Find Us On Social Media :

Ketika Jepang Sudah Angkat Kaki, Belanda Ingin Kuasai Indonesia Lagi, Tapi Mereka Salah!

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 16 Agustus 2018 | 20:30 WIB

Intisari-Online.com – Gara-gara kegagalan intelijen, Belanda salah duga tentang situasi RI yang masih muda.

Mereka yakin akan disambut hangat setelah Jepang angkat kaki. Alhasil mereka kena batunya, dan menghadapi perlawanan gerilya.

Mari kita simak bagaimana Belanda Salah Duga yang dimaksud, diambil dari Majalah Intisari edisi Agustus 1989, tulisan Machfudi Mangkudilaga.

Baca juga: Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta Jadi Kocar-Kacir Akibat Serbuan Pasukan Siluman di Siang Bolong

Kalau kita membaca memoar Dr. H.J. Van Mook yang pernah menjabat Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Indonesie—Nederland  en de wereld.

Maka kita ketahui bahwa ketika Jepang masuk sedikit sekali anggota pemerintahan Hindia Belanda, baik sipil maupun militer, yang dapat menghindarkan diri dari cengkeraman pemerintah Jepang.

Usaha pengamanan

Van Mook pada bulan Februari 1942, jadi sebelum Jepang masuk, sudah memilih sekelompok kecil orang-orang yang kemudian dikirimnya ke Australia.

Memilih orang-orang itu tidak mudah, karena berdasarkan kesukarelaan dan mereka tidak dapat membawa anggota keluarganya.

Orang Indonesia yang sempat dikirim ke Australia itu antara lain Raden Ario Adipati Sujono.

Anggota Raad van Indie dan Raden Lukman Djajadiningrat, kepala Departemen Pengajaran dan Agama Hindia Belanda pada waktu itu.

Selebihnyaorang-orang Belanda, seperti Mr. Ch. O. van der Plas. Dari kalangan militer terdapat para perwira staf: Kapten Sanberg, Kapten Burman Vervrijden dan Kapten Smoor.

Juga ada pasukan tentara di Australia yang mengawal para tawanan Jepang dan Jerman ke Australia pada waktu itu.

Van Mook sendiri merupakan orang terakhir yang berangkat bersama-sama Van der Plas.

Mereka berangkat sekitar tanggal 5 Maret dengan pesawat-pesawat terbang terakhir dari landasan terbang rahasia Buahbatu di Bandung (Jl. Buahbatu sekarang).

Jadi mereka tidak berangkat dari Andir (sekarang Husein Sastranegara).

Sementara itu seusai pertempuran laut di Jawa pada tanggal 1 Maret, Laksamana Helfrich dari AL bersama suatu staf kecil berangkat ke Kolombo dengan sebuah pesawat Catalina yang diberangkatkan dari Situ Bagendit, Garut.

Kapal-kapal Angkatan Laut Belanda yang lepas dari cengkeraman Jepang ada pula yang sempat melarikan diri ke Australia dan Kolombo.

Baca juga: Operasi Gagak, Agresi Militer Belanda di Yogyakarta yang Gagal Membunuh Bung Karno

Cari informasi

Di Australia, Belanda mendirikan Nederlands Indies Commissie (Panitia Hindia Belanda), yaitu semacam pemerintahan pelarian yang berkedudukan di Australia.

Sudah barang tentu selama berada di Australia mereka berusaha untuk mengetahui perkembangan situasi yang terjadi di Indonesia.

Padahal hubungan dengan Indonesia praktis putus.

Sebenarnya, sebelum meninggalkan Hindia Belanda, Van der Plas meninggalkan sejumlah uang kepada orang Indonesia untuk mengorganisasi suatu gerakan di bawah tanah.

Usaha ini ternyata gagal dan dapat dibongkar Kempetai Jepang.

Di antara mereka yang tertangkap dan dihukum, malah dihukum mati, adalah Mr. Amir Syarifuddin.

Atas permintaan Soekarno — Hatta hukuman itu diubah menjadi seumur hidup.

Di Australia orang-orang Belanda itu mendirikan suatu dinas yang bertugas memantau siaran-siaran radio Jepang yang disiarkan dari Jakarta.

Pada tahun 1944 didirikanlah NAFIES (Netherlands' Armed Force Intelligence Service), yaitu Dinas Rahasia Angkatan Perang Belanda.

Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari target yang hendak dicapainya, dalam hal ini mencari informasi dari Indonesia.

Siaran radio Jepang waktu itu, Nippon Hosukyoku, dapat ditangkap di Australia.

Mereka juga mendengar pidato-pidato Soekarno - Hatta, yang seringkali disertai slogan-slogan anti-Sekutu, "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis".

Baca juga: Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia

Gagal total

Selain itu NAFIES juga berusaha memperoleh informasi dengan mengirim orang ke daerah yang diduduki Jepang. Sudah tentu usaha itu sangat berbahaya dan riskan. Itu semua disebut Intelligence Parties (tugas-tugas intelijen).

Biasanya para petugas intelijen itu didaratkan dengan kapal selam di suatu tempat, dan harus kembali pada tanggal yang sudah disepakati.

Semua kegiatan intelijen itu bisa dibaca dalam buku mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut Belanda, Bezemer, Verdreven doch niet Verslagen (Terusir tetapi tidak Terkalahkan).

Dapat kita baca juga bahwa hampir semua Intelligence Parties itu menemui kegagalan. Sebagian besar orang-orang yang dikirim itu dapat ditangkap Jepang, atau diserahkan oleh penduduk kepada pemermtah Jepang.

Selama pemerintahannya, Jepang memang sudah membentuk suatu organisasi pertahanan sipil sampai ke desa-desa, bahkan sampai ke tingkat RT. Satuan terkecil adalah Tonarikumi (RT), yang dipimpin seorang Kumico.

Tugasnya antara lain memberantas mata-mata musuh. Di suatu daerah kecil tentu mudah sekali untuk mengetahui orang yang bukan berasal dari daerah itu.

Apalagi kalau gerak-geriknya mencurigakan.

Maka Van Mook hanya mendasari  pendapatnya pada informasi unit-unit bawahannya.

Hal ini dikemukakannya dalam surat resmi kepada Panglima Sekutu di Asia Tenggara, Laksamana Mountbatten, tertanggal 3 September 1945: ".. Jelas bahwa pemerintahan Soekarno itu dibentuk oleh Jepang dan secara lengkap berada di bawah pengawasan Jepang, dan jika dibiarkan merupakan inti propaganda Pan Asia – Jepang ..”

Surat itu bisa dibaca dalam Officiele Bescheiden Betreffende De Nerdelands-Indonesische Bertekkingen 1945 – 1950 jilid I, yaitu surat-surat resmi Indonesia — Belanda antara tahun 1945 - 1950.

Baca juga: Meski Hanya Bermodal Pesawat Tua, Para Kadet AURI yang Belum Lulus Ini Sukses Gempur Sejumlah Markas Belanda

Meleset sama sekali

Tidak heran kalau Jenderal Simatupang, sebagaimana dapat kita baca dalam bukunya Laporan dari Banaran, menjelaskan kepada pihak Belanda, betapa keliru perkiraan mereka.

Situasi Sumatra Timur dan daerah-daerah Jawa Timur yang diduduki Belanda kelihatannya stabil karena pemerintah Republik telah menarik pasukan dan para pemuda pejuang, sambil menunggu saat untuk kembali ke pangkuan Republik lewat plebisit nasional, sebagaimana diputuskan dalam Persetujuan Renville, Januari 1948.

Plebisit itu sendiri tidak pernah terlaksana karena Belanda melancarkan Aksi Militer II, Desember 1948.

Simatupang mengingatkan Belanda bahwa jika mereka menyerang, suasana aman dan damai itu akan berubah total.

TNI dan pemuda pejuang akan kembali ke daerah-daerah yang mereka tinggalkan.

RI tidak akan segan-segan menggunakan segala sarana untuk menghadapi penyerang. Jangan Belanda mengira bahwa luapan anti-Belanda, sekali dilepas akan mudah ditumpas seperti memutar keran air.

Baca juga: Pesawatnya Ditembak Jatuh Jepang, Tentara Belanda Ini Malah Menjadi Penerjun Pertama di Indonesia, Kok Bisa?