Find Us On Social Media :

Yang Mulia Edelweiss Tidak Perlu Dicari Hingga ke Swis, di Jawa pun Ada

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 16 Mei 2018 | 11:30 WIB

Intisari-Online.com – Bunga edelweis ternyata ada dua. Edelweis (satu s) Jawa dan edelweiss (dua s) Swis. Keduanya pernah menjadi bunga pujaan, sampai ada lagu yang diciptakan untuknya. Sama indahnya dengan nama bunga itu.

Bunga dari Swis itu sudah sejak sebelum PD I dulu terkenal ke seluruh dunia. la diwartakan hanya mau tumbuh di pegunungan tinggi saja dan tumbuhnya pun di tempat-tempat yang sulit, seperti lereng terjal dinding batu, misalnya.

Atau celah-celah batu gunung. Kalau ada yang bisa memetik dan membawanya pulang, wah, bukan main bangganya. Itu bukti nyata, bahwa ia sudah betul-betul mendaki gunung paling tinggi dan berbahaya.

Tanaman itu makin ngepop, setelah Rogers dan Hammerstein mempopulerkan lagu Edelweiss ke seluruh penjuru dunia. Benar-benar mengharu rasa lagu ini, sampai dipakai dalam Film The Sound of Music.

Baca juga: Hmm... Bunga Abadi Edelweiss Asli Ternyata Ada di Pegunungan Alpen, Bukan di Gunung-gunung Indonesia

Filmnya juga bagus, sehingga diputar berbulan-bulan lamanya di bioskop-bioskop Jakarta tahun 70-an dulu.

Si Putih yang mulia

Sebenarnya, bunga itu tidak begitu bagus. Hanya putih saja. Akan tetapi karena ia tumbuh di antara batu-batu gunung yang hitam kotor, maka weiss (putih)nya lalu kelihatan mencolok sekali edel (mulia)nya.

Tanaman yang di kalangan ilmuwan beredar sebagai Leontopodium alpinum ini berupa terna tegak, yang hanya 15 cm saja rendahnya. Batangnya lunak tak berkayu dan kalau mati tidak ada yang tersisa. Ia disebut alpinum karena tumbuh asli di Pegunungan Alps (kata orang Inggris) atau Alpen (istilah Jerman Tinggi).

Aneh sekali, daunnya yang hijau berbulu pendek. Begitu pula bunganya yang majemuk kecil-kecil kuning yang dikelilingi kerah dari kelopak bunga yang putih seperti perak. Semuanya berbulu pendek seperti felt (kain laken), tapi kadang-kadang juga ada yang diwut-diwut seperti beledu.

Setelah makin ngetop popnya dan makin banyak turis asing mengunjungi Swis, bunga itu seperti dirampok habis-habisan. Beberapa perkumpulan pelestari alam lalu menarik bayaran di pintu keluar (tadinya masuk) daerah edelweiss, dengan maksud agar peminatnya direm, jangan sampai menggebu-gebu.

Baca juga: Terlihat Biasa, Ternyata Bunga Ini Bunga Pertama yang Mekar di Ruang Angkasa

Hasil punglinya akan dipakai untuk biaya pembibitan bunga itu. Jadi tidak akan punah kalau dipungut terus-menerus.

Di beberapa daerah yang kepalanya menyangsikan keberhasilan pelestarian melalui pungli itu, mencoba melestarikan bunga dengan melarang sama sekali pengambilannya dari lingkungan hidupnya. Banyak juga yang kecewa.

Untunglah dunia luar Swis kemudian tahu, bahwa bunga yang dikomersialkan itu juga tumbuh di lereng selatan Pegunungan Alpen, di wilayah Italia. Tumbuhnya mbludak, lagi, sampai membentuk karpet putih di tengah hijaunya lapangan berumput yang luas sekali.

Ah! Untuk apa bersusah payah mencari edelweiss dari lereng Pegunungan Alpen Swis, kalau begitu? Sudah sulit, dilarang lagi!

Ternyata kemudian, di Pegunungan Himalaya Asia daratan dan Cordilleras de los Andes Amerika Selatan pun ada edelweiss Leontopodium, meski agak berbeda.

Edelweiss Himalaya, Leontopodium alpinum stiacheyi misalnya, seakan-akan berbunga besar, karena kelopak yang mengelilingi mahkota panjang lebar dan kasar. Diduga bahwa itu karena penyesuaian diri tanaman itu dengan curah hujan yang luar biasa di Himalaya.

Baca juga: Sakralnya Kecantikan Bunga yang Pertama Kali Mekar di Luar Angkasa Ini

Untuk bertahan di tengah alam yang hujannya lebih kejam daripada di Eropa itu, kelopak bunganya berbulu lebih kasar daripada edelweiss Swis. Seperti mantel penolak dingin orang-orang Nepal saja.

Edelweis satu s

Tahu-tahu beredar pula berita "sungguh mati", bahwa di Indonesia juga ada edelweis. Tumbuhnya di daerah dinginnya pegunungan, yang paling sedikit setinggi 2.000 m di atas permukaan laut, seperti puncak G. Gede (yang tingginya 2.958 m) di Jawa Barat, misalnya. G. Dempo (3.159 m) di perbatasan Bengkulu dan Sumatra Selatan, Sindoro (3.135 m) di Jawa Tengah dan Arjuno (3.239 m) di Jawa Timur.

Akan tetapi edelweis Jawa (pakai satu s) itu  ternyata berbeda sekali dengan edelwiess (dua s) Swis. Sebelum edelweis Jawa, Aaaphalis Javanica, disebut "edelweis", ia .sudah lama beredar dengan  nama sembung langu (di. G. Gede), capo gunung  (di Dempo), widodaren (di Arjuno) dan sindoro (di Jawa Tengah). G. Sindoro di daerah itu disebut begitu karena banyaknya pohon itu.

Tanamannya memang berupa pohon. Batangnya berkayu, sebesar pergelangan tangan. Tingginya bisa 4 m. Akan tetapi, meskipun jauh sekali berbeda dengan edelweiss Swis yang berupa terna kecil mungil itu, ia masih sesuku (Compositae) dengan Leontopodium.

Seperti kerabat-kerabat Compositae lainnya, (bunga matahari, seruni dan dahlia), bunga widodaren itu juga majemuk, membentuk karangan bunga yang berkumpul di ujung tangkai. Warnanya tidak weiss lagi, tapi kuning gading.

Baca juga:(Foto) Tak Biasa, 10 Bunga Ini Punya Bentuk yang Mirip Obyek Lain

Mungkin karena hanya tumbuh di pegunungan tinggi saja dan tahan lama disimpan kering, maka ia mengingatkan seorang Belanda dari zaman voor de oorlog dulu pada bunga edelweiss dari Swis, lalu menyebutnya "edelweis" juga.

Orang Indonesia tidak mungkin menyebutnya begitu, karena sudah menyediakan nama daerah sendiri masing-masing.

Di alun-alun yang terbentang di antara tepi kawah G. Gede dan Gemuruh, Kabupaten Cianjur, dapat kita nikmati pemandangan yang menakjubkan dari hamparan bunga edelweis Jawa ini.

Sejauh mata memandang, hanya kuningnya bunga dan hijaunya daun diliputi bulu pendek seperti kain laken saja yang terlihat. Dari jauh tampak putih abu-abu seperti diliputi salju.

Mungkin karena terpesona melihat keindahan bunga yang menakjubkan itu, para pengunjung puncak G. Gede dulu selalu memetik bunga itu sebagai cendera mata. Bunga itu memang tahan lama disimpan kering, sampai berbulan-bulan tetap mengkilat cerah, lalu lama pula dijadikan kenang-kenangan di rumah, berikut "sahibulhikayat" seperlunya.

Baca juga: Fakta 'Ampak-Ampak', Kabut Gunung yang Kerap Dikaitkan dengan Hilangnya Para Pendaki

Setiap tamu yang bertandang akan diceritai betapa langkanya bunga itu. "Tidak ada yang tumbuh di Jakarta!" Kalau dipetik masih  kuncup, bisa mekar  kemudian sambil mengeluarkan bau harum.

Sayang, berbunganya  hanya di musim kemarau, antara bulan April dan Agustus. Benar-benar langka, bukan? Bukan!

Yang merusak

Pengambilan terus-menerus jelas merusak keindahan pemandangan yang menakjubkan di alun- alun puncak G. Gede itu. Para petinggi negara tahun 30-an menjadi khawatir, kalau sembung "edelweis" langu di tempat itu jadi punah.

Maka, dikeluarkanlah semacam permen (peraturan menteri) yang disebut Natuurbeschermingsordonantie tahun 1941, untuk menyatakan puncak G. Gede sebagai cagar alam, termasuk alur-alun tempat tumbuh "edelweis".

Cagar alam ialah daerah yang dianggap mempunyai keindahan alam yang nilai budayanya tinggi, sedangkan dari segi sains pun "tak ternilai" harganya. Sayang bukan, kalau pelestariannya untuk kepentingan umum (rakyat banyak) tidak diurus baik-baik?

Baca juga:Terkenal sebagai Pasar Setan, Begini Kebenaran Pasar Bubrah Gunung Merapi di Mata Sains

Dalam ordonansi perlindungan alam itu memang tidak disebut secara khusus "dilarang memetik bunga edelweis", tapi dalam pasal 5 butir 2 dinyatakan dengan jelas, "dilarang melakukan sesuatu yang berakibat mengubah keadaan tanah dan pertumbuhan flora (dan fauna) sampai mengganggu keaslian cagar alam".

Memetik edelweis di alun-alun puncak G. Gede. termasuk mengganggu keaslian cagar alam, karena kalau yang memetik itu beramai-ramai, (kalau satu dibolehkan, semua minta dibolehkan juga), pohonnya jelas gundul.

Kemudian ada perang dengan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Ordonansi itu tidak jalan. Baru sesudah kita mempunyai  Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup-lah, ordonansi itu jalan lagi.

(Sem) barang siapa melanggar larangan dalam pasal 5 di atas dihukum kurungan setinggi- tingginya 3 bulan atau setinggi-tingginya 500 gulden.  Pada tahun 1941, denda sebesar itu memang bukan main mencekik leher, tapi pada tahun 1990, nilai rupiahnya bergantung pada tafsiran hakim pengadilan negeri masing-masing. Biasanya kurang mencekik.

Baca juga: Merapi Meletus Lagi: Ini 5 Letusan Gunung Merapi Paling Mematikan dalam Sejarah Indonesia

Kane yang dibakar

Dalam praktek, jarang sekali ada yang dimejahijaukan, hanya karena memetik sembung langu dari G. Gede itu. Orang yang ketahuan membawanya ke luar pagar akan disita bunganya, dicatat KTP-nya dan dibuat malu di depan khalayak ramai.

Mudah-mudahan orang itu masih mempunyai budaya malu, lalu menyebarkan berita hangat: "Wah! Satpamnya galak! Jangan coba mengambil edelweis!"

Diam-diam ia menjadi penyambung lidah para petugas pelestarian alam.

Ternyata kemudian, Anaphalis javanica itu juga tumbuh di lereng G. Agung (3.124 m) di Pulau Bali. Di sana pun, dulu ada semacam pengurasan bunga itu oleh para turis, sampai para petani Besakih di lereng selatan mempunyai gagasan untuk bertanam pohon itu, lalu menjual bunganya kepada turis.

Mereka berhasil menanamnya di pekarangan rumah, karena tanah mereka kebetulan tanah vulkanik, yang tingginya lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Tempat tumbuh yang memang disukai oleh bunga itu.

Baca juga: Kurang dari 5 Menit, Berikut Cara Mudah Memotong Botol Kaca untuk Membuat Pot Bunga

Orang Bali sendiri memakai ranting kane (Balinya edelweis) sebagai semacam dupa dalam acara keagamaan. Ranting yang sudah kering, kalau dibakar bisa mengeluarkan asap putih yang tebal bagus dan tahan lama.

(Ditulis oleh Slamet Soeseno. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1990)

Baca juga: Tak Hanya Manusia, Tanaman Ini Juga Bisa Sengsara Setelah di-Bully Habis-habisan