Find Us On Social Media :

Pasar Senen Kebakaran: Waktu Pasar Senen Masih Disebut Vinckepasser

By Ade Sulaeman, Kamis, 19 Januari 2017 | 12:00 WIB

Pasar Senen tempo dulu.

Dalam Javaanse Courant terbitan 22 September 1849 ditetapkan hari pasar adalah hari Minggu dan Selasa; rupanya ini suatu kekeliruan.

Mulanya Pasar Senen ini hanya terdiri atas gubuk-gubuk. Sampai tahun 1815, di sana masih terdapat rumah gedek, walaupun sudah ada rumah petak dari kayu. Tapi belum ada satu pun rumah tembok.

Menurut catatan, tanggal 9 Juli 1826 sebagian besar Pasar Senen pernah terbakar. Ada kemungkinan sesudah terjadinya kebakaran inilah baru mulai dibangun rumah-rumah dari batu.

Setelah menjadi Proyek Senen pun pasar ini pernah terbakar, yaitu pada waktu ada kerusuhan Malari 1974.

Di tahun 1883 pernah ada kejadian yang menghebohkan yang menimpa Pasar Senen. Hari itu, Jumat pagi, kira-kira pukul 09.00, matahari bersinar cerah dan suasana pasar sedang ramai. Tiba-tiba turun hujan abu. Orang-orang pun jadi panik, karena mendadak saja hari jadi gelap. Orang tidak bisa melihat apa-apa. Di mana-mana terdengar suara tangisan, karena mengira hari mau kiamat! Ternyata akibat letusan Gunung Krakatau!

Hujan abu seperti itu terjadi lagi tahun 1912 dan 1918. Tapi kejadian ini tidak lagi menimbulkan rasa takut di kalangan penduduk.

Sejak tahun 1770, yang dinamakan Pasar Senen itu meliputi pasar yang terletak di kiri-kanan Grote Zuiderweg (Jalan Pasar Senen). Jadi sebagian ada yang di luar batas tanah Weltevreden. Suasana pada masa itu masih seperti pedesaan, masih banyak pohon-pohon.

Jalan Pasar Senen juga dulunya satu-satunya jalan yang menghubungkan Batavia dengan Meester Cornelis (Jatinegara). Di sebelah timur pasar terdapat perumahan orang Tionghoa. Di belakang perumahan ini mengalir de Slokkan (Kali Baru). Selokan ini dulu dibuat oleh Gubernur Jenderal G. G. Van Imhoff (1743-1750), yang mengalir dari Salemba dan Kramat, lalu membelok ke Bungur, untuk memudahkan pengangkutan kayu dari 'pedalaman' ke kota Batavia.

Dari arah Gunung Sahari sebelum sampai simpang Jalan Kenanga, di sebelah kiri jalan ada Gedung Pertunjukan Wayang Orang Panca Murti. Dulunya gedung ini bekas gudang beras. Tahun 1911 berubah fungsinya mcnjadi Bioskop West Java, yang memutar film-film bisu. Kemudian tahun 1920 namanya berganti menjadi Rialto dan masih tetap memutar film bisu.

Terakhir fungsinya berganti menjadi gedung sandiwara wayang orang, sampai sekarang. Hanya namanya sekarang Bharata.

Dulu di Senen juga ada jalan yang disebut Jalan Jagal. Tapi bukan berarti karena di situ ada tempat penjagalan, melainkan hanya tempat penampungan hewan-hewan yang akan dipotong. Sedang tempat potongnya sendiri tcrletak di timur Gang Waning Panjang (Jl. Senen Raya IV), di tepi kali Kali Lio.

Tempat penjagalannya berupa sebuah panggung yang bawahnya dibuat semacam kandang. Hewan sapi atau kerbau yang hendak dipotong dimasukkan ke kandang, lalu ditombak dari atas panggung. Kepalanya dipukul dengan keras sampai mati.