Find Us On Social Media :

Di Tempat Tawanan, Barang Rongsokan Bisa Menjadi Alat yang Canggih

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 14 Agustus 2018 | 19:00 WIB

Intisari-Online.com – Tanggal 8 Maret 45 tahun yang lalu Hindia Beianda ditaklukkan Jepang. Tentara Belanda menjadi tawanan perang dan salah satu di antaranya ialah Charles Burki.

Waktu senggang dalam tawanan dimanfaatkannya untuk menggambar. Gambar itu bisa kita nikmati sekarang, karena dikubur dalam kaleng. Karya tidak ternilai itu tetap terkubur sampai tahun 1946, yaitu sampai Burki minta tolong untuk digali kembali. Saat itu ia berada di Nagasaki.

Kisahnya bisa disimak di Majalah Intisari edisi Agustus 1987, dengan judul asli Di Belakang Kawat, Kamp Interniran dalam Gambar,  seperti berikut ini.

Hari botak, April 1942

Baca juga: Pernah Dapat Sanksi Militer Pasca-PD II, Jepang Ternyata Ciptakan Senjata Maut Meriam Raksasa Elektromagnetik

Pada suatu hari ada perintah dari orang Jepang, semua harus gundul. Itu berarti dalam sehari harus lima belas ribu kepala yang dicukur. Banyak tukang cukur mempunyai rasa humor. Sebelum membabat sampai klimis, mereka memotong rambut menurut pola macam-macam.

Jelas korban tidak bisa ikut tertawa. Gundul memang lebih praktis, bebas dari kutu.

Inilah studio pertama saya, tempat saya mulai membuat gambar tentang kehidupan dalam kamp. Letaknya di pojok yang tenang. Ada sinar gratis pemberian matahari.

Namun, kemewahan tidur di depan pintu tidak berlangsung lama, karena daun jendelanya tidak lama kemudian menjadi kayu bakar di dapur.

Baca juga: Kala Jepang Iming-imingi Kebebasan Kepada Rakyat Indonesia Lewat Nujuman Jayabaya tentang Ratu Adil

Kalau tiba-tiba ada 'tamu' tak diundang, gambar itu cepat disembunyikan di bawah peti, karena di situ tidak pernah digeledah.

Tidak ada bagian yang tidak dimanfaatkan dari mobil rongsokan. Sekrup pun tidak terbuang sia-sia. Selain dijadikan selop antiselip, wajan dan lampu, suku cadang mobil juga bisa dibuat alat pemantik.

Pemantik ini terbuat dari magnet mobil. Bekas bola lampu disulap menjadi tangki bensin. Kalau bagian atas diputar, api akan menyala besar. Memang bahaya bagi mereka yang mempunyai brewok.

Latihan pemadaman lampu

Baca juga: Berniat Menghanguskan Amerika, Jepang Serbu dengan Kirim Ribuan Balon Api pada Perang Dunia II

Biasanya latihan pemadaman lampu dilakukan pada hari raya. Ini jelas disengaja, karena pada malam latihan seperti itu gedung Kempetai bermandikan cahaya, sedangkan kamp kami harus gelap gulita.

Barang siapa masih ingin mendapatkan lampu, harus mencari akal sendiri. Kami tidak diberi bahan untuk menutupi lampu.-

Inilah seni menyelundup dalam kamp. Keluarnya ceking, kembalinya seperti orang hamil sembilan bulan.

Cara membuat 'anggur'

Baca juga: Bukan Dikawal Pasukan Khusus, Bung Karno Malah Dikawal Anggota Yakuza Ketika di Jepang

Beras dicuci bersih, lalu pada siang hari, yaitu saat patroli tidak intensif, beras dimasak sampai airnya putih seperti susu. Setelah dingin, nasinya dikeluarkan, sedangkan tajinnya dicampur dengan ragi.  Campuran itu kemudian ditambahi gula dan disimpan dalam botol berkapasitas 40 l.

Untuk memperoleh peragian yang bagus ditambahkan bop kering ke dalam botol. Lalu tutup dipasang dan botol disembunyikan di balik selimut tua. Proses peragian pun dimulai.

Sepuluh hari kemudian, di tengah malam, tutup botol itu dibuka. Sekejap mata saja habislah anggur kami.

Berilah kepada orang terampil kikir rusak, kertas amplas dan beberapa jari-jari sepeda. Dalam waktu singkat barang rongsokan itu sudah menjadi alat yang canggih. Kotak aluminium bisa diubah menjadi barang yang indah.

Baca juga: (Foto) Sungguh Memilukan, Begini Kondisi Kota Hiroshima Pascajatuhnya Bom Atom Little Boy di Jepang

Pekerjaan waktu senggang yang populer dalam kamp ialah seni gravir. Seni itu kebanyakan dilakukan pada kotak sabun aluminium dari perlengkapan masker gas yang kebetulan pas untuk rokok.

Pekerjaah iseng itu kemudian berkembang menjadi profesi kamp benar-benaran. Hasilnya bingkai potret, gelang arloji, kalender abadi, gelas minum, cincin, ukiran kayu. Hasilnya kemudian bisa diperagakan pada pameran kami.

Tentu saja ada lukisan, aquarel dan bahkan kapal dalam botol. Bahwa karya paling bagus tidak dipamerkan sudah jelas. Ada kemungkinan barang itu disita.

Di kamp banyak binatang peliharaan, terutama anjing dan kucing. Anjing takut sekali kepada penjaga Jepang, karena mereka kadang-kadang ditusuk dengan bayonet.

Baca juga: Di Balik Seramnya 'Momo', Inilah Seniman Jepang yang Diduga Menciptakan Sosoknya

Kalau tidak ada senjata, mereka ditendang dengan sepatu lars. Rasanya lumayan. Tidak heran kalau anjing cepat-cepat mencari perlindungan setiap ada orang Jepang datang. Berarti anjing membantu kami agar tidak usah babak belur.

Ketika keadaan makanan bertambah sulit, anjing harus berkorban. Orang Jepang bertindak lebih keji terhadap anjing. Mereka sering digebuki sampai mati.

Untuk menghindari hal itu kepala kamp mengambil kebijaksanaan untuk mematikan semua anjing dengan suntikan strychnine. Miri juga mengalami nasib yang sama. Setelah tertidur untuk selama-lamanya, ia dibungkus dengan seprai, lalu dikubur di kebun.

Desas-desus bahwa perang akan segera usai mendorong orang bertindak gegabah, yakni lari dari kamp. Umumnya mereka tertangkap kembali. Kembali ke kamp mereka dianiaya dan ditembak mati di depan mata kami.

Baca juga: Cerita Heroik Bapak TNI AU yang ketika Masih Jadi Tentara Belanda Pernah Menenggelamkan Kapal Perang Jepang