Intisari-Online.com - Semasa saya remaja, salah satu destinasi akhir pekan kami sekeluarga adalah Madura.
Saat itu, tentu saja, jembatan Suramadu belum berdiri (namun penentuan titik tiang pancang dan serangkaian penelitian sudah dilakukan), sehingga rute yang ditempuh adalah bermobil dan naik feri dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke arah Kamal, Madura.
Salah satu nama feri yang kondang adalah Potre Koneng alias Putri Kuning.
Dari beberapa dialog, di tengah keramaian para pemudik asal Pulau Garam menjelang Idul Adha, kami berbincang dengan tetangga di feri.
Makin akrab karena ayah saya tergolong cakap bertutur Madura.
(Baca juga: Sebelum Berkurban, Yuk, Kita Ngakak Dulu Bersama 6 Meme Ini)
Salah satu topik yang diungkap Bakhtiar, demikian nama pria asal Sampang itu, "Jumlah pemudik lebih membeludak saat berlangsung Hari Raya Kurban, dibanding Lebaran atau hari raya Idul Fitri bahkan tahun baru."
Menurut Bakhtiar, karena Idul Adha setara dengan hari solidaritas dalam kehidupan kaum muslim Madura.
Di mana zakat hewan kurban dibagikan kepada para penerima, masakan yang dibuat pun lebih lengkap dan yang ada di rumah bersama-sama mendoakan para saudara, kerabat serta tetangga yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
"Sehingga kedekatan lebih terasa, kami mengirim doa dan bila ada jemaah haji yang tidak kuat di sana dan meninggal, kami memberikan kekuatan kepada pihak yang ditinggalkan."
Itu sebabnya, saat menjelang Hari Raya Idul Adha, feri Surabaya - Madura (saat itu) mengalami lonjakan penumpang yang sangat terasa.
(Baca juga: Kurban Mak Sahati yang Memaksa Hati Bergetar)
Pemudik ke Pulau Garam tidak hanya berasal dari Surabaya serta bagian Jawa Timur lainnya, melainkan dari mana saja.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR