Mengenang Pertempuran di Meester Cornelis, Jawa pun Jatuh ke Tangan Inggris

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Di Meester Cornelis, Belanda akhirnya mengakui kekalahan dan Hindia Belanda akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

[ARSIP Intisari]

Yang disebut Meester Cornelis ialah Jatinegara (di Jakarta Timur) sekarang. Tahukah Anda di tempat itu terjadi pertempuran dahsyat? Kita ikuti saja cerita Adolf Heuken SJ. Penulis Historical Sites of Jakarta itu sengaja menyajikan cerita ini untuk Anda.

Tayang pertama kali di Majalah Intisari pada Juni 1988

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Kota Jakarta jarang diserang musuh. Sejauh diketahui dari laporan sejarah, serangan pertama dilakukan oleh panglima tentara Cirebon - Banten, yaitu Fatahillah, pada tahun 1527. Sunda Kelapa, kota pelabuhan Kerajaan Pajajaran, berhasil direbut oleh tentara Muslim dan di atas puing-puingnya didirikanlah Kota Jakarta.

Hampir seratus tahun kemudian J.P. Coen dan tentara VOC menghancurkan kota dan Keraton Jacatra yang dibela tentara Banten (1619). Di atas puing-puing kota ini dibangunlah kota dagang Batavia.

Serangan delapan puluh ribu tentara Sultan Agung pada tahun 1627 dan 1628 gagal, karena persiapan logistik tidak memadai dan dihalangi kapal-kapal VOC. Kurang dari dua ratus tahun kemudian, musuh baru datang dengan menumpang hampir seratus kapal layar serikat dagang lain, yaitu British East India Company (EIC) dari Bengal dan Malaka.

Di bawah komando Letjen Sir Samuel Auchmuty, hampir sepuluh ribu tentara (setengah dari Inggris dan setengah lagi dari India) mendarat di Cilincing, sebelah timur Tanjung Priok, pada tanggal 4 Agustus 1811.

Mereka tidak mengalami perlawanan apa pun, walaupun angin dan arus menyulitkan pendaratan tentara, kuda, perbekalan dan artileri.

Rupanya panglima Belanda, Jenderal Janssens, yang beberapa tahun sebelumnya sudah kalah dan menyerahkan Cape Town kepada Inggris, tidak menyangka bahwa musuh dapat mendarat di pantai yang penuh rawa, kali dan sungai itu.

Lagi pula Janssens memperhitungkan - sesuai dengan rencana pembelaan Batavia buatan H.M. Daendels - bahwa sengatan matahari, rawa-rawa serta iklim yang tidak sehat di sekitar Batavia akan sedemikian melemahkan tentara Inggris, sehingga mereka tak akan kuat menyerang sistem kubu-kubu dan benteng di Meester Cornelis.

Pertempuran Kwitang

Sistem pertahanan ini dibangun di kawasan yang terletak sekarang ini, di antara perempatan Jl. Matraman Raya-Jl. Pramuka dan jembatan kereta api di atas Jl. Matraman Raya. Di tempat pertahanan itu 13.000 tentara Belanda-Prancis siap menunggu serangan dengan 280 meriam dan perkubuan yang diperkuat oleh Sungai Ciliwung dan selokan (yang sekarang mengalir di antara rel kereta api dan Jl. Matraman Raya).

Kota Batavia lama (sekarang Kota) tidak dibela dan jatuh ke tangan Inggris tanpa perlawanan (9 Agustus). Hanya air minum disembunyikan, sedangkan minuman keras dibiarkan tersedia di rumah-rumah yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya.

Ini sesuai dengan taktik Daendels, yaitu memancing musuh supaya masuk kota yang sangat kurang sehat itu dan cepat menjadi lemah; sementara tentara Belanda menunggu di daerah Weltevreden dan Meester yang sehat.

Malam berikutnya seorang Melayu hampir saja meledakkan seluruh Kota dengan membuang obor yang menyala ke dalam gudang mesiu. Seandainya hal itu tidak diketahui pada menit terakhir, ribuan orang sipil dan ratusan tentara Inggris akan mati terbakar.

Pagi hari tanggal 10 Agustus, dua satuan tentara Inggris yang tidak mau tinggal di Kota, maju melalui Jl. Majapahit dan Gunung Sahari ke Selatan menuju Weltevreden (sekarang Gambir). Tentara Inggris itu maju tanpa perlawanan sampai ke Jl. Kwitang.

Baru di sinilah mereka ditembaki dari desa-desa yang terdapat di Kelurahan Kwitang sekarang. Namun, artileri Inggris berhasil mematahkan perlawanan Belanda-Prancis itu dua jam kemudian, dan kavaleri Inggris maju terus sampai ke Struiswijk (kawasan Fakultas Kedokteran UI sekarang) dengan mengejar tentara Belanda yang menarik diri ke perkubuan Cornelis.

Pihak Belanda kehilangan lima ratus tentara dan banyak amunisi yang disimpan di Senen. Di pihak Inggris, 17 orang tewas dan 73 orang luka-luka. Pertempuran di Kwitang itu hanyalah permulaan pertempuran dahsyat yang terjadi dalam dua minggu berikutnya.

Meriam lawan meriam

Sekarang kesalahan perhitungan Marsekal Daendels kentara. Beberapa jembatan antara Kota dan Gambir tidak dirusakkan, rumah-rumah tidak dibela, dan perkubuan Cornelis terlalu dekat dengan Kota dan pantai, sehingga tidak memperlemah pihak penyerang.

Gudang perbekalan dan amunisi di luar perkubuan juga tidak dipertahankan atau diledakkan.

Kota sekurang-kurangnya mestinya dipertahankan oleh satuan kecil untuk memperlambat laju serangan musuh beberapa minggu lamanya. Namun, panglima Belanda membiarkan Kota, gudang-gudang perbekalan, alat-alat transpor, amunisi dan perumahan dengan sumber air jatuh ke tangan pihak penyerang tanpa perlawanan yang berarti.

Karena dapat maju dengan mudah, tentara Inggris mau tak mau bertambah semangat dan bertekad menghancurkan perkubuan Meester Cornelis secepat mungkin. Sistem pertahanan Belanda-Prancis sebenarnya kuat, seandainya semangat juang tentara mereka tinggi.

Akan tetapi sebagian tentara Belanda sama sekali tidak suka, bahwa Belanda dan Hindia Belanda menjadi bagian dari Kekaisaran Perancis di bawah Napoleon. Maka tidak sedikit tentara diam-diam membelot dan membocorkan kelemahan sistem perkubuan mereka kepada Inggris.

Perkubuan Meester dikepung di ujung utara (sekitar Jl. Pal Meriam). Selama beberapa malam, Inggris mengangkuti meriam-meriam mereka semakin dekat ke benteng-benteng musuh, walaupun ditembaki artileri Belanda.

Sebenarnya artileri Belanda lebih kuat, tetapi tentaranya kurang terlatih, sehingga Inggris berhasil melumpuhkan banyak meriam. Akan tetapi hampir dua minggu setelah mendarat, tentara Inggris sudah mulai merasa lelah karena terus bertempur, menggali perkubuan, mengangkuti meriam dan persiapan-persiapan lain di terik matahari.

Tambahan lagi, perwira Inggris tidak berhasil mengetahui kekuatan musuh dan sistem perkubuan Meester Cornelis dengan tepat.

Rupanya Daendels berhasil merahasiakannya, juga terhadap penduduk Belanda di Batavia. Tetapi lama-kelamaan ketahuan juga bahwa perkubuan selatan (Jl. Pal Meriam) dan Utara (sekitar Jl. Bukit Duri) adalah yang paling kuat.

Sebelah barat Sungai Ciliwung merupakan alangan yang sulit bagi pihak penyerang. Maka pilihan tinggal garis pertahanan timur yang terdapat pada selokan tersebut di atas.

Dua jenderal ditawan

Sir Samuel Auchmuty bermaksud menyerang secepat mungkin dari arah timur. Supaya tidak diketahui musuh, maka tentara Inggris tidak akan muncul di sebelah timur Meester.

Hari serangan ditetapkan: tanggal 26 Agustus. Pagi-pagi benar tanggal 26 Agustus 1811, satuan infanteri di bawah komando Kolonel Gillespie, berangkat diam-diam dari tempat mereka di Salemba menuju ke Selatan, kurang lebih di sebelah timur rel kereta api Senen-Jatinegara.

Keadaan daerah ini begitu sulit, sehingga satuan terdepan sudah di tempat, sedangkan yang sebagian besar lagi belum berkumpul karena tersesat.

Di tempat yang sangat dekat ke garis pertahanan musuh, satuan pertama menunggu dengan cemas, karena khawatir diketahui patroli musuh. Maka sebelum fajar menyingsing, Kolonel Gillespie terpaksa menyerang dengan jumlah tentara yang sangat kecil.

Serangan ini ditentukan akan menjadi tanda bagi semua satuan lain untuk bergerak menurut rencana.

Lihainya, tentara Inggris dapat mengelabui pos-pos terdepan pihak musuh, sehingga mereka dapat merebut benteng (no. 3) yang berada paling timur di luar selokan (sekarang sebelah timur jembatan kereta api).

Dengan demikian, garis pertahanan luar sudah ditembus dan dengan cepat Gillespie berhasil mengalahkan pasukan pertahanan benteng lain (no. 4) yang tidak jauh daripadanya.

Dengan demikian, jembatan kecil di atas selokan aman, walaupun dengan akibat gugurnya beberapa perwira Inggris. Hampir bersamaan, sebuah benteng lagi (no. 2) meledak karena gudang mesiunya kena tembakan.

Hampir semua pasukan pertahanan tewas akibat ledakan itu bersama dengan beberapa penyerang yang sudah berhasil masuk ke dalam benteng yang malang itu (kirakira di tempat Susteran St. Fransiskus sekarang).

Kemudian satuan Gillespie diperkuat dengan tentara-tentara yang mula-mula tersesat, tetapi sekarang dapat masuk dengan mudah. Dengan tenaga baru ini, pusat perkubuan di sekitar Benteng Meester Cornelis sendiri (Kebon Pala sekarang) diserang, walaupun dibela musuh dengan gigih.

Tetapi setelah pihak penyerang juga berhasil menendang musuh mundur dari tempat itu, tentara Belanda-Prancis patah semangat dan mulai meninggalkan perkubuan dengan mundur ke Jatinegara Barat.

Selain itu serangan semu dari Selatan sangat membingungkan para pembela.

Pada saat perkubuan Meester ini goyah, kavaleri Inggris mulai menyerang, sehingga tentara Belanda yang sudah mundur ke Selatan tidak dapat berkumpul lagi untuk menyusun garis pertahanan baru secara teratur.

Percobaan untuk bertahan di sekitar Kampong Macassar tidak berhasil, karena satuan-satuan kavaleri Inggris terus menyerang dari berbagai arah. Semangat sudah patah. Enam ribu tentara Belanda ditawan, termasuk dua jenderal dan banyak perwira tinggi.

Hanya sekelompok kecil pasukan berkuda berhasil menyelamatkan diri ke Selatan. Jenderal Janssens dan Jenderal Jumel, dengan berpakaian seperti tentara biasa, berhasil lolos ke dalam rimba.

Pertempuran Meester memakan banyak korban di kedua belah pihak: Inggris kehilangan 500 orang, di antaranya 48 perwira. Tetapi kerugian di pihak Belanda jauh lebih besar lagi: seribu tentara mereka terkubur di tempat pertempuran, ratusan lagi gugur sewaktu mundur dan ribuan menjadi tawanan Inggris.

Untuk pertama kalinya, kekuatan Belanda dikalahkan setelah dua ratus tahun menang terus. Itu pertempuran di perkubuan Meester Cornelis. Semuanya sejarah yang sudah lewat. Selain teriakan "Meester, Meester" dari kernet oplet dan bus, rupanya semua sudah dilupakan.

Apakah masih ada yang berarti untuk diingat?

Sejarah setempat, apalagi tempat kita tinggal, tidak pernah lewat seluruhnya: menyatu dengan tempat itu, tempat kita mau tak mau berakar.

Artikel Terkait