Find Us On Social Media :

Pasukan Khas, Kekhasannya Tak Hanya pada Baret Jingganya, Seleksinya Superberat

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 3 Oktober 2024 | 11:51 WIB

Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU tidak hanya baret jingganya yang istimewa. Ada tugas-tugas penting lain yang tak kalah istimewa.

Tanggal 5 Oktober 2024 adalah HUT TNI ke-79, 12 hari kemudian, tepatnya 17 Oktober 2024 adalah HUT Pakshas. Kali ini kita akan membahas tentang pasukan khusus milik TNI-AU itu. Mantan wartawan Intisari I Gede Agung Yudana dan G. Sujayanto mempersembahkannya untuk Anda.

Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari pada Oktober 1992

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - "Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadacana". Artinya, kerjakanlah tugasmu dengan penuh rasa tanggung jawab tanpa menghitung untung-rugi, tanpa mempertanyakan risiko yang bakal terjadi.

Motto berbahasa Sansekerta ini tersurat pada emblem bergambarkan garuda terbang membawa senjata pamungkas trisula dan cakra yang tersemat di baret jingga. Di zaman seperti sekarang ini sungguh berat mewujudkan semboyan ini.

Direnungkan saja sudah bikin merinding. Tugas yang dimaksud belum jelas. Risikonya pun masih tanda tanya. Namun, ternyata masih ada di antara putra-putra bangsa yang menjunjung tinggi semangat semboyan tsb.

Mereka melakukan itu tanpa mempertanyakan tugas yang bakal mereka emban, meskipun tugas tsb. sebenarnya tercermin pada badge sebagai "pasangan" emblem tadi. Badge tsb. tertempel di lengan kiri pakaian seragam mereka. Wujudnya, perisai merah dengan tepi berwarna putih dan di tengahnya bergambarkan payung udara, senapan bersangkur, dan meriam.

Maknanya, pemakai seragam loreng dengan badge tadi, dipercaya sebagai perisai negara yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah. Mereka berani membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan; bertakwa; yakin akan kemampuannya dalam menjalankan tugas.

Merekalah Pasukan Khas TNI-AU, yang kedudukannya sejajar dengan Kopassus TNI-AD dan Marinir TNI-AL.

Baret jingga dengan seragam loreng dan sepatu lars jadi ciri khasnya. Kekhasan mereka juga terletak pada tugas membentuk dan merebut pangkalan udara untuk dijadikan pangkalan operasi, mengoperasikan, mengamankan, serta mempertahankannya. Ada pula yang bertindak sebagai tim SAR.

Makan monyet

Sebagai pasukan elite TNI-AU, Paskhas dinyatakan lahir tanggal 17 Oktober 1947. Hari itu, dalam sejarah tercatat sebagai operasi pertama pasukan payung Indonesia. Operasi tersebut dilaksanakan atas permintaan Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Mohammad Noor, pada bulan Juli 1947 kepada AURI.

Isinya meminta pengiriman pasukan payung ke wilayahnya. Tugas pasukan ini membentuk dan menyusun gerilyawan, membantu perjuangan rakyat di Kalimantan, membuka stasiun radio induk untuk keperluan komunikasi Yogyakarta - Kalimantan, dan mengusahakan serta menyempurnakan dropping zone (areal penerjunan) untuk penerjunan berikutnya.

Tepat tanggal 17 Oktober 1947 diterjunkanlah 13 anggota pasukan di Kotawaringin. Pasukan ini bernama Pasukan MN (Mohammad Noor) 502. Mereka terpilih dari 45 orang yang direkrut dari berbagai angkatan dan badan perjuangan. Mereka belum pernah berlatih terjun betulan.

Bekal yang mereka dapatkan cuma teori dan latihan darat selama seminggu. Cuma mendapatkan breifing terpisah malam hari menjelang penerjunan. Bahkan, pada waktu berangkat ada anggota tidak mengenal anggota lainnya.

Mereka merasakan punggung terbebani payung pun baru pertama kali. Bekal yang mereka bawa cuma semangat dan cinta tanah air. Seragam yang mereka kenakan berwarna hijau muda. Cuma ada dua orang, Sujoto dan Hari Hadisumantri yang kebetulan komandan pasukan, yang mengenakan seragam baru berwarna coklat.

Bajunya berkantung empat besar-besar dan tanpa atribut pengenal sama sekali. Beat pinggang dari kulit berukuran sedikit lebih kecil dari kopelrim. Untuk menyimpan persediaan air rninum, digunakan veldples dari tempurung kelapa.

Senjata yang jadi bekal mereka ada empat jenis. Sujoto bersenjatakan pistol FN disertai 88 peluru dan granat, Hari Hadisumantri menggunakan Jinggel Carabine, Johanes Bitak bersenjata mitraliur 7,7, dan sisanya menggunakan stand gun.

Dengan pesawat Dakota RI-002 yang dipiloti Robert Earl Freeberg (orang Amerika Serikat), tepat pukul 03.40, 14 orang pasukan lepas landas dari Maguwo. Sewaktu pesawat berada di atas medan operasi, tiba-tiba satu orang menolak diterjunkan. Dia cuma duduk tertunduk di sudut pesawat. Mayor Tjilik Riwut yang menjadi penunjuk arah cuma bisa marah tanpa dapat memaksanya.

Tatkala matahari masih bersembunyi di timur cakrawala, satu per satu mereka berhamburan ke udara. Sebenarnya mereka diterjunkan di Sepanbihak, namun atas berbagai pertimbangan mereka terpaksa diterjunkan di Kotawaringin.

Mereka mendarat terpencar di Kampung Sambi. Meski dengan bantuan gerilyawan suku Dayak di sana, mereka tak bisa berkumpul segera. Bahkan, ada yang baru tiga hari berhasil bergabung kembali. Peralatan komunikasi juga ditemukan 3 hari kemudian. Namun, tidak bisa digunakan. Baterai tidak berfungsi.

Perjuangan pasukan ini sangat berat. Apalagi, salah seorang di antara mereka yang ditugasi melakukan pengintaian ternyata berkhianat. Dia menyerahkan diri pada pasukan musuh, Belanda. Segala rencana pasukan ini akhirnya bocor. Tugas mereka menyiapkan tempat pendaratan pasukan berikutnya terpaksa ditanggalkan karena mereka harus menghindari kejaran musuh.

Ketika menyusuri rimba perawan Kalimantan, musuh tak cuma tentara Belanda. Tak jarang mereka jadi sasaran lintah yang haus darah manusia. Lebah atau semut hitam hutan juga tak segan-segan menyengat bila sarang mereka tanpa sengaja tersentuh atau terinjak pasukan payung.

"Kalau cuma demam akibat ulah serangga itu, ya ... tidak kami pedulikan," cerita Sujoto.

Makan pun tidak pilih-pilih. Dari ayam, ular, sampai monyet, dengan terpaksa mereka jadikan santapan setelah dibakar ala kadarnya. "Minumnya cuma air sungai. Di dalam veldples air itu diberi beberapa potong arang," kenang Sujoto. Namun, mereka mampu bertahan selama 37 hari sampai akhirnya terpaksa menyerah.

Dalam penyergapan 23 November dini hari, 2 anggota pasukan tewas seketika, yakni Iskandar dan Achmad Kosasih. Hari Hadisumantri terluka parah dan akhirnya meninggal beberapa saat kemudian. Sisanya ditawan Belanda, termasuk Dachlan yang sempat melarikan diri beberapa hari dalam keadaan luka parah di leher bagian belakang.

Meski begitu, operasi ini jadi titik bersejarah dalam perjalanan Paskhas TNI AU. Berdasarkan keputusan Men/Pangau No. 54 Tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967, tanggal penerjunan pasukan payung AURI dengan tugas operasional tadi dijadikan Hari Paskhas.

Kualifikasi para-komando

Sebelum bernama Paskhas, dia telah mengalami pergantian nama beberapa kali. Mulanya, pada tahun 1952 dibentuk pasukan para dengan nama Pasukan Gerak Tjepat (PGT).

Pasukan strategis ini berhasil mengukir sejumlah sukses besar. Di antaranya dalam operasi penumpasan DI/TII, Operasi Trikora, dan Dwikora.

Sementara, pada waktu bersamaan masih ada Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) yang merupakan bagian dari BKRO (Badan Keamanan Rakjat Oedara). Pasukan taktis ini bertugas mengamankan seluruh fasilitas dan instalasi pangkalan militer, serta mempertahankannya dari serangan musuh. Keduanya di bawah Komando Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara (Koppau).

Kedua pasukan inilah yang kemudian dilebur menjadi Komando Pasukan Gerak Tjepat (Kopasgat). Pada periode ini, Kopasgat berhasil beberapa kali melakukan operasi militer, antara lain Operasi Wibawa, Sadar, penumpasan G30S, dan Trisula. Lalu, seiring dengan reorganisasi mutakhir TNI/ABRI tahun 1984 - 1985, pasukan lintas udara ini berganti nama menjadi Pasukan Khas (Paskhas) TNI-AU.

Berdasarkan tugas-tugas yang diemban, Paskhas terbagi atas Tim Pengendalian Pangkalan (Dalian), Pengendali Tempur (Dalpur), Pertahanan Pangkalan (Hanlan), dan SAR Tempur (Sarpur). Dalam tugas operasional, pasukan ini di bawah kendali dua komando operasi TNI-AU (Koops AU), yakni Koops AU Barat di Jakarta dan Timur di Ujungpandang. Batasnya garis imajiner yang ditarik dari Tegal ke utara.

Di antara unit-unit kecil tadi, tim Dalpur merupakan barisan terdepan. Tim "pembuka jalan" ini terdiri atas pasukan yang memiliki kemampuan teknis dan para-komando. Di dalamnya ada tamtama, bintara, dan perwira.

Yang dominan sebenarnya perwira, karena dia harus mengamankan satu batalyon atau brigade. Kalau ini dipercayakan pada tamtama atau bintara, akan sangat riskan.

Setiap tim Dalpur beranggotakan 12-13 orang. Namun jumlah ini bisa saja diredusir. Kuantitas akan diganti dengan kualitas. Mereka juga harus mampu SERE (survival, evasion, resistance dan escape) dalam kondisi bagaimanapun juga.

Mereka juga harus sanggup bertahan di berbagai medan, bisa meloloskan diri dari daerah musuh, menyelinap-menghilang, dsb. Merekalah yang bertugas menyusup ke daerah musuh untuk membentuk tumpuan udara yang nantinya dijadikan basis mulai bergeraknya satuan tempur.

Caranya, dengan terjun bebas malam hari. Bisa pula melewati laut kalau tumpuannya di pantai. Namun, tidak tertutup kemungkinan melalui jalan darat, bila daerah yang akan dijadikan tumpuan terlalu sulit untuk diterjuni atau dilayari. Namun, sampai saat ini operasi melalui media udara dianggap paling efektif. Faktor kecepatan dan kerahasiaan jadi cirinya.

Karenanya, sebelum jadi pasukan Dalpur seorang personel harus lulus dan mempunyai kualifikasi terjun tempur. Misalnya terjun malam dengan membawa perlengkapan senjata, radio, bekal untuk 3 hari, dan perlengkapan untuk melindungi diri.

Beban bawaan itu tiap orang maksimal 18 kg. Mereka harus mampu terjun HALO (high altitude low opening) dan HAHO (high altitude high opening). Merekalah yang mempersiapkan drooping zone untuk pasukan berikutnya, memasang tanda-tanda khusus dan menyiapkan rencana-rencana operasi.

Lalu, menempatkan peralatan militer, station keeping equipment-zone marker (SKE-ZM) untuk mengatasi hambatan cuaca dan komunikasi dalam operasi. Tim ini pula yang berkewajiban membentuk satuan tempur dari pasukan yang diterjunkan kemudian untuk merebut suatu daerah untuk dijadikan pangkalan udara depan.

Dari medan operasi tim Dalpur akan memberi panduan kepada pesawat-pesawat TNI-AU yang beroperasi di daerah pertempuran. Di antaranya, memberikan bantuan navigasi, melaporkan data cuaca dan data intelijen lainnya.

Kemampuan-kemampuan lebih tadi membedakan mereka dari pasukan lintas udara (linud) lainnya, meskipun sama-sama memiliki kemampuan para (terjun militer) dan komando.

Jangan malah di-SAR

Setelah tim Dalpur berhasil membentuk tumpuan udara, termasuk di dalamnya pangkalan udara, tim Dalian diterjunkan. Tim ini beranggota-kan pasukan yang punya keahlian komunikasi dan elektronik.

Mereka bertugas memperbaiki pangkalan, mengatur lalu lintas udara dan perhubungan. Para anggota Paskhas sudah dibekali ilmu meteorologi, pengendalian lalu lintas udara, dan lain-lain.

Selanjutnya, pangkalan harus dipertahankan dari segala ancaman guna menunjang keberhasilan operasi. Tugas ini menjadi jatah tim Hanlan. Unit Paskhas ini bertugas mempertahankan alutsista (alat utama sistem senjata) secara horizontal dan vertikal.

Yang dimaksud dengan alutsista ini bukan cuma pesawat fighter, roket, dan bomnya saja, tapi termasuk juga pesawat-pesawat transpor yang diisi dengan satuan tempur.

Dalam bertugas, secara horizontal tim ini bekerja sama dengan aparat teritorial setempat, seperti Kodam, Kodim, dsb. Secara vertikal, mereka juga melengkapi diri dengan peralatan khusus untuk mengusir musuh yang lolos dan menuju objek vital lewat udara.

Yang tak kalah pentingnya, di belakang ketiga tim tadi, selalu siap tim Sarpur. Tugasnya mencari, menolong, dan menyelamatkan korban di darat dan laut dengan menggunakan helikopter di bawah pengawalan pesawat tempur. Atau, menyelamatkan pilot pesawat yang tertembak.

Karenanya, tim ini harus pula mempunyai kualifikasi para-komando. Mereka harus bisa terjun tempur, merayap pada tali, menebang pohon raksasa, dan mampu SERE. Jadi jangan sampai mau melakukan tugas SAR malah di-SAR.

Selalu siap tempur

Untuk berhak mengenakan baret jingga, bagi anggota Paskhas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mereka perlu menjalani pendidikan khas pula. Mula-mula pendidikan dasar kemiliteran selama 4 bulan. Lalu, mengikuti kursus pengenalan (susnal) Paskhas selama beberapa bulan. Selama itu, mereka cuma berhak mengenakan topi lapangan.

Pada pelatihan ini dijelaskan fungsi, tugas pokok, sejarah, dan operasi. Namun, dimulai dari tahap awal, yakni kemampuan individu, antara lain menembak, teknik taktik serbuan, dan mendarat.

Selanjutnya, mereka menjalani latihan komando. Tapi sekarang istilah komando ini tidak digunakan lagi, karena Paskhas punya ciri matra udara sendiri. Meskipun demikian, satuan ini tetap berafiliasi dan me-refer kepada latihan komando sejenis.

Setelah lulus mereka baru berhak memakai baret jingga. Namun, dalam operasi untuk sementara baret bisa disimpan di lemari. Pelindung kepala itu diganti dengan helm tempur.

Dalam keadaan perang seperti itu, fungsi dan tugas harus dilaksanakan oleh seluruh jajaran Paskhas. Namun, dalam keadaan damai mereka tidak boleh tinggal diam. Pepatah "If you like peace, you have to be ready for war" berlaku di sini.

Mereka harus selalu siap siaga dengan melakukan latihan-latihan secara teratur, berkesinambungan dan serealistis mungkin. Tempatnya di Markas Pusat Paskhas, pangkalan maupun di Koops.

Menjelang matahari terbit, mereka harus sudah bergegas mempersiapkan diri. Yang tinggal di mes bisa mandi ramai-ramai. Menyemir sepatu lars masing-masing. Lalu makan pagi. Pukul 07.00 teng, pasukan harus sudah siap apel. Mereka menerima briefing menjelang latihan. Sudah tentu, latihan ini untuk meningkatkan kemampuan individu masing-masing dan pasukan. Setelah latihan berakhir, pukul 14.00 pas, mereka apel lagi.

Khusus untuk tim Sarpur sedikit berbeda. Tim ini dalam masa damai bergabung, dalam tugas-tugas latihan skuadron-skuadron tempur. Mereka menjadi salah satu kelengkapan latihan di samping oksigen, peluru, amunisi, suku cadang, dsb. Mereka tak perlu dipanggil lagi bila terjadi "salah perhitungan" dalam latihan.

Itulah "makanan" sehari-hari Paskhas hingga usianya yang sudah lebih dari setengah abad ini.