Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-online.com -Di antara lembaran-lembaran sejarah yang terlupakan, terdapat satu kisah yang mengikat dua sosok besar dari zaman yang berbeda. Jean Chretien Baud, seorang jenderal Hindia Belanda, dan Pangeran Diponegoro, pahlawan yang berjuang melawan penjajahan.
Namun, benang merah yang menghubungkan mereka bukanlah peperangan, melainkan sebuah tongkat pusaka, saksi bisu dari perjuangan dan perdamaian.
Jean Chretien Baud, lahir di Den Haag pada tahun 1789, adalah sosok yang penuh kontradiksi. Sebagai seorang perwira militer, ia bertugas di Hindia Belanda pada masa yang penuh gejolak.
Perang Jawa, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, mengguncang tanah Jawa dan menguji kesetiaan Baud kepada negaranya. Namun, di balik seragam militernya, terdapat seorang intelektual yang mencintai ilmu pengetahuan dan seni.
Pangeran Diponegoro, lahir dengan nama Raden Mas Ontowiryo, adalah seorang pangeran Jawa yang karismatik dan pemberani. Ia memimpin perlawanan rakyat melawan penjajahan Belanda selama lima tahun, dari 1825 hingga 1830. Perang Jawa adalah salah satu perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah Indonesia, yang menelan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya.
Pada tahun 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara.
Perang Jawa berakhir, tetapi semangat perlawanan rakyat terus berkobar. Tongkat pusaka milik Pangeran Diponegoro, yang dikenal sebagai Kanjeng Kiai Tjokro, menjadi simbol perjuangan dan harapan bagi rakyat Jawa.
Pada tahun 1833, Jean Chretien Baud diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia mewarisi sebuah tanah yang masih terluka oleh perang, tetapi juga penuh potensi.
Baud menerapkan kebijakan yang keras terhadap perlawanan rakyat seperti mendukung sistem tanam paksa, tetapi ia juga berusaha memajukan pendidikan dan ekonomi di Hindia Belanda.
Pada tahun 1834, Baud melakukan kunjungan ke Jawa Tengah. Di sana, ia bertemu dengan Pangeran Notoprojo, cucu dari Nyi Ageng Serang, seorang pemimpin perempuan yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Pangeran Notoprojo memberikan tongkat pusaka Kanjeng Kiai Tjokro kepada Baud sebagai tanda persahabatan.
Diduga ada maksud untuk mengambil hati dan perhatian dari Jean Chretien Baud.
Baud menerima tongkat tersebut dengan penuh hormat. Ia menyadari nilai sejarah dan budaya dari tongkat tersebut, dan ia berjanji untuk menjaganya dengan baik. Tongkat itu menjadi bagian dari koleksi pribadi Baud, dan ia membawanya kembali ke Belanda ketika ia pensiun pada tahun 1836.
Selama lebih dari satu setengah abad, tongkat Kanjeng Kiai Tjokro tetap berada di tangan keluarga Baud. Mereka mewariskannya dari generasi ke generasi, dan mereka selalu menghormati sejarah dan makna dari tongkat tersebut.
Pada tahun 2015, keluarga Baud memutuskan untuk mengembalikan tongkat Kanjeng Kiai Tjokro ke Indonesia. Mereka merasa bahwa tongkat tersebut seharusnya berada di tanah kelahirannya, dan mereka ingin memberikan kontribusi untuk mempererat hubungan antara Indonesia dan Belanda.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diserahkan kepada pemerintah Indonesia dalam sebuah upacara resmi di Jakarta. Tongkat tersebut kini menjadi bagian dari koleksi Museum Nasional Indonesia, dan ia menjadi simbol perjuangan dan perdamaian antara Indonesia dan Belanda.
Kisah Jean Chretien Baud dan tongkat Pangeran Diponegoro adalah pengingat bahwa sejarah adalah sebuah perjalanan yang panjang dan berliku. Ada masa-masa konflik dan permusuhan, tetapi ada juga masa-masa perdamaian dan rekonsiliasi.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro adalah bukti bahwa bahkan di tengah-tengah perbedaan, kita dapat menemukan kesamaan dan membangun jembatan persahabatan.
Jean Chretien Baud meninggal dunia pada tahun 1859. Ia meninggalkan warisan yang kompleks, tetapi juga penting. Ia adalah seorang jenderal yang berjuang untuk negaranya, tetapi ia juga seorang intelektual yang menghargai budaya dan sejarah. Ia adalah seorang penjajah, tetapi ia juga seorang penjaga tongkat pusaka Pangeran Diponegoro.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro tetap menjadi simbol perjuangan dan harapan bagi rakyat Indonesia. Ia mengingatkan kita akan keberanian dan pengorbanan Pangeran Diponegoro, dan ia menginspirasi kita untuk terus berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan.
Kisah Jean Chretien Baud dan tongkat Pangeran Diponegoro adalah kisah tentang dua dunia yang bertemu, tentang dua sosok yang berbeda tetapi saling terkait. Ia adalah kisah tentang sejarah, tentang budaya, tentang perjuangan, dan tentang perdamaian.
Ia adalah kisah yang layak untuk dikenang dan dipelajari, karena ia mengajarkan kita tentang pentingnya menghargai masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.
*
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---