Advertorial
Intisari-Online.com - Akibat gagalnya perundingan Linggarjati, konflik bersenjata antara Belanda dan Indonesia tidak bisa dielakkan lagi.
Militer Belanda yang merasa lebih superior karena sudah didukung persenjataan modern seperti pesawat-pesawat tempur lalu melancarkan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947.
Sejumlah serangan udara dilancarkan secara serentak ke sejumlah wilayah Indonesia baik yang berada di Jawa maupun Sumatera.
Serangan udara yang dilancarkan militer Belanda menggunakan pesawat-pesawat tempur yang tergolong canggih di tahun itu seperti P-51 Mustang, P-40 Kitty Hawk, dan pembom B-25/26.
Tujuan utama serangan Belanda yang dilancarkan dari sejumlah markas dan pangkalan udara di Semarang adalah memukul mundur kedudukan pasukan Indonesia hingga ke daerah pedalaman.
Gempura udara yang dilancarkan Belanda secara dadakan ke sejumlah lapangan udara TKR Udara Indonesia (AURI) yang masih dalam proses perintisan berhasil menghancurkan sebagian besar pesawat yang ada.
Atas serangan udara Belanda yang berhasil menghancurkan 24 pesawat AURI yang berada di berbagai Pangkalan Udara itu, pihak AURI belum melakukan serangan balasan.
Langkah yang dilakukan adalah berusaha menyelamatkan pesawat-pesawat yang siap operasional (serviceable) dengan cara menyembunyikannya.
Serangan udara Belanda yang telah menghancurkan sebagian besar kekuatan udara AURI itu ternyata tidak membuat para personel AURI patah semangat.
Serangan udara Belanda bahkan membuat para kadet penerbang yang sedang belajar di Lapangan Udara (Lanud) Maguwo, Yogyakarta marah.
Sebagai kadet yang masih berjiwa muda tapi juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, membuat para kadet yang sudah bisa menerbangkan pesawat ingin melancarkan serangan balasan.
Para kadet penerbang itu antara lain Sutarjo Sigit, Mulyono, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoaji.
Sebenarnya atas serangan udara Belanda, KSAU Suryadi Suryadarma yang saat itu bermarkas di Lanud Maguwo memang sengaja tidak melakukan serangan balasan karena bisa membuat militer Belanda makin waspada.
Menurut Suryadarma serangan udara yang akan dilancarkan oleh para kadet penerbang jika ditinjau dari segi militer tidak memiliki nilai yang tinggi.
Tapi jika dinilai dari semangat perjuangan bangsa, serangan udara para kadet bisa menggugah semangat perjuangan bangsa secara kesuluruhan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Suryadarma juga menekankan dirinya sebenarnya tidak bisa memerintah dan juga tidak bisa melarang. Jadi intinya serangan udara bisa dilakukan tapi sifatnya sukarela.
Mendengar rencana serangan udara ke sejumlah markas Belanda diijinkan para kadet seperti Sutardjo Sigit, Mulyono, Suharnoko Harbani, dan Bambang Saptoaji merasa sangat gembira.
Baca juga:Ruang Udara Papua jadi Jalur Penerbangan Internasional, TNI AU Siagakan Skuadron Tempur
Mereka semua bersedia menjadi sukarelawan untuk menyerang markas-markas Belanda menggunakan pesawat peninggalan Jepang yang sebenarnya tidak berdaya ketika harus menghadapi pesawat tempur Belanda.
Sedangkan pesawat-pesawat yang akan diterbangkan para kadet tidak memiliki dudukan senjata dan cantelan, maka bom-bom yang akan dijatuhkan pun dimasukkan ke dalam kokpit.
Setelah bisa terbang sampai di sasaran bom-bom itu lalu dijatuhkan menggunakan tangan.
Sebelum melaksanakan serangan para kadet mendapat brifing terlebih dahulu dari Wakil Kepala Operasi Lanud Maguwo, Halim Perdanakusuma terutama untuk menentukan target mana saja yang akan diserang sekaligus mencari jalur penerbangan yang aman.
Target yang diincar sesuai arahan dari Halim adalah markas Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga.
Karena merupakan serangan udara yang dilancarkan secara mendadak dan diam-diam, pada pukul 05.00 tanggal 29 Juli 1947 para kadet penerbang sudah siap di kokpit pesawat masing-masing di Lanud Maguwo.
Mereka baru saja mendapat brifing terakhir dari Halim Perdanakusuma dan Suryadarma sendiri berada di lokasi untuk melepas para kadet penerbang yang akan melancarkan serangan udara untuk pertama kalinya..
Dari empat pesawat yang hari itu akan digunakan untuk menyerang kedudukkan Belanda, ternyata ada satu yang mengalami kerusakan.
Akibatnya Bambang Saptoaji yang bertugas menerbangkan pesawat bersangkutan tidak jadi berangkat.
Baca juga:Walau Berada di Lahan Sempit, Rumah di Tebet Ini Raih Penghargaan Internasional Lho
Pada pukul 05.11 pesawat Guntei yang diterbangkan Mulyono mulai take off.
Penerbangan Mulyono disusul oleh pesawat Churen yang diterbangkan Sutardjo Sigit dan selanjutnya disusul pesawat Churen yang dipiloti oleh Suharmoko Harbani.
Ketiga pesawat sesuai rencana terbang secara konvoi untuk saling mengawasi tapi sama sekali tidak melakukan komunikasi radio agar tidak tersadap oleh alat komunikasi Belanda.
Serangan udara yang berlangsung di pagi buta itu ternyata berhasil dengan gemilang.
Pesawat Churen yang diterbangkan Sutardjo Sigit berhasil melancarkan pemboman di Salatiga. Sasarannya adalah konsentrasi-konsentrasi pasukan Belanda.
Sementara pesawat Guntei yang diterbangkan Mulyono berhasil mencapai sasaran sesui dengan rencana dan menjatuhkan bom di Semarang.
Serangan udara di Semarang dilakukan di dua tempat. Yakni bagian bawah kota Semarang dan kota bagian atas (Candi).
Dalam serangan udara itu pesawat Guntai berhasil menjatuhkan enam buah bom dan menghancurkan 11 bangunan serta mengakibatkan 7 personel serdadu Belanda tewas.
Sedangkan pesawat Churen yang diterbangkan Suharnoko Harbani karena terpisah dengan pesawat yang diterbangkan Sutardjo Sigit lalu berinisiatif menyerang kota Ambarawa yang juga sudah diduduki oleh pasukan Belanda.
(Sumber : Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma, Penerbit Buku Kompas, 2017 dan Kepemimpinan TNI Angkatan Udara, MABESAU, 2011).
Baca juga:Canggih! Hanya Dengan Berbicara, Anda Bisa Kendalikan Seluruh Isi Kamar Hotel Ini