Raja Jawa yang Ini Disebut-sebut sebagai Pencipta Sosok Nyai Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Makam Panembahan Senopati. Tentu Raja Jawa yang satu ini berbeda dengan Raja Jawa yang disebut Bahlil Lahadalia, Ketum Golkar yang baru. Raja Jawa ini disebut-sebut sebagai pencipta sosok Nyai Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan.
Makam Panembahan Senopati. Tentu Raja Jawa yang satu ini berbeda dengan Raja Jawa yang disebut Bahlil Lahadalia, Ketum Golkar yang baru. Raja Jawa ini disebut-sebut sebagai pencipta sosok Nyai Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan.

[ARSIP]

Tentu Raja Jawa yang satu ini berbeda dengan Raja Jawa yang disebut Bahlil Lahadalia, Ketum Golkar yang baru. Raja Jawa ini disebut-sebut sebagai pencipta sosok Nyai Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan. Dialah Panembahan Senopati, penguasa pertama Mataram Islam.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Frasa "raja jawa" tengah menjadi buah bibir belakangan ini. Semua berawal dari pidato perdana Bahlil Lahadia setelah resmi terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Airlangga Hartarto.

Dalam pidatonya pada 21 Agustus 2024 itu, Bahlil mengingatkan para kader Golkar untuk tidak main-main dengan "Raja Jawa" jika tak ingin celaka. "Jadi kita harus lebih paten lagi, soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu. Sudah, waduh ini, dan sudah banyak, sudah lihat kan barang ini kan? Ya tidak perlu saya ungkapkanlah. Enggak perlu." Begitu ujar.

Spekulasi pun bermunculan soal siala sebenarnya Raja Jawa yang dimaksud oleh pria kelahiran Kecamatan Banda, Maluku Tengah, itu. Di luar itu, dulu pernah ada "Raja Jawa" yang berhasil membangun trah Mataram di Yogyakarta. Tak hanya itu, orang ini juga disebut-sebut sebagai pencipta sosok Nyi Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan.

Dialah Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam.

Kali ini kita akan membaca lebih jauh perihal sepak terjang Panembahan Senopati dalam "menciptakan" sosok Nyai Roro Kidul lewat sebuah artikel berjudul "Nyai Roro Kidul, Sosok Rekaan Senopati".

---

Suatu ketika laut selatan Pulau Jawa oleng, menggelegak macam air panas di kuali. Kemilau air laut yang biru, mendadak keruh berbuih mendidih, terguncang gempa. Ikan-ikan berlompatan mati kepanasan.

Para jin, setan periperayangan, risau menyaksikan perubahan gejala aneh di segoro kidul (laut selatan), karena gemuruh taufan itu terasa panas-dingin tak menentu sampai menembus dasar laut diantar angin tujuh keliling.

Nyai Roro Kidul, ratu dedemit di dasar samudera, itu pun tersentak kaget. Selama ribuan tahun hidup, baru kali ini melihat perubahan alam yang aneh di istananya.

Apa gerangan yang terjadi? Segera Nyai Roro Kidul melesat ke luar dan berdiri di atas air laut memandang bumi. Dunia terang-benderang, tak ada apa-apa. Cuma di tepi laut itu memang ada seorang lelaki berdiri bersedekap mengheningkan cipta.

Diakah penyebabnya?

Nyai Roro Kidul terdiam sejenak. Diamat-amatinya lelaki yang berdiri semadi itu, dan betapa kaget setelah tahu dia adalah Panembahan Senopati. Tak salah, tak silap memang dia penyebab prahara laut selatan.

Gemuruh ombak laut panas semakin tak tertahankan, sampai menciptakan bergunung-gunung gelombang. Menyadari kesaktian Panembahan Senopati, Nyai Roro Kidul diiringi sekalian makhluk halus mendekat dan menyembah seraya memohon belas kasihan, agar sang panembahan menghentikan tapa brata-nya.

Sebagai balasannya, Roro Kidul bersedia memenuhi permintaan Senopati yang ingin menjadi raja sampai ke anak-cucunya.

Bahkan penguasa samudera selatan itu pun berjanji akan membantu apa saja demi kejayaan pemerintahan Senopati, termasuk kelak kalau bumi Mataram kedatangan musuh, makhluk-makhluk halus laskar Ratu Kidul siap membereskannya.

"Saya akan segera mengirimkan setan-setan berikut genderang perang," kata Nyai Roro Kidul berjanji. Seketika gemuruh air laut hilang. Tak ada badai tak ada gelombang, bahkan ikan-ikan dan semua makhluk laut yang mati hidup kembali.

Singkatnya, Panembahan Senopati terpikat, lalu jatuh cinta. Mereka berdua berjalan di atas laut menuju istana. Konon, keindahan istana itu tak ada tandingannya di dunia. Pagar kelilingnya saja terbuat dan bata emas, penuh dengan tanaman serta bunga dan buah dari berbagai jenis ratna mutu manikam.

Dihadap oleh sekalian jin, setan, Senopati dan Nyai Roro Kidul duduk di balai-balai tempat bersantai. Di sinilah setiap hari Panembahan Senopati menerima berbagai pelajaran: ketatanegaraan, ilmu menjadi raja, memerintah manusia serta jin dan peri, berikut taktik berperang sampai ke percintaan. Selama tiga hari tiga malam, mereka berkasih-kasihan layaknya suami istri.

Semua ilmu pemberian Nyai Roro Kidul, menjadi bekal bagi Senopati untuk hadir sebagai raja sakti, bijaksana, penguasa tanah Jawa yang tiada duanya. Setelah dirasa cukup, Senopati mohon diri kembali ke bumi. Namun sebelumnya ia sempat bertanya, bagaimana caranya memanggil sang ratu jika suatu saat Mataram kedatangan musuh?

Ratu penguasa laut selatan itu tersenyum, menjawab, "Bersedekaplah dengan berdiri suku tunggal memandang langit, aku dan sekalian tentaraku akan segera datang membawa kemenangan."

Kemasyhurannya tembus waktu

Mitos Nyai Roro Kidul sebagaimana tersurat dalam Babad Tanah Jawi itu sampai sekarang masih ada. Kemasyhurannya bergema hingga terekam dalam kitab-kitab ilmiah bangsa seberang. Sudah lama mitos ini dikaji dan diteliti oleh para ahli, namun semua itu tak sanggup mengubah pandangan masyarakat Jawa akan eksistensi tokoh yang dianggapnya betul-betul ada.

Babad Tanah Jawi karya gabungan sejarah dan dongeng, memang bukan satu-satunya sumber tentang Nyai Roro Kidul. Namun dari karya tanpa nama inilah, kisah ratu dedemit laut selatan muncul menjadi bagian dari cerita rakyat Indonesia, bukan Jawa saja.

Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan serat Babad Tanah Jawi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama salah baca, Kanjeng Ratu Kidul!

Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakini, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda. Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Cuma Babad Tanah Jawi tak menyebutkan itu.

Kisah gaib rakyat jelata ini pun lantas berkembang menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggungjawaban religi yang sifatnya abadi. Ya, abadi karena sesuai janji, Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini.

Maka selama kerajaan Mataram ada, tokoh penguasa demit Pulau Jawa ini akan tetap disembah untuk dimintai berkah. Jadi ratu makhluk halus yang mendirikan bulu roma ini, sesungguhnya tidak memiliki watak jahat, bahkan sebaliknya berhati mulia karena dipercaya menjaga ketentraman keraton dan rakyat Mataram hingga sekarang.

Memang tak salah kalau cerita besar ini kemudian disebarluaskan lewat media bacaan bergambar yang komiknya laku keras di sekitar tahun 60-an. Justru komik inilah yang menarik, mengingat penyajian katanya singkat dan padat, sementara gambarnya sanggup menghanyutkan daya fantasi pembaca untuk membayangkan kecantikan rupa Nyai Roro Kidul, beserta kebrutalan jin, setan laknat penjaga laut selatan.

Layar perak film nasional pun tak pernah sepi dari cerita-cerita berbau mistis tentang Nyai Roro Kidul dengan serentet judul yang seram plus bumbu seks.

Yang jelas ratu sakti yang rupawan ini sudah menjadi salah satu isi khazanah kisah klasik di Indonesia. Bahkan nampak semakin sakral, karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan atau dipentaskan dalam teater tertutup berbentuk seni tari bedaya ketawang dan bedaya semang. Wajar kalau kemudian mitos Nyai Roro Kidul melebihi kisah Babad Tanah Jawi dan kebesaran Kerajaan Mataram sendiri.

Lihat saja setahun sekali, Keraton Yogyakarta pasti melakukan upacara tradisi labuhan di Parangkusumo. Labuhan itu, persembahan sesaji yang ditujukan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tradisi ini dilakukan bukan sekadar gengsi keraton atau untuk kepentingan wisatawan, melainkan demi keselamatan raja, keraton dan seluruh rakyatnya.

Ambil contoh, Sri Paku Buwono XII dari keraton Solo, di penghujung tahun 1985 melakukan labuhan guna keselamatan rakyat dan keraton setelah mengalami musibah kebakaran. Untuk mendapatkan keserasian hubungan dengan Ratu laut selatan, Kasunanan Surakarta membangun panggung Sanggabuwana sebagai tempat pertemuan -mereka berdua.

Sedangkan Kesultanan Yogyakarta memiliki sumur gemuling, terowongan bawah tanah di Tamansari Keraton Yogya yang konon tembus sampai menuju laut selatan sebagai tempat hubungan mistis antara Sunan dengan Kanjeng Ratu Kidul.

Tapi hubungan cinta antara raja,-dan ratu ini, oleh Sejarawan Edi Sedyawati diartikan sebagai hubungan yang bersifat adikodrati bukan hubungan seksual duniawi. "Karena itu," tulis Edi dalam Prisma no. 7, Juli 1991, "hubungan mereka tak pernah membuahkan anak.”

Menyinggung hubungan seksual, sejarawan KEP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo Hatmosuprobo, menyatakan, hubungan suami-istri Raja Jawa dan Ratu Kidul itu hanya berlaku sebelum Perjanjian Giyanti 1755. Sesudah Mataram pecah terbagi dua, masing-masing raja Yogya dan Surakarta sama-sama menganggap Kanjeng Ratu sebagai eyang, bukan istri.

"Soalnya, kalau tidak begitu Kanjeng Ratu Kidul itu namanya poliandri," katanya.

Apa pun komentar ahli, persepsi masyarakat Jawa tetaplah tak bergeming dari dulu hingga kini. Semua raja Jawa bisa berkomunikasi dengan Ratu Kidul. Tak percaya?

Sekadar contoh baca saja Tahta Untuk Rakyat him. 103. Jelas sekali mendiang Hamengku Buwono IX mengisahkan pengalamannya bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul setelah menjalankan laku puasa. Katanya, ketika bulan naik, Kanjeng Ratu ini terlihat cantik sekali. Sebaliknya, saat bulan menurun dia nampak sebagai wanita tua renta.

Mitos vs realitas

Mitos Ratu Kidul, sungguh mengingkari kenyataan. Di sini mitos mengalahkan realitas, tradisi menggusur modernisasi. Sebab hampir di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, dari Jawa Barat sampai Banyuwangi, Jawa Timur, ratu lelembut ini dipercaya ada bukan dalam alam khayal semata.

Jadi mungkin benar pula apa yang dikatakan oleh Edmund Leach dalam bukunya Culture and Communication, bahwa mitos merupakan jembatan antara dunia yang tampak dengan jagad yang tak kelihatan.

Mitos merupakan jawaban dari penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan tak lagi sanggup menerangkan hal-hal yang kelewat supernatural. Apa jawaban manusia Jawa tradisional terhadap ganasnya lautan yang acapkali meminta korban, kalau bukan sosok lelembut bernama Ratu Kidul.

Kayak apa rupa Kanjeng Ratu Kidul itu? Sayang sekali Babad Tanah Jawi hanya mengatakan kecantikannya tak tertandingi gadis-gadis di bumi ini. Sementara menurut kalangan tertentu yang mengaku pernah juga tahu, kecantikan ratu lelembut ini tak terlukiskan kata.

Dia berkulit kuning langsat, mulus dan berperangai halus. Kepalanya berhias mahkota kuning keemasan, dan di deretan giginya ada taring lancip kecil. Katanya, taring runcing ini justru menambah pesona wajah sang Ratu dan hanya terlihat saat dia murka saja.

Satu ciri lagi, dia gemar mengenakan warna hijau. Paling gampang membayangkan, lihat saja lukisan Basoeki Abdullah yang sengaja ditaruh di kamar 308 Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Konon lukisan itu bukan sekadar asal coretan tangan semata.

Contoh lain, masih segar dalam ingatan saat kirab jumenengan (penobatan) Sri Sultan Hamengku Buwono X tahun 1989 lalu. GBPH Yudhaningrat, pengawal iring-iringan kereta Hamengku Buwono X, merasa melihat ada putri cantik tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam kereta Garudayaksa dan duduk di samping Sri Sultan.

Berbarengan dengan itu, kuda Yudhaningrat melonjak kaget menyebabkan penunggangnya terjatuh. Peristiwa itu terjadi di sebelah utara alun-alun Keraton Yogya. Siapa lagi putri cantik itu kalau bukan Nyai Roro Kidul yang saat itu diributkan koran-koran setempat, bahwa Nyai Roro Kidul memang ikut mendampingi Sri Sultan berkirab.

Contoh di atas adalah bukti kecil dari sekian banyak bukti yang pernah tersebar tentang keberadaan ratu demit segoro kidul. Tokoh ini memang membingungkan sekali, kalau sedang baik hati dia mau memperlihatkan diri, cuma kalau lagi murka bisa menyeret manusia ke dasar samudera.

"Biasanya orang yang jadi korban, kaum muda yang kemendel atau sok jagoan, berteriak menantang supaya Kanjeng Ratu Kidul itu memperlihatkan dirinya," ujar Hamo Sutopo, penduduk Pantatai Parangtritis, Yogya.

Menurut Hamo, Parangtritis itu pintu gerbang keraton laut selatan, makanya berlakulah yang wajar-wajar saja. Jangan berteriak-teriak menantang, jangan pula berpakaian warna hijau pupus. "Hijau adalah warna seragam prajurit penghuni laut selatan, juga warna kegemaran sang ratu," tuturnya.

Keraton Kajiman

Pandangan masyarakat Jawa terhadap kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul, mirip pandangan terhadap kekuasaan raja-raja Jawa itu sendiri. Yaitu, wakil Tuhan yang berkuasa di dunia. Cuma bedanya, raja-raja Jawa itu kasat mata, sedangkan Ratu Kidul datan kasat mata (tak terlihat).

Apa komentar Ki Juru Permana tentang penguasa lelembut segoro kidul ini? Penasihat spiritual Keraton Ngayogyakarta itu beranggapan, segoro kidul adalah keraton kajiman (kerajaan jin), namun di dalamnya seperti Keraton Yogyakarta--ada istana, alun-alun, pohon beringin, dll.

Begitu pula struktur pemerintahannya, Kanjeng Ratu Kidul dalam melaksanakan pemerintahannya dibantu oleh dua patih, yaitu patih lebet (urusan dalam) dan patih jawi (urusan luar). Di samping pembantu kerajaan lainnya, seperti manggala yudha, penghulu, mertolutut, dll.

"Zaman dulu, masyarakat sepanjang tepi Sungai Winongo dan Progo, setiap bulan Suro pasti mendengar suara lampor, yaitu barisan kereta kuda pimpinan Kanjeng Ratu Kidul sendiri," ujar Ki Juru Permana.

Lampor merupakan kunjungan persahabatan antara rakyat segoro kidul dengan penghuni Gunung Merapi. Biasanya lampor itu disambut penduduk sekitar dengan suara bunyi-bunyian apa saja, guna mencegah bctrisan jin, setan tak sempat mengganggu penduduk. "Tapi ini dulu, sejak kedatangan Jepang kok, lampor itu hilang," ujarnya.

Ki Juna Permana mengakui, penguasa laut selatan itu memang ada dan setiap raja Jawa dulu mampu berkomunikasi dengannya. “Sayangnya, saya belum pernah melihatnya sendiri. Padahal berkali-kali saya diserahi memimpin upacara keraton. Jadi bagaimana ya saya harus bercerita," tuturnya.

Legitimasi kekuasaan raja

Bagi kalangan tertentu, sebutlah itu dukun, atau kalangan mistik amatiran dan ilmu sebangsanya, dewi laut selatan ini dianggap betul-betul ada dan .dituntut untuk percaya. Bagaimana tidak, kejadian demi kejadian gaib di Parangtritis sering kali menjadi saksi hidup yang sanggup membuyarkan keraguan orang yang tadinya tak percaya.

Namun bagi penelaah sejarah, khususnya sejarah awal berdirinya Mataram, historisitas yang tersirat dalam naskah kuno apalagi berbentuk babad, memang tidak bisa diterima begitu saja. Sumber itu perlu dipadukan dengan sumber-sumber lain untuk bahan kajian agar sejarah berjalan secara ilmiah.

Lantas, benarkah Nyai Roro Kidul itu ada dan pernah bercinta dengan tokoh sejarah Panembahan Senopati di sekitar tahun 1584? "Jawabnya gampang ditebak, kisah Nyai Roro Kidul itu hanya legitimasi, guna meyakinkan rakyat bahwa Senopati penguasa sah tahta kerajaan,"'kata Drs. Suhardjo Hatmosuprobo.

Penulis buku Peradaban Priyayi itu lebih jauh menjelaskan, gelombang laut selatan memang lebih ganas dibandingkan dengan laut utara Jawa. Sejak dulu sukar dilayari dan tak bisa dijadikan sumber mata pencarian, bahkan acapkali minta korban manusia. Realitas ini merupakan misteri yang banyak menyemburatkan pertanyaan yang menuntut jawaban.

"Kondisi alam yang penuh tabir rahasia inilah yang melahirkan mitos Ratu Kidul," ujarnya. Dalam konteks demikian itulah Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyatakan mitologi Nyai Roro Kidul dapat dipandang sebagai personifikasi dari bahaya laten dan terorisme alamiah.

Perkawinan sakral antara penguasa laut selatan dengan raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senopati dengan sendirinya akan memperkuat struktur protektif dari Kerajaan Mataram sebagai orde institusional yang berlaku di zaman itu (Kompas, 27 September 1984).

Di lain pihak Aim. Prof Slamet Mulyana (1982) menafsirkan lain, kunjungan Panembahan Senopati ke segoro kidul sebagaimana diceritakan naskah lama, menurutnya dalam rangka riset untuk mendirikan kerajaan agung Mataram yang agraris menjadi maritim.

Yang dicari adalah kemungkinan bisa tidaknya di sana dibangun pelabuhan besar. Soalnya, pantai utara Jawa kala itu masih dikuasai kaum Cina dari bekas Kerajaan Demak. Tapi usaha Senopati itu gagal, karena Samudera Hindia itu memang terlalu ganas dan sukar dijinakkan menurut ukuran dulu.

Menurut Suhardjo, pemujaan Kanjeng Ratu Kidul itu baru muncul sekitar pertengahan abad ke-16, namun sebelumnya mungkin sudah ada cerita rakyat yang berkembang di sana dalam bentuk lain. Folklor inilah yang kemudian dimodifikasi oleh Panembahan untuk dijadikan dasar legitimasi kekuasaan raja dan dinastinya.

Pandangan serupa dikemukakan juga oleh Sudharmono, sejarawan dari UGM yang mengatakan mitos Kanjeng Ratu Kidul merupakan penambahan unsur magis agar rakyat tetap yakin dan tak tergoyahkan terhadap kedudukan raja sebagai satu-satunya medium penghubung dunia mikrokosmos dengan alam makrokosmos.

"Sebagai sejarawan jelas saya tak begitu saja lekas percaya, adanya Kanjeng Ratu Kidul itu sebelum ada bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan," tegasnya.

"Tapi bagaimana ilmu pengetahuan sanggup membuktikan hal-hal yang supernatural. Ini sangat sukar diterangkan! Sementara kesaksian-kesaksian cukup banyak dan meyakinkan bahwa Nyai Roro Kidul itu ada. Maka sebagai orang Jawa saya percaya juga kalau makhluk halus itu memang ada,” ungkapnya.

Mitos Nyai Roro Kidul, sudah lama memang jadi bahan gunjingan awam sekaligus kajian para ahli, khususnya pakar sejarah Mataram. Tak kurang pelacak sejarah legendaris H.J. de Graff (1954) atau pakar tulisan dan bahasa Jawa kuno Prof. R. Ng. Poerbatjaraka (1962), sama-sama beranggapan mitos Roro Kidul itu hanya akal-akalan Senopati saja untuk membesar-besarkan kekuasaannya supaya lebih dicintai dan diakui rakyatnya.

Dalam kerangka lebih teoritis, barangkali seperti dirumuskan oleh Sartono Kartodirdjo (1982 : 228), bahwa prinsip penciptaan kharismatis baik berupa ndaru, pulung, atau wangsit maupun yang terwujud sebagai keajaiban supernatural, menjadi dasar legitimasi kekuasaan raja dan dinastinya.

Begitulah mitos ini masuk jadi bagian dari sistem religi masyarakat Jawa khususnya, Indonesia umumnya. Dengan demikian sekarang ini masyarakat Indonesia memiliki dua kisah Nyai Roro Kidul yang berbau sejarah dan Kanjeng Ratu Kidul yang totalitas dongeng.

Jadi kalau mau percaya Roro Kidul itu ada, pakailah teropong ilmu datan kasad mata. Mau tak percaya Roro Kidul ada, pergunakan kacamata ilmiah berdasar data sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Itu saja!

---

Itulah cerita tentang Raja Jawa pencipta sosok Nyai Roro Kidul Penguasa Pantai Selatan. Hebat, bukan?

Artikel Terkait