Find Us On Social Media :

Benarkah Pangeran Diponegoro Pernah Disekap di Balai Kota Tempat Para Tawanan Kompeni Disiksa?

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 8 Agustus 2018 | 07:00 WIB

"College van Schepenen" dewan yang juga bertugas mengadili, bersidang ditingkat satu di belakang balkon. Di sana mereka menjatuhkan vonis-vonis mereka menurut sistem peradilan abad ke 17 dan 18 yang tidak beradab.

Tulis Dr. de Haan, penulis sejarah Jakarta yang terkenal: "Jika orang mengamati kamar yang sempit tetapi panjang itu, dapat dibayangkan betapa para anggota dewan duduk di situ seperti dilindungi oleh barikade jerajak besi yang serba kuat dan di belakang pintu-pintu yang sangat tebal, mungkin untuk melindungi mereka dari kemungkinan nekadnya salah seorang hukuman yang mendengar namanya dibacakan di bangsal di belakangnya, untuk menerima hukuman mati.

Tuan-tuan itu keluar dari kamarnya ke balkon, setiap kali terjadi pelaksanaan hukuman pada tiang penggantungan yang didirikan di depan Balai Kota. Dari balkon mereka mengamati betapa terhukum dibawa ke tiang penggantungan diiringi oleh bunyi lonceng dan diantarkan oleh seorang pendeta. Setelah hukuman terlaksana, mereka makan, sebagaimana kebiasaan di tanah air."

Hukuman-hukuman yang kejam, demikian De Haan selanjutnya, disamping kerahasiaan yang meliputi nasib orang-orang yang biasanya ditawan oleh patroli-patroli tentara dari daerah pedalaman atau dikirimkan oleh Bupati-bupati memperdalam rasa ketakutan orang akan Balai Kota.

Baca juga: Sentot Ali Basya, Panglima saat Perang Diponegoro yang Hidupnya ‘Ditelan oleh Sang Waktu

Biasanya handai taulan atau keluarga orang-orang itu tidak mendengar berita apa-apa lagi tentang mereka. Atau mereka mati pada waktu penahanan atau waktu menunggu pelaksanaan hukuman atau dibawa ke penjara atau ke tempat pengasingan.

Kenangan yang berdarah itu masih melekat pada Balai Kota, yang sekalipun tadinya mencantumkan lambang-lambang kekuasaan dan keadilan. Bagi tertuduh yang malang yang diseret ke sana lambang-lambang itu hanya berarti: habislah kini semua harapan!

Sebab lima ruang di bawah tanah, di bawah gedung, tempat para tawanan disekap, begitu rendahnya, sehingga orang tak bisa berdiri tegak. Udara dan cahaya terang hanya masuk sedikit-sedikit lewat celah-celah jerajak besi.

Tempatnya sempit, penghuninya penuh sesak, udaranya buruk, sehingga banyak yang mati oleh penyakit demam atau beri-beri, jauh sebelum mereka sempat dihadapkan kepada pengadilan.

Baca juga: Untuk Peroleh Keuntungan Besar, Kompeni Pernah Melegalkan Madat di Indonesia

Terutama tahanan yang berasal dari daerah pedalaman yang berudara segar, yang paling tidak tahan menghadapi keadaan ini.

Lapangan yang melingkungi bangunan ini pada waktu tertentu juga berfungsi sebagai tempat parade. Dalam tahun 1798 pagar-pagar yang berasal dari lapangan-lapangan parade sebelumnya dipindahkan ke sekitar lapangan itu.