Penulis
Intisari-Online.com - Kebakaran hebat terjadi di Blok III Pasar Senen dilaporkan terjadi pada puku; 04:43 WIB (19/1/2017). Berita ini langsung menjadi trending topic di Twitter serta dicari lebih dari 20.000 kali di mesin pencari Google.
Tentu saja ramainya pembicaraan mengenai Pasar Senen ini tidak terlepas dari sejarah panjang dari area yang sempat memiliki nama Vinckepasser tersebut.
Melalui artikel “Waktu Waktu Pasar Senen Masih Disebut Vinckepasser” yang ditulis Tota Tobing di majalah Intisari edisi Juni 1985, kita dapat menemui beragam kisah unik mulai dari hujan abu yang disangka kiamat, adanya area penjagalan, hingga beberapa kebakaran yang pernah terjadi di Pasar Senen.
--
Bulan ini Jakarta genap 458 tahun, saat yang tepat untuk menengok ke belakang. Lebih-lebih karena Segi Tiga Senen yang sekarang masih berdiri gagah, sebentar lagi juga menjadi sejarah.
Setelah Pasar Senen dibongkar serta diganti dengan yang baru, Pusat Perdagangan Proyek Senen, di awal tahun tujuh puluhan, kini giliran Segi Tiga Senen (STS) akan mengalami hal yang sama. STS yang mayoritas berupa toko itu terletak di antara jalan Senen Raya- Jalan Pasar Senen dan Jalan Senen Raya III (Jalan Kenanga).
Alasan pembongkaran, konon, karena kondisinya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kota Jakarta sekarang. Kelak di tempat itu akan dibangun bangunan baru sebagai penataan lingkungan Senen.
Namun sebelumnya, ada baiknya juga kita tahu asal-usul dan sejarah pertumbuhan lingkungan Senen ini. Untuk itu kita harus menengok kembali ke belakang, ke masa 250 tahun yang lalu. Karena Senen dulunya termasuk bagian dari daerah yang bernama Weltevreden, maka sejarahnya pun berkaitan erat dengan Weltevreden.
Hujan abu disangka kiamat
Pasar Senen tadinya bernama Vinckepasser (Pasar Vinck). Tapi karena hari pasarnya mula-mula hanya hari Senin, orang pun lalu menyebutnya Pasar Senen. Tahun 1751 Mossel menetapkan hari pasar adalah hari Senin dan jumat.
Berkat kemajuan dan ramainya pasar, baru sejak tahun 1766 pasar ini buka pada hari-hari lainnya. Ini juga disebabkan oleh tindakan Daendels yang membangun kompleks militer di sekitar Pasar Senen. la mendirikan perumahan opsir di sepanjangjalan Kenanga, Kwini, Secang, Manjangan sampai Lapangan Waterloo (Lapangan Banteng).
Barang-barang yang diperdagangkan di Pasar Senen pun tidak lagi hanya sayuran saja, tetapi juga bahkan keperluan sehari-hari.
Dalam Javaanse Courant terbitan 22 September 1849 ditetapkan hari pasar adalah hari Minggu dan Selasa; rupanya ini suatu kekeliruan.
Mulanya Pasar Senen ini hanya terdiri atas gubuk-gubuk. Sampai tahun 1815, di sana masih terdapat rumah gedek, walaupun sudah ada rumah petak dari kayu. Tapi belum ada satu pun rumah tembok.
Menurut catatan, tanggal 9 Juli 1826 sebagian besar Pasar Senen pernah terbakar. Ada kemungkinan sesudah terjadinya kebakaran inilah baru mulai dibangun rumah-rumah dari batu.
Setelah menjadi Proyek Senen pun pasar ini pernah terbakar, yaitu pada waktu ada kerusuhan Malari 1974.
Di tahun 1883 pernah ada kejadian yang menghebohkan yang menimpa Pasar Senen. Hari itu, Jumat pagi, kira-kira pukul 09.00, matahari bersinar cerah dan suasana pasar sedang ramai. Tiba-tiba turun hujan abu. Orang-orang pun jadi panik, karena mendadak saja hari jadi gelap. Orang tidak bisa melihat apa-apa. Di mana-mana terdengar suara tangisan, karena mengira hari mau kiamat! Ternyata akibat letusan Gunung Krakatau!
Hujan abu seperti itu terjadi lagi tahun 1912 dan 1918. Tapi kejadian ini tidak lagi menimbulkan rasa takut di kalangan penduduk.
Sejak tahun 1770, yang dinamakan Pasar Senen itu meliputi pasar yang terletak di kiri-kanan Grote Zuiderweg (Jalan Pasar Senen). Jadi sebagian ada yang di luar batas tanah Weltevreden. Suasana pada masa itu masih seperti pedesaan, masih banyak pohon-pohon.
Jalan Pasar Senen juga dulunya satu-satunya jalan yang menghubungkan Batavia dengan Meester Cornelis (Jatinegara). Di sebelah timur pasar terdapat perumahan orang Tionghoa. Di belakang perumahan ini mengalir de Slokkan (Kali Baru). Selokan ini dulu dibuat oleh Gubernur Jenderal G. G. Van Imhoff (1743-1750), yang mengalir dari Salemba dan Kramat, lalu membelok ke Bungur, untuk memudahkan pengangkutan kayu dari 'pedalaman' ke kota Batavia.
Dari arah Gunung Sahari sebelum sampai simpang Jalan Kenanga, di sebelah kiri jalan ada Gedung Pertunjukan Wayang Orang Panca Murti. Dulunya gedung ini bekas gudang beras. Tahun 1911 berubah fungsinya mcnjadi Bioskop West Java, yang memutar film-film bisu. Kemudian tahun 1920 namanya berganti menjadi Rialto dan masih tetap memutar film bisu.
Terakhir fungsinya berganti menjadi gedung sandiwara wayang orang, sampai sekarang. Hanya namanya sekarang Bharata.
Dulu di Senen juga ada jalan yang disebut Jalan Jagal. Tapi bukan berarti karena di situ ada tempat penjagalan, melainkan hanya tempat penampungan hewan-hewan yang akan dipotong. Sedang tempat potongnya sendiri tcrletak di timur Gang Waning Panjang (Jl. Senen Raya IV), di tepi kali Kali Lio.
Tempat penjagalannya berupa sebuah panggung yang bawahnya dibuat semacam kandang. Hewan sapi atau kerbau yang hendak dipotong dimasukkan ke kandang, lalu ditombak dari atas panggung. Kepalanya dipukul dengan keras sampai mati.