Penulis
Intisari-Onlien.com – Esok, umat muslim di seluruh dunia akan merayakan Idul Adha. Inilah peristiwa penting yang sarat akan makna dan manfaat yang bisa kita ajarkan pada anak-anak.
Berikut ini tulisan Hilman Hilmansyah seperti dimuat dalam Tabloid NOVA edisi September 2016, dengan judul asli Belajar Berbagi di Momen Idul Adha.
Banyak hikmah yang bisa diambil dari Hari Raya Idul Adha atau Idul Qurban. Selain mendekatkan diri pada Sang Pencipta, Idul Adha juga merupakan ibadah yang dapat meningkatkan kepedulian sosial kepada sesama manusia.
Kedua hal tersebut apabila dimaknai dengan tepat, tentu menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih berkualitas.
Baca juga: Tetap Sehat Meski Pesta Daging Kambing Selama Idul Adha, Ini Tipsnya!
Di samping itu, menurut Wara Rahmawati, M.Psi, Psikolog dari Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON) dan www.jagaddhita.org, momen Idul Adha adalah momen tepat untuk mengajak anak-anak memperdalam ibadah, menyayangi makhluk hidup (dalam hal ini hewan kurban) dan juga mengajarkan anak untuk merelakan apa yang telah mereka sayangi untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan.
“Anak akan belajar berbagi karena daging hewan yang telah disembelih akan dibagikan kepada yang berhak. Anak dapat pula belajar mengenali kebutuhan diri dan orang lain sebagai dasar baginya untuk belajar empati.”
Sikap prososial
Ya, salah satu nilai penting yang bisa diajarkan dalam rangka Idul Adha ini adalah mengenai berbagi. Dalam pandangan psikologi, berbagi adalah salah satu sikap prososial.
Baca juga: Menyambut Idul Adha, Presiden Afganistan Mengumumkan Gencatan Senjata Sementara dengan Taliban
Prososial adalah kesediaan untuk menolong sesama sehingga memberikan keuntungan kepada pihak yang mendapat pertolongan.
Menurut penelitian Delameter dan Michener, perilaku prososial muncul atas inisiatif sendiri, bukan karena paksaan atau tekanan dari luar. Salah satu faktor yang memunculkan sikap ini adalah kepedulian dan empati, seperti yang diajarkan dalam ibadah Idul Adha.
Dalam berbagi, ada upaya dan kesediaan untuk memahami kebutuhan orang lain tanpa mengabaikan kebutuhan pribadi. Memang dibutuhkan kepekaan yang tinggi untuk menumbuhkan sikap peduli dalam perilaku berbagi.
“Namun, kepekaan dan kepedulian bukanlah dua hal yang langsung bisa dimiliki tanpa proses pembelajaran. Maka alangkah baiknya, jika kita dapat mengajarkan kepekaan dan kepedulian sejak dini agar anak-anak belajar lebih dini pula perilaku berbagi.”
Baca juga: Cara Unik Warga Tulehu Rayakan Idul Adha, Gendong Kambing Sebelum Disembelih
Sejak dalam kandungan
Sebenarnya semakin dini anak belajar berbagi maka akan semakin dini pula kepekaan dan kepeduliannya tumbuh. Sebenarnya bahkan kita dapat mengajarkan berbagi sejak janin di dalam kandungan.
Dalam kajian psikologi, emosi ibu sangat terkoneksi dengan janinnya selama ia mengandung. Ibu yang bahagia akan memberikan dampak positif bagi perkembangan janinnya. Begitu pula ibu yang peka dan peduli terhadap kebutuhan orang lain.
Akan ada kecenderungan janin mewarisi perilaku baik ibunya, seperti halnya perilaku berbagi.
Nah, seiring dengan perkembangannya, empati anak akan mulai terasah di usia 5-6 tahun. Sebelumnya, anak akan mencapai tahap perkembangan sosial terbaik di usia 3-4 tahun setelah berada dalam fase egosentris “ini milikku” yang posesif di usia 2-3 tahun.
Baca juga: Bukan Idul Fitri, Tradisi Mudik Orang Madura Perantauan Justru pada Idul Adha
Karena itu, stimulasi untuk mengajarkan anak berbagi akan lebih baik bila dimulai sejak masa-masa egosentrisnya.
Ia dapat melihat contoh nyata dan tidak terjebak pada “keakuannya” jika diajari sejak dini. “Pewarna dunia anak adalah lingkungannya. Maka stimulus yang tepat akan membuat anak-anak berwarna-warni.”
Stimulus berulang
Untuk mengajarkan anak berbagi, yang perlu dipersiapkan adalah orangtua. Kita tahu, anak mengidentifikasi perilaku ayah dan ibunya. Oleh karenanya, persiapan orangtua jauh lebih penting.
Orangtua dapat mempersiapkan diri dengan memperbanyak perilaku berbagi secara konsisten, sehingga anak menerima banyak stimulasi yang mendorongnya untuk mengenali bagaimana berbagi.
Baca juga: Pengalaman Salat Idul Adha di Mesjid Tokyo Ketika Musim Gugur Puluhan Tahun Silam
Stimulus berbagi menjadi penting karena dengan keingintahuan anak-anak yang besar, semakin banyak stimulus, akan semakin siap bagi anak untuk ikut terlibat dan mencari tahu.
Orangtua dapat mengarahkan melalui komunikasi sederhana. Misalnya “Mama punya kue 3, kita bagi yuk, satu buat mama, satu buat papa, satu lagi buat siapa ya..”dan biarkan anak menjawab.
Jika anak menjawab benar, berilah apresiasi, “Ya benar, semua dapat kue, wah senangnya ya bisa berbagi”. Ulangi dan ulangi terus memberikan stimulus hingga menjadi kebiasaan.
Siapkan kondisi anak
Selain kesiapan orangtua, yang perlu diperhatikan adalah kondisi anak. Orangtua perlu berusaha menarik perhatian anak-anak untuk berbagi tanpa paksaan. Misalnya, “Abang gentian, ya, mainnya. Habis Abang main, mainannya dipinjamin ke Adek, ya.” Demikian sebaliknya untuk sang adik.
Baca juga: Pengalaman Salat Idul Adha di Mesjid Tokyo Ketika Musim Gugur Puluhan Tahun Silam
Beri kesempatan kepada anak mengomunikasikan apa yang sedang ia rasakan ketika harus berbagi, sehingga orangtua dapat memberikan edukasi yang sesuai apabila ada perasaan negatif yang muncul dan memberikan komplimen apabila berbagi menjadi hal yang menggembirakan.
Selain itu, membantu anak mengenali “miliknya” dan “milik orang lain” juga penting dilakukan. Dengan begitu, ia dapat belajar mengenali dan menghargai perbedaan.
Misalnya, “Krayon ini punya Mimi, kalau krayon Andi ada di tas. Kalau mau pakai, Andi pinjam dulu, ya, ke Mimi”.
Tunjukkan contoh nyata
Yang jelas, dalam proses belajar berbagi ini yang perlu diperhatikan adalah contoh nyata, berbagi perasaan terkait aktivitas berbagi melalui obrolan, dan apresiasi dari orangtua karena anak sudah mau berbagi.
Baca juga: Awas, Jangan Pakai Kantong Plastik Hitam Untuk Bungkus Daging Kurban Idul Adha
Berikut beberapa contoh nyata:
Usia Balita
Usia TK dan SD
Peka dan peduli
Lalu, apa saja manfaat yang bisa dipetik dari kegiatan mengajarkan berbagi? Dengan berbagi anak belajar untuk peka dan peduli terhadap lingkungannya. Jika hal ini diulang terus hingga terinternalisasi maka jiwa sosial anak akan berkembang dengan optimal.
Selain itu, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang hangat, terbuka, dan penuh kasih sayang. Ketika ia tumbuh besar, ia adalah teman dan saudara yang menyenangkan sehingga menumbuhkan kepercayaan dirinya.
Individu yang percaya diri adalah individu yang siap bersahabat dengan perubahan zaman.
Namun sebaliknya, anak yang tidak diajarkan berbagi, akan tumbuh menjadi pribadi dengan egoisme yang tinggi. Ia mementingkan diri sendiri yang terkadang rela melakukan tindakan tidak baik untuk memenuhi keinginannya.
Baca juga: Khusus di Pulau Ini, Ramainya Mudik Idul Adha Kalahkan Ramainya Idul Fitri
Pribadi yang seperti itu tentu akan sulit beradaptasi dalam berbagai lingkungan. Tak jarang menjadi pribadi yang tidak disukai oleh teman, saudara, dan lingkungannya.
“Dampaknya mungkin tidak langsung terlihat ketika anak-anak, namun akan tampak ketika ia tumbuh besar dan menjalin pola interaksi yang lebih luas.”
Tak kalah penting, dalam mengajarkan berbagi, anak sangat perlu untuk diedukasi hal-hal apa yang bisa dibagi dan yang tidak bisa dibagi, agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam perilaku berbagi ini.
Sebagai contoh, hal-hal pribadi seperti sikat gigi, handuk, dll tidak bisa digunakan bersama atau berbagi dengan teman karena itu sangat personal.
Hal tersebut perlu disampaikan disertai alasan yang tepat agar anak-anak memahami dan mengambil pelajaran dari hal tersebut. (Hilman Hilmansyah)
Baca juga: Merayakan Idul Adha, Begini Cara Menikmati Kambing dengan Tepat dan Nikmat