur-undur.
Pemain lainnya dalam usaha ini adalah Desi Ratnasari bersama suaminya Mujiono di Semarang.
Mereka telah menjual undur-undur sejak 2010. Desi menjelaskan, bahwa undur-undur yang terlalu tua tak dapat dijual. Apalagi jika undur-undur sudah berubah menjadi kepompong.
Hal ini juga menjadi kendala dalam proses budidaya dan jual-beli undur-undur.
“Terkadang, sampai ke konsumen sudah menjadi kepompong,” tutur Desi. Jika sudah demikian, Desi harus mengirim kembali serangga ini kepada konsumen, sesuai jumlah undur-undur yang tak bisa dikonsumsi.
(Baca juga: Dari Soekarno Sampai Si Unyil, Bagaimana Peci Menjadi Ikon Nasional)
Untuk mencegah itu tidak terjadi, harus dilakukan cara budidaya yang tepat dan pemeliharaan yang baik.
Namun, jika undur-undur terlanjur menjadi kepompong, tak perlu khawatir. Sebab, kepompong dapat bermertamorfosis menjadi capung.
Jika ditetaskan di tempat luas, capung-capung hasil metamorfosis nantinya akan menghasilkan keturunan undur-undur baru.