Intisari-Online.com - Dijual dengan harga murah, obat-obatan ilegal laku di kalangan masyarakat bawah , khususnya para remaja yang menggunakannya sebagai pengganti narkotika karena efek halusinasi yang dimilikinya.
Hal itu terungkap setelah pengerebekkan pabrik obat ilegal di Kabupaten Tangerang, Banten. Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI Inspektur Jenderal Antam Novambar, dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (6/9), memastikan, masyarakat bawah jadi sasaran pemasaran obat ilegal dari Tangerang karena obat itu dijual Rp1.000 hingga Rp2.000 per butir.
”Harga itu lebih murah daripada harga narkoba. Dari hasil investigasi kami di sejumlah daerah, obat ilegal ini dikonsumsi warga untuk menghasilkan efek halusinasi, lalu mereka berbuat jahat, seperti perkelahian dan aksi kekerasan,” kata Antam.
Menurut Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapeutik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Arustiyono, maraknya obat ilegal mencerminkan lemahnya pengawasan, ringannya sanksi hukum pada pelaku, dan praktik pengelolaan sediaan farmasi yang tak sesuai standar.
Pengawasan sediaan farmasi terfragmentasi dan dilakukan banyak lembaga. Pengawasan itu tak menyeluruh dari hulu hingga hilir. Padahal, ada puluhan ribu sarana pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang harus diawasi.
Arustiyono menambahkan, sebagian besar obat ilegal beredar melalui jalur ilegal dan apotek rakyat. Pemerintah daerah yang memberikan izin kepada apotek dan toko obat juga harus berperan mengawasi.
Sebagai bagian dari pembenahan, kini BPOM bisa mengawasi sarana layanan kesehatan dan kefarmasian hingga mengaudit sumber pengadaan sediaan farmasi. Namun, sinergi dengan berbagai lembaga diperlukan mengingat sumber daya manusia BPOM terbatas.
Beredar luas
Pada Jumat (2/9), tim gabungan Polri dan BPOM mengungkap lima lokasi pabrik pembuat obat ilegal tanpa izin produksi yang berada di kompleks pergudangan Surya Balaraja, Kabupaten Tangerang. Polri dan BPOM menemukan 42,48 juta butir obat ilegal berbagai jenis berikut alat produksinya senilai Rp30 miliar.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menyebutkan, obat ilegal yang ditemukan terdiri dari Tramadol 24,9 juta butir, Trihexyphenidyl 2 juta butir, Carnophen 10,38 juta butir, Somadryl 4 juta butir, dan Dextrometorphan 1,18 juta butir.
Jika disalahgunakan, Tramadol dan Trihexyphenidyl memicu ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sementara Carnophen dan Somadryl, yang mengandung carisoprodol dan dexthromethorpan, ialah obat batuk yang menimbulkan efek halusinasi.
Karena itu, BPOM telah melarang obat yang hanya mengandung carisoprodol dan dexthrometorphan sediaan tunggal sejak tahun 2013.
Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan BPOM Hendri Siswadi memaparkan, produsen obat ilegal di Tangerang tak menyasar segmen pasar yang membutuhkan obat karena sakit tertentu, tetapi konsumen yang ingin menyalahgunakan obat, terutama remaja. Jadi, kandungan dalam obat ialah zat pemicu kecanduan, seperti narkoba.
Selain obat, di lokasi produksi obat ilegal ditemukan sejumlah bahan baku obat, yakni carnophen sebanyak 25 tong, dexamethason 8 tong, parasetamol 40 tong, dan tramadol 3 tong.
Di pabrik itu, tim gabungan Polri-BPOM juga menemukan obat tradisional, seperti Pa’e, African Black Ant, New Anrat, Gemuk Sehat, dan Nangen Zengzhangsu. Beberapa jenis obat itu tak punya izin edar atau mencantumkan nomor izin edar fiktif. Obat-obat itu mengandung bahan kimia obat sildenafil sitrat yang disalahgunakan sebagai penambah stamina pria.
Penny menjelaskan, BPOM menguji laboratorium kandungan semua obat ilegal itu. ”Kami pastikan kandungan obat ilegal itu tak memenuhi syarat. Kami akan menelusuri lebih jauh kandungan obat ilegal itu,” ujarnya.
Peredaran luas
Sejauh ini, Polri memeriksa 15 saksi, mayoritas adalah pekerja di pabrik obat itu. ”Dari keterangan saksi, mereka bekerja selama tiga bulan. Proses penyelidikan berlangsung dan kami belum menetapkan tersangka dalam kasus ini,” kata Antam.
Meski baru beroperasi tiga bulan, Antam menduga, tempat produksi obat ilegal itu juga ada di wilayah lain di Indonesia. Obat ilegal itu ditemukan beredar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada April 2016 (11,7 juta butir Carnophen dan Dextromethorphan), dan Bandung, Jawa Barat, pada Juni 2015 (10 juta butir Carnophen).
Produsen dan distributor obat ilegal akan dijerat Pasal 196 dan atau Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelaku diancam sanksi pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Kepala Seksi Farmasi di Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Jabar, Dede Sediana menyatakan, penjualan obat di warung kecil dan minimarket sulit diawasi karena berjumlah amat banyak. Jadi, warga diimbau membeli obat di apotek karena pengawasannya ketat. Sanksi tegas diberikan kepada apotek yang terbukti menerima dan menjual obat palsu.
Obat kedaluwarsa
Di Jakarta, Polda Metro Jaya menyita buku penjualan milik M (41), tersangka penjual obat kedaluwarsa di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Buku itu mencatat penjualan obat dalam jumlah besar dari toko obat milik M ke sejumlah kota, antara lain Palembang, Pontianak, dan Banjarmasin.
Polisi mendalami apakah obat yang dikirim ke luar Jakarta kedaluwarsa karena tersangka mengaku bahwa kondisi obat yang dijual dalam jumlah besar masih bagus.
Dinas Kesehatan Kota Cirebon, Jabar, mengklaim belum menemukan obat kedaluwarsa dijual bebas di Cirebon. Namun, warga Cirebon diminta mewaspadai adanya obat kedaluwarsa. ”Kami sudah survei ke puluhan pedagang besar farmasi, tak ada obat palsu,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto. (SAN/ADH/CHE/JOG/IKI/WAD)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 1 dengan judul "Obat Ilegal Picu Gangguan Mental".