Find Us On Social Media :

Yang Mulia Edelweiss Tidak Perlu Dicari Hingga ke Swis, di Jawa pun Ada

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 16 Mei 2018 | 11:30 WIB

Cagar alam ialah daerah yang dianggap mempunyai keindahan alam yang nilai budayanya tinggi, sedangkan dari segi sains pun "tak ternilai" harganya. Sayang bukan, kalau pelestariannya untuk kepentingan umum (rakyat banyak) tidak diurus baik-baik?

Baca juga:Terkenal sebagai Pasar Setan, Begini Kebenaran Pasar Bubrah Gunung Merapi di Mata Sains

Dalam ordonansi perlindungan alam itu memang tidak disebut secara khusus "dilarang memetik bunga edelweis", tapi dalam pasal 5 butir 2 dinyatakan dengan jelas, "dilarang melakukan sesuatu yang berakibat mengubah keadaan tanah dan pertumbuhan flora (dan fauna) sampai mengganggu keaslian cagar alam".

Memetik edelweis di alun-alun puncak G. Gede. termasuk mengganggu keaslian cagar alam, karena kalau yang memetik itu beramai-ramai, (kalau satu dibolehkan, semua minta dibolehkan juga), pohonnya jelas gundul.

Kemudian ada perang dengan Jepang dan revolusi kemerdekaan. Ordonansi itu tidak jalan. Baru sesudah kita mempunyai  Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup-lah, ordonansi itu jalan lagi.

(Sem) barang siapa melanggar larangan dalam pasal 5 di atas dihukum kurungan setinggi- tingginya 3 bulan atau setinggi-tingginya 500 gulden.  Pada tahun 1941, denda sebesar itu memang bukan main mencekik leher, tapi pada tahun 1990, nilai rupiahnya bergantung pada tafsiran hakim pengadilan negeri masing-masing. Biasanya kurang mencekik.

Baca juga: Merapi Meletus Lagi: Ini 5 Letusan Gunung Merapi Paling Mematikan dalam Sejarah Indonesia

Kane yang dibakar

Dalam praktek, jarang sekali ada yang dimejahijaukan, hanya karena memetik sembung langu dari G. Gede itu. Orang yang ketahuan membawanya ke luar pagar akan disita bunganya, dicatat KTP-nya dan dibuat malu di depan khalayak ramai.

Mudah-mudahan orang itu masih mempunyai budaya malu, lalu menyebarkan berita hangat: "Wah! Satpamnya galak! Jangan coba mengambil edelweis!"

Diam-diam ia menjadi penyambung lidah para petugas pelestarian alam.

Ternyata kemudian, Anaphalis javanica itu juga tumbuh di lereng G. Agung (3.124 m) di Pulau Bali. Di sana pun, dulu ada semacam pengurasan bunga itu oleh para turis, sampai para petani Besakih di lereng selatan mempunyai gagasan untuk bertanam pohon itu, lalu menjual bunganya kepada turis.

Mereka berhasil menanamnya di pekarangan rumah, karena tanah mereka kebetulan tanah vulkanik, yang tingginya lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Tempat tumbuh yang memang disukai oleh bunga itu.

Baca juga: Kurang dari 5 Menit, Berikut Cara Mudah Memotong Botol Kaca untuk Membuat Pot Bunga

Orang Bali sendiri memakai ranting kane (Balinya edelweis) sebagai semacam dupa dalam acara keagamaan. Ranting yang sudah kering, kalau dibakar bisa mengeluarkan asap putih yang tebal bagus dan tahan lama.

(Ditulis oleh Slamet Soeseno. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1990)

Baca juga: Tak Hanya Manusia, Tanaman Ini Juga Bisa Sengsara Setelah di-Bully Habis-habisan