Find Us On Social Media :

HOS Tjokroaminoto, Keturunan Kiyai Ponorogo, Dicap sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota karena Kharismanya

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 9 Oktober 2024 | 10:27 WIB

HOS Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota, dikenal sebagia tokoh kharismatik. Bung Karno hingga Belanda mengakuinya.

Ayah Suharsikin sampai pada keputusasaan. Putrinya harus cerai dari suami yang "... tak bertanggung jawab, tak keruan gerak hidupnya." Jawab putrinya, "Baik, saya taat. Tetapi seumur hidup saya tak mau lagi kawin. Karena dunia dan akhirat suami anakmu hanya Mas Tjokro semata."

Mencari H.O.S. pada waktu itu memang tidak mudah. Ia menjadi buruh Pelabuhan Semarang, mengembara mencari guru agama, bahkan juga bertapa di dalam gua. Setelah anaknya yang pertama lahir, seorang putri, baru dia kembali pada istrinya, yang diboyongnya pindah ke Surabaya.

Tentang istri yang setia tersebut, Bung Karno pernah menulis:

"Pada saat saya menyatakan hormat dan terima kasih kepada Tjokroaminoto, saya tak mau melupakan Ibu Tjokro yaitu istri Pak Tjokro, seorang wanita yang sungguh luas hati dan luhur budi. Beliau pun meninggalkan kesan yang dalam di kalbu saya."

Bung Karno menikah dengan Siti Oetari, putri sulung Tjokroaminoto. Perkawinan yang tidak berlangsung lama. Mereka kemudian bercerai setelah Bung Karno meninggalkan Surabaya untuk melanjutkan studi ke Bandung.

Enam tahun Bung Karno diasuh oleh Bu Tjokro yang menerima pelajar-pelajar HBS menumpang di rumahnya, sehingga rumah tersebut terkenal menjadi semacam asrama, Internat Suharsikin. Bung Karno, Drs. Hermen Kartowisastro, Dr. Sampurno, Alimin, Muso, Abikusno, semuanya lama tinggal di internat tersebut.

Bu Tjokro mengerti perjuangan suaminya dan membantu sepenuhnya antara lain dengan berdiri menyelenggarakan rumah tangga sendiri. Karena dari seorang pejuang seperti suaminya, tidak banyak yang dapat diharapkan di bidang materi.

Tiga orang utusan Sarekat Islam dari Solo pada bulan Mei 1912 bertamu ke rumah Pak Tjokro di Surabaya. Mereka mengadakan pembicaraan mendalam tentang program organisasi. Pak Tjokro tertarik akan sifat kerakyatannya, "... mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri."

Apalagi jiwa penggeraknya adalah api Islam yang menyala di dada rakyat. Kontan Pak Tjokro menyanggupi. Dalam waktu hanya dua bulan Sarekat Islam Surabaya sudah beranggotakan lebih dari 2000 orang.

Untuk pertama kalinya Pak Tjokro tampil di depan umum pada Kongres Sarekat Islam I di Kebun Raya Surabaya yang dihadiri oleh ribuan orang. Pimpinan Kongres diserahkan kepada Tjokroaminoto.

Dengan tampangnya yang bregas, pandangan matanya yang tajam, bibirnya yang mengatupkan kemauan keras dan keahliannya berpidato, dia adalah benar-benar pemimpin rakyat yang diharapkan.

Di depan ribuan rakyat tersebut dia berkata, "Apabila rakyat sudah bangun dari tidurnya, tidaklah ada sesuatu yang dapat menghadapi pergerakannya."