Advertorial
Intisari-Online.com – Meski tidak termasuk pecandu, kita pasti mengenal madat. Istilah itu menunjuk barang haram berupa narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, termasuk minuman beralkohol.
Bahan-bahan "beracun" ini semakin akrab di telinga sejak warga dunia memperingati Hari Anti Madat setiap 26 Juni.
Namun, jauh sebelumnya, sebenarnya madat sudah dikenal sebagai bagian dari tradisi (buruk) pada masyarakat tertentu.
Bahkan istilah madat sudah ada sejak zaman prasejarah (neolitik) di daerah sebelah timur LautTengah (Mediterania).
Hal ini ditulis ilmuwan kedokteran Yunani pada abad ke-5 sebelum Masehi.
Oleh bangsa Persia dan India, opium, salah satu jenis madat, biasanya mereka campur dengan zat lain saat dikonsumsi untuk menimbulkan rasa gembira.
Tak sekadar mengonsumsi, kedua bangsa ini juga menjualnya hingga ke Portugis.
Peningkatan konsumsi madat di Portugis mempengaruhi perdagangan India. Bangsa Portugis melihat kegiatan penjualan madat sebagai peluang emas.
Mereka pun menjual kembali barang haram itu ke Cina. Pada abad ke-17 posisi pedagang Portugis digantikan bangsa Belanda.
Baca juga: Jika Terbukti Terlibat dalam Pengedaran Narkotika, Presiden Filipina Izinkan Anaknya Ditembak Mati
Pedagang dari Negeri Kincir Angin ini lalu melebarkan sayapnya hingga ke kepulauan di AsiaTenggara (baca: Indonesia) sebanyak 50 ton setahun sejak tahun 1650.
Belanda juga mendapat hak monopoli untuk menjual madat ke Jawa, yang pada saat itu penduduknya sudah padat.
Keuntungan Belanda dari perdagangan ini sangat spektakuler. Dengan membeli candu lebih murah dari India, mereka menjualnya dengan harga tinggi di Jawa. Kartel Belanda (VOC) memperoleh keuntungan 400%!
Untuk melancarkan perdagangannya pemerintah Belanda memberikan izin tempat-tempat tertentu untuk dijadikan tempat menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal berdasarkan undang-undang.
Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan undang-undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).
Baca juga: Miliki Efek Halusinasi, Obat Ilegal Banyak Digunakan Remaja sebagai Pengganti Narkotika
Dalam suatu survei yang dilakukan pasca-lndonesia merdeka diketahui, penggunaan madat di kalangan remaja di Indonesia dan beberapa negara diawali dengan mencoba rokok.
Kemudian pengedar gelap menawarkan rokok secara cuma-cuma yang sengaja dicampur zat madat.
Untuk mencegah munculnya dampak buruk madat, sejak 1971 Presiden Rl mengeluarkan Instruksi No. 6/1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang dikenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71.
Badan ini mengkoordinasikan (antardepartemen) semua kegiatan penanggulangan berbagai bentuk penyimpangan yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif, dan pengawasan terhadap warga negara asing.
Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No. 9/1976, tentang narkotika.
Baca juga: 2015, Pendapatan Nasional Italia Terdiri Atas Narkotika dan Alkohol Ilegal
Undang-Undang itu antara lain mengatur berbagai hal, khususnya tentang peredaran gelap.
Di samping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan.
Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Lahirlah UU Anti Narkotika No. 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika No. 5/1997.
Dalam undang-undang itu mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.
Terakhir, pemerintah membentuk Badan Narkotika Nasional untuk mencegah dan menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika. (Diana istyarini – Intisari Juni 2006)
Baca juga: Tingkat Adiktif Biskuit Lebih Tinggi Dibanding Narkotika ?