Find Us On Social Media :

Idjon Djanbi, Bapak Kopassus yang Ternyata Bekas Tentara Belanda

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 3 Oktober 2024 | 10:53 WIB

Idjon Djanbi, bapak Kopassus. Ternyata bekas tentara KNIL yang sempat memutuskan pensiun dan jadi petani di Jawa Barat.

Masa itu sikap kebencian serta anti-Belanda tertanam kuat dalam setiap diri orang Indonesia. Terlebih adanya aksi kejam pasukan baret hijau pimpinan Kapten Raymond Westerling yang membantai sekitar 40.000 warga sipil di Sulawesi Selatan (1946-1947) dan pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Jawa Barat yang membantai puluhan rakyat sipil dan personel Siliwangi. Semua itu menambah kebencian rakyat Indonesia terhadap Belanda, terlebih terhadap tentara Belanda.

Meskipun Visser berbaret merah, tetap saja tidak ada yang bisa menjamin keamanan mantan perwira penjajah di negeri bekas jajahannya. Namun ia tak gentar. Ia memilih menetap di sebuah lahan pertanian di daerah Lembang, Bandung.

Di daerah sejuk ini pula fase kedua dalam kehidupannya di mulai, dengan memutuskan memeluk agama Islam dan menikahi kekasihnya seorang perempuan Sunda. Sejak itu, Visser yang berperawakan tinggi itu dikenal dengan Mochammad Idjon Djanbi.

Cetak pasukan komando

Suatu hari di tahun 1951, rumah Idjon Djanbi kedatangan seorang perwira muda. Si tamu memperkenalkan diri sebagai Letnan Dua Aloysius Sugianto dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Dalam pertemuan itu Idjon Djanbi diminta sebagai pelatih tunggal untuk melatih komando di pendidikan CIC II (Combat Inteligen Course) Cilendek, Bogor.

Tidak mudah membujuknya, sebab ia sudah hidup tenang di pedesaan sebagai petani bunga. Letda Sugianto tak kurang akal, dirinya sampai harus bermalam dua dua hari di situ. Usaha yang tak sia-sia karena akhirnya Idjon Djanbi bersedia sebagai pengajar sipil selama masa pendidikan tiga bulan. Usai pendidikan CIC II, Idjon Djanbi kembali menekuni profesi sebelumnya.

Masih di tahun yang sama, tepatnya 2 November 1951, Kolonel Kawilarang mendapat tugas baru menjadi Panglima Tentara & Teritorium III/Siliwangi, Jawa Barat. Dalam posisi barunya itulah, Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando.

Pasukan khusus semakin dibutuhkan untuk menghadapi rongrongan DII/TII pimpinan Kartosuwiryo di wilayah Jawa Barat yang semakin meningkat. Gagasan ini sulit terwujud tanpa menemukan pelatih berkualifikasi komando. Kawilarang mahfum, tidak ingin gagasan ini kandas lagi di tengah jalan seperti nasib Kompi Pasukan Khusus (Kipasko). Kompi khusus yang pernah ia bentuk itu, sayangnya bubar karena tidak menemukan pelatih berkualifikasi komando.

Kompi satuan khusus Kipasko yang dibentuk Kawilarang dipimpin oleh Letnan Boyke Nainggolan. Sayangnya, latihan baru berjalan dua bulan, kompi ini sudah bubar karena tak kunjung menemukan pelatih berkualifikasi komando.

Akhirnya Kawilarang memperoleh informasi soal Idjon Djanbi. Ia lalu memanggil mantan ajudannya Letda Sugiyanto yang pernah terlibat pendidikan CIC II bersama Idjon Djanbi satu tahun sebelumnya. Sugiyanto menghubungi Idjon Djanbi untuk menghadap Kawilarang di Bandung.

Terhitung 1 April 1952, atas keputusan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memutuskan bahwa Idjon Djanbi diangkat menjadi mayor infanteri TNI AD dengan NRP 17665. Lalu ia lapor diri kepada Kolonel Kawilarang selaku Panglima Komando Tentara & Teritorium III/Siliwangi untuk menerima tugas.

Mayor (Inf) Idjon Djanbi segera melatih kader perwira dan bintara untuk membentuk pasukan khusus. Tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi disingkat Kesko III di bawah komando Mayor Inf Idjon Djanbi.