Find Us On Social Media :

HOS Tjokroaminoto, Keturunan Kiyai Ponorogo, Dicap sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota karena Kharismanya

By Moh. Habib Asyhad, Rabu, 9 Oktober 2024 | 10:27 WIB

HOS Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota, dikenal sebagia tokoh kharismatik. Bung Karno hingga Belanda mengakuinya.

Berbicara Sarekat Islam, tentu kita harus berbicara tentang HOS Tjokroamino--selain tentu saja Haji Samanhudi. Jakob Oetama pernah menuliskan sepak terjang Raja Jawa Tanpa Mahkota di Majalah Intisari edisi Desember 1964 yang kemudian menjadi bagian dari buku Sketsa Tokoh Catatan Jakob Oetama terbit 2003

---

Intisari hadir di WhatsApp Channe, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Tjokroaminoto adalah sosok yang menarik.

Tampangnya tinggi bregas (tangkas agak kasar). Kedua matanya terletak agak dalam, menerobos ke lubuk hati kalau sedang memandang. Dahinya lebar, bibirnya terkatup tebal dan keras. Kulitnya kuning.

Semakin mengkaji riwayat hidup tokoh nasional tersebut, semakin tampak kebenaran kata-kata Bung Karno, "Terutama sekali Tjokroaminoto termasuk salah seorang guru saya yang amat saya hormati. Kepribadiannya menarik saya dan Islamismenya menarik saya pula, oleh karena tidak sempit."

H.O.S. Tjokroaminoto keturunan Kyai Ponorogo yang terkenal karena kealiman dan pesantrennya, yang kemudian kawin dengan seorang putri Sunan Paku Buwono II dari Surakarta. Ayahnya, Raden Mas Tjokroamiseno, Wedana Kleco, Madiun. Dia adalah putra kedua, saudaranya semua ada sebelas. Dia lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Krakatau tanggal 16 Agustus 1883.

Waktu kecil ia terkenal nakal. Adik-adik dan kawan-kawannya disuruh masuk ke dalam kurungan ayam atau ditunggangi sebagai kuda. Sejak di sekolah dasar ia sudah jago berkelahi, kegemarannya main keroyok melawan anak-anak sekolah lain. Karena nakal, sering dikeluarkan dari sekolah.

Tetapi berhasil juga ia menamatkan sekolah pangreh praja OSVIA sampai bagian II. Sebentar ia bekerja sebagai juru tulis Patih Ngawi, lalu merantau ke Surabaya. Ia bekerja pada Firma Kooy & Co, sambil belajar di HBS sore dan sejak waktu itu ikut dalam pergerakan Boedi Oetomo.

Belum juga puas dengan pekerjaannya, ia lalu menjadi leerling (siswa) masinis dan kemudian bekerja sebagai ketniker pada pabrik gula dekat Surabaya.

Perkawinannya dengan Raden Ajeng Suharsikin, putri Patih Ponorogo, pada mulanya tak berhasil memberikan ketenangan jiwa. H.O.S. sering meninggalkan istrinya. Ini menimbulkan bentrokan dengan mertuanya, sehingga H.O.S. terpaksa pindah dari rumah mertuanya dengan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung.