Find Us On Social Media :

Mengapa Antidepresan Nyaris Tak Ada Gunanya Lagi untuk Atasi Depresi?

By Muflika Nur Fuaddah, Rabu, 13 Juni 2018 | 14:00 WIB

Intisari-Online.com- Depresi telah diperkirakan mempengaruhi lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia.

Bahkan jika studi baru kembali dilakukan, mungkin hasilnya akan semakin bertambah seiring meningkatnya kasus bunuh diri.

Tentu saja depresi juga disebabkan oleh beberapa faktor eksternal termasuk media sosial atau permasalahan pribadi.

Namun tak hanya dari faktor eksternal, depresi sebenarnya lebih bersifat fisiologis (dari tubuh kita sendiri).

Baca Juga: Karma! Mimpi Camilla Jadi Ratu Inggris Dihadang 'Titisan Putri Diana', Kate Middleton

Yakni bahwa depresi muncul karena sesuatu yang disebut hipotesis monoamina.

Ini berarti orang dengan depresi memiliki kekurangan dua hormon tertentu: serotonin dan norepinefrin.

Oleh karena itu, masuk akal bahwa sebagian besar pilihan perawatan fokus pada memperbaiki ketidakseimbangan hormon ini.

Meski begitu pengobatan dengan konsumsi obat antidepresan tidaklah selalu berhasil.

Baca Juga: Orang Yahudi Terkenal Cerdas, Ketahuilah 7 Faktor Penyebabnya Ini

"Tiga puluh persen orang yang mengonsumsi antidepressan tidak mengalami manfaat tertentu," kata Yumiko Saito dan Yuki Kobayashi, ahli saraf dari Hiroshima, Jepang, sebagaimana dilansir dari IFL Science, Selasa (12/6/2018).

"Jelas, kita butuh obat baru! Kita butuh penjelasan lain penyebab depresi," lanjutnya.

Dan itulah yang mereka temukan.

Hasil penelitian baru telah dipublikasikan dalam jurnal Neuroscience.

Baca Juga: Presiden Trump Terlihat Gugup Saat Bertemu Kim Jong Un, Kenapa Bisa Begitu?

Penelitian menunjukkan fokus pada jenis protein yang disebut RGS8.

Protein ini terlibat dalam regulasi gerakan dan suasana hati serta mengendalikan reseptor hormon MCHR1.

Ketika MCHR1 aktif dan bekerja sebagaimana mestinya, itu membuat pengaturan tidur, makan, dan respons emosional berjalan sebagaimana semestinya.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tingkat rendah RGS8 dapat meningkatkan perilaku depresif.

Baca Juga: Tak Hanya Jago Nembak, Pasukan Pengawal Presiden AS Juga Jago Nyetir dan Membanting Orang

Namun hingga sekarang teori ini belum diuji pada organisme hidup sehingga para peneliti menggunakan tikus sebagai kelinci percobaan.

Mereka yang diberi tambahan RGS8 dalam sistem sarafnya akan memiliki perilaku depresif yang lebih rendah.

Ketika diberikan obat antidepressan yang yang mempengaruhi hormon serotonin dan norepinefrin, perilaku depresif juga cenderung rendah.

Namun, saat diberi obat penghenti MCHR1, tingkat depresi akan stabil atau bahkan meningkat.

Baca Juga: Ditemukan di Israel, Mungkinkah Patung Kepala Mini Ini Menggambarkan Raja Kuno?

Ini berarti bahwa monoamina yang berkaitan dengan hormon serotonin dan norepinefrin sepertinya tidak terlibat dalam kecenderungan depresi.

Namun yang mempengaruhi segala gangguan ini ialah MCHR1.

Selanjutnya, tim melihat otak tikus di bawah mikroskop.

Ternyata otak tikus dengan tingkat tambahan RGS8 memiliki silia yang lebih panjang.

Baca Juga: Bukan Sembarang Simbol, Ini Alasan di Balik Gaya Khas Rambut Orang Yahudi

Silia abnormal ini telah dikaitkan dengan kondisi fisik, termasuk obesitas, penyakit retina, dan penyakit ginjal.

Namun pertama kali dikaitkan dengan gangguan mood.

Keunikan ini menjelaskan bahwa mengapa antidepresan membawa manfaat baik bagi beberapa orang namun tidak bagi sebagian lagi.

Penelitian ini berharap akan dapat mendorng temuan-temuan obat yang lebih efektif lagi untuk mengatasi depresi.

Namun bukan berarti jika sekarang Anda merasa obat antidepresan Anda tidak memiliki efek signifikan Anda harus menghentikan mengonsumsinya.

Konsultasikan lagi dengan psikiater Anda.

Baca Juga: Pangeran William dan Kate Middleton Sengaja 'Reka Ulang' Foto Pangeran Charles dan Putri Diana, Ini Hasilnya!