Find Us On Social Media :

Dikenal sebagai Jagal Berdarah Dingin, Bagaimana Raymond Westerling Menceritakan Dirinya Sendiri?

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 29 September 2024 | 11:54 WIB

Raymond Westerling, jagal berdarah dingin yang telah membantai lebih dari 40 ribu jiwa orang Sulawesi Selatan. Bagaimana petualangannya hingga sampai di Indonesia?

[ARSIP Intisari]

Pada 1983 lalu di Amsterdam terbit buku Westerling de Eenling (Westerling, si Tunggal) keluaran Teleboek, B.V. Buku itu sebetulnya tulisan seorang wartawan Prancis, Dominique Venner, yang tadinya berjudul Westerling, Guerilla Story. Terjemahannya ke bahasa Belanda diberi tambahan dan catatan oleh Westerling. Jelas ini bukan buku sejarah, tetapi kisah petualangan versi Westerling sendiri. Sudut pandangannya sudah tentu dari pihak 'sana'. Mungkin menarik juga untuk melihat lewat kaca mata pria yang terkenal kekejamannya itu, yang meninggal 26 November '87 itu.

Pertama tayang di Majalah Intisari pada Januari 1988

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Kapten Raymond Westerling mulai melakukan tindakan yang disebutnya aksi pembersihan. Sasaran komandan Pasukan Komando Baret Hijau itu lalah wilayah di sebelah selatan jalan raya ke Maros yang berbatasan dengan bagian timur Makassar (Ujung Pandang). Operasi itu direncanakannya dengan amat saksama.

Sebelumnya Westerling mengirimkan empat orang mata-mata yang tidak saling mengenal dan mengira bahwa mereka bekerja sendiri, untuk membaurkan diri di antara rakyat selama beberapa hari.

Tugas mereka dipermudah karena banyak gelandangan dari pedalaman yang membanjiri daerah Kota Makassar. Westerling ingin tahu identitas para pimpinan dan anggota utama organisasi badan-badan perjuangan, tempat penyimpanan senjata, sistem penjagaan pengamanan dan penempatan penjagaan atau pengintaian.

Setelah mempunyai data lengkap, Westerling membandingkan dan memadukan laporan intel dari pelbagai instansi di Makassar dengan info anak buahnya sendiri. Dia membuat daftar hitam dari 74 orang anggota badan perjuangan dan juga dari perampok.

Dibunuh langsung

Tanggal 11 Desember dinyatakan keadaan perang untuk wilayah Sulsel oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook.

Antara pukul 03.00 - 04.30 satuan-satuan Pasukan Komando, meninggalkan Asrama Matuangin secara diam-diam ke pelbagai arah, tanpa terlihat orang, seperti kucing hitam di kegelapan malam.

Jalan-jalan ke luar kampung dijaga oleh bren-bren (senapan mesin ringan, Red.) yang siap memuntahkan peluru mautnya jika ada yang melarikan diri. Pasukan lain menyerbu ke dalam kampung, lalu menggiring mereka ke suatu titik pusat. Orang sakit parah, orang tua dan perempuan yang sedang menyusui dikecualikan. Pusat pengumpulan ialah sisi barat laut Kampung Borong.

Di tempat itu perempuan dan laki-laki dipisahkan. Westerling datang disertai dua orang juru bahasa yang tahu benar dialek setempat dan seorang penghulu.

Para pria diatur duduk di tanah dengan bersaf sekitar 50 atau 60 orang, membentuk suatu segi empat tanpa gerak, di bawah ancaman empat steling senapan mesin. Dengan menyilangkan lengannya di dada, Westerling mondar-mandir di depan barisan terdepan mencari mata- matanya yang berbaur dalam massa rakyat itu. Ada seorang di saf terdepan, seorang lagi di baris kedua.

Sementara itu bagian lain dari Pasukan Komando yang tidak ikut serta dalam penjagaan, melakukan penggeledahan di kampung mencari senjata, mesiu dan dokumen-dokumen.

Pada aksi pertama itu ada 46 orang tertangkap. Dari 74 orang yang tercantum dalam daftar hitam Westerling dapat dikenali 35 orang. Westerling berbicara kepada rakyat lewat seorang penerjemah. Dia menyebutkan deretan 'kejahatan' yang dilakukan oleh orang-orang itu. Kemudian ia menyuruh menghadap para pemimpin laskar.

"Orang ini telah dijatuhi hukuman mati dan segera akan ditembak." Dalam jarak 30 m dari kumpulan massa itu sudah menunggu suatu regu tembak. Aba-aba diberikan, disusul oleh salvo tembakan senapan. Terlihat ada gerak sejenak pada rakyat yang berkumpul, tetapi tak ada yang mengeluarkan suara.

Selanjutnya semua yang tertangkap dihukum tembak, cuma sebelas yang luput dari maut untuk diperiksa lebih lanjut.

Tiga kali dalam seminggu

Setelah semua selesai rakyat dipaksa bersumpah agar sejak hari ini mereka akan menjauhkan diri dari para pejuang.

Dalam waktu enam hari dilakukan tiga kali aksi serupa. Westerling segera mendirikan apa yang dinamakannya sendiri "Mahkamah Militer Rakyat", artinya orang biasa ikut menunjuk dan mengadili apa yang disebutnya sebagai 'anasir jahat'.

Dengan cara 'pengadilan' ala Westerling itu kampung-kampung sekitar Makassar dalam radius 6 km 'dibersihkan'. Kepala-kepala kampung digantikan dengan orang-orang yang mau mengikuti perintahnya. Kemudian Westerling mulai beroperasi di dalam Kota Makassar sendiri.

Pada waktu fajar menyingsing Westerling mulai dengan pembersihan polisi (NIT). Pada waktu yang bersamaan Pasukan Komandonya mengadakan operasi serentak di beberapa tempat. Enam di antara yang ada di daftar hitam ditangkap. Pada pukul 09.00 para tertuduh itu dihukum mati di hadapan seluruh kesatuan polisi Makassar.

Cari info di Societeit

Di Makassar ada Societeit, satu-satunya tempat bertemunya masyarakat kulit putih, pengusaha perkebunan, pedagang, pejabat dan perwira tentara Belanda, beberapa orang pedagang Indonesia dan Cina.

Sebenarnya Westerling lebih suka makan di tangsi atau di salah sebuah restoran Cina di bagian kota yang dihuni penduduk pribumi, tetapi Societeit ini merupakan sumber informasi baginya.

Salah seorang sumber informasinya menganjurkan ia memperhatikan Moetalib, seorang yang tampaknya terpandang. Sebelum pendudukan Jepang ia mempunyai hubungan bisnis dengan orang-orang Belanda di Makassar.

Setelah perang ia memanfaatkan hubungan yang terjalin kembali untuk mencari informasi yang diteruskan kepada kaum pejuang. Berkat dia para pemuda bersenjata mengetahui sebelumnya bila ada operasi-operasi militer Belanda.

Informasi-informasi yang diperolehnya memungkinkan para pejuang melakukan pelbagai penyergapan terhadap beberapa bagian tentara Belanda, di antaranya yang mengakibatkan tewasnya Mayor Le Roy tanggal 5 Oktober 1946.

Moetalib menjadi mata-mata karena keyakinannya. Westerling memutuskan untuk tidak menangkapnya dan mencoba agar dia "berbalik arah". Moetalib didatangi langsung di Societeit. "Moetalib, saya sudah tahu semuanya. Saya masih memberikan kesempatan. Hanya sekali ini saja. Saya tak mau melihat mukamu lagi."

Lawan bicaranya menjadi pucat pasi. Westerling merasa puas karena Moetalib tidak memperlihatkan diri lagi di rumah bola itu. Tetapi seminggu kemudian ia mendengar kabar bahwa Moetalib muncul kembali, tetapi hanya pagi hari, pada waktu Westerling tidak hadir.

Keesokan harinya dengan gaya acuh tak acuh Westerling menuju ke rumah bola lebih pagi daripada biasanya. Dia melihat Moetalib duduk-duduk dengan beberapa kawannya di sekitar sebuah meja. Ia menegurnya, "Masih ingat kau apa yang kukatakan tempo hari?"

Wajah orang itu pucat kelabu. Tanpa mengatakan sesuatu Westerling mengeluarkan Colt 32-nya, lalu menembak kepala korban. Para saksi mata menjerit ngeri dan jeritan itu bergema di seluruh masyarakat Eropa di Kota Makassar. Pembunuh merupakan gelar yang paling mendingan yang dilontarkan ke alamat Westerling. Namun, ia tak peduli.

Main sandiwara

Permulaan Januari 1947 Westerling dan anak buahnya memasuki sebuah kampung yang letaknya 120 km sebelah timur laut Makassar. Daerah ini merupakan basis dari suatu kekuatan bersenjata yang sangat aktif. Lain dari biasanya, kali ini ia tidak mengirimkan mata-mata lebih dulu, karena tidak mungkin mengharapkan penduduk kampung membuka mulut untuk menunjuk orang.

Setelah mengepung kampung itu, Westerling mengumpulkan penduduk menjadi dua kelompok, pria di sisi satu; di sisi lainnya wanita dan anak-anak. Dari golongan laki-laki ditunjuk empat orang petani, yang tampaknya cukup terpandang. Westerling membawa mereka ke sebuah gubuk untuk berbicara dengan mereka tanpa disaksikan orang lain.

"Sebab kalian tak mau melaporkan kaum pengacau, saya terpaksa menembak mati kalian!" tukasnya secara langsung. Orang-orang terancam itu berlutut. Agak kurang keras nadanya ia melanjutkan:

"Saya masih memberikan kesempatan untuk menyelamatkan jiwa kalian. Saya tahu mengapa kalian menutup mulut. Kalian takut akan pembalasan mereka. Tapi saya tak menyalahkan kalian. Bagaimana juga kalian bisa membantu saya tanpa mengatakan sesuatu."

Sejurus kemudian Westerling keluar dari gubuk itu dengan muka garang. Keempat tawanan itu didorong secara kasar ke arah regu tembak. Seperti biasa ia mengucapkan pidato singkatnya lalu menambahkan:

"Keempat orang ini akan ditembak mati. Empat orang lagi akan menyusul dan kami akan meneruskan sampai kalian menunjukkan hidung para teroris yang bersembunyi di antara kalian."

Orang pertama dihadapkan ke depan regu tembak. Aba-aba terdengar, disusul oleh bunyi tembakan. Orang itu jatuh tergolek.

Penduduk tampaknya terperanjat, tetapi tak ada seorang pun yang bersuara. Lalu orang kedua dihadapkan ke muka moncong-moncong penyebar maut itu. Masih juga belum ada reaksi. Penembakan ketiga dilaksanakan. Penduduk desa saling berpandangan lalu berbisik-bisik.

Westerling memberikan aba-aba agar penembakan keempat dikerjakan. Pada saat itu seorang penduduk lanjut usia berdiri tegak. "Apakah kita membiarkan orang-orang kita ditembak mati untuk melindungi 'penjahat-penjahat' dari luar?" serunya dengan lantang.

Tiba-tiba terjadi perkelahian. Penduduk desa itu menyergap sekitar dua puluh orang laki-laki, lalu membawa tangkapan mereka kepada Westerling. Westerling berhasil mengenali empat pemimpin laskar di antara mereka.

Mereka segera ditembak mati. Yang lainnya dibelenggu untuk dibawa ke Makassar. Setelah itu si kapten berpaling kepada ketiga petani yang tergeletak di tanah sejak tadi.

"Bangun!" perintahnya,

Dengan terperanjat penduduk melihat ketiga mayat itu berjalan ke arah mereka.

Jadi pengusaha truk

"Pemulihan keamanan" di Sulawesi dianggap selesai pada tanggal 28 Februari 1947. Westerling sendiri turun tangan melaksanakan penembakan-penembakan dengan pistol pada belakang leher korbannya.

Akhir Oktober 1948 Westerling dipanggil Jenderal Spoor. Panglima tentara Belanda itu meminta agar Westerling menyusun rencana pendaratan pasukan payung atas Maguwo disusul oleh serangan kilat untuk menduduki ibu kota republik.

Kapten itu menyanggupi rencana operasi tersebut, tetapi menolak ketika ditugaskan memegang pimpinan penyerangan. Dia tidak yakin bahwa operasi militer itu tidak akan berakhir pada kekalahan politik seperti halnya aksi militer pertama.

Kalau seorang tentara menolak perintah atasan, tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri. Maka, pada tanggal 12 November 1948 di Batujajar diadakan upacara serah terima komando Pasukan Komando dari Westerling kepada penggantinya, Letkol Van Beek.

Beberapa hari sesudah bebas tugas Westerling mengawini seorang janda keturunan Prancis yang sudah berputri dua orang. Mereka menetap di Desa Cililin, kemudian pindah ke Pacet, Jawa Barat.

Di tempat itu ia mengusahakan perusahaan pengangkutan dengan membeli tiga truk ukuran 3 ton 'apkiran' tentara.

Diajak kudeta

Desember 1948, Yogya bisa diduduki Belanda, tetapi secara politis, Belanda kalah. Jenderal Spoor marah sekali kepada para politisi di Den Haag. Westerling diajak kudeta.

Spoor memperkirakan kudetanya akan berakibat terputusnya persediaan senjata dan amunisi bagi pihaknya. Untuk mengatasi kemungkinan ini ia ingin membeli senjata dan mesiu di pasaran gelap internasional. Westerling ditugaskan untuk melaksanakannya.

Belum sampai seminggu kemudian, waktu proses pembelian itu sudah berjalan jauh, tiba-tiba Spoor membatalkan niatnya.

Mencatut nama Ratu Adil

Tidak jelas mengapa Jenderal Spoor tiba-tiba membatalkan rencana perampasan kekuasaannya. Westerling mengatakan bahwa dia akan melanjutkan usaha besar "yang telah disetujui oleh panglima tertinggi" dan tidak kehilangan semangat oleh pembatalan itu.

Kesimpulan yang bisa kita ambil ialah bahwa Westerling diam-diam terus melanjutkan operasi subversifnya dengan dukungan Spoor dkk. Yang diceritakannya hanyalah bahwa pada suatu pagi dalam bulan April 1949 ia didatangi oleh sekelompok orang pribumi.

Konon ia didesak untuk menjadi pimpinan gerakan mereka, karena menurut anggapan mereka dialah Ratu Adil yang sudah lama dinanti-nantikan.

Khayalan atau bukan, kejadian itu memberikan ilham kepada Westerling untuk mencatut nama Ratu Adil bagi tujuan-tujuannya sendiri. Gerakan subversif yang dicetuskannya itu diberi nama Ratu Adil Persatuan Indonesia disingkat RAPI. Kekuatan bersenjatanya kemudian diberi nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Spoor diracun?

Westerling mendatangi sarang-sarang gerombolan dan laskar bersenjata di hutan-hutan, di lereng-lereng pegunungan Jawa Barat, konon seorang diri, tanpa bersenjata. Dia menghasut mereka agar menggabungkan diri dengan APRA-nya.

Pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen yang membuahkan penghentian permusuhan antara Indonesia Belanda dan Konferensi Meja Bundar yang menuju kepada pemulihan kedaulatan.

Tanggal 23 Mei Jenderal Spoor meninggal secara tiba-tiba. Menurut keterangan resmi, ia meninggal karena serangan jantung, tetapi menurut Westerling ia mungkin diracun. Penggantinya, Jenderal Buurman van Vreeden, menginginkan pengembalian kedaulatan secara cepat dan memulangkan tentaranya sedini mungkin.

Pada akhir tahun 1949 RAPI mengaku mempunyai beberapa juta orang pendukung dan APRA 22.000 orang yang diorganisasikan dalam milisi-milisi lokal.

Apa yang bisa dilakukan di negara Pasundan, bisa juga diterapkan di daerah-daerah lain. Karena itu perkembangan APRA mengkhawatirkan pembesar-pembesar RI dan Belanda yang kini mendukung pemerintah Soekarno. Jenderal Van Lange, kepala staf tentara Belanda, pengganti Jenderal Buurman Van Vreeden, yang menggantikan Spoor sebagai panglima, menemui Westerling di Hotel Preanger.

"Kami tahu Anda memimpin suatu gerakan yang penting," kata Van Lange. "Kami harap Anda tidak mengembangkan suatu inisiatif sebelum pengembalian kedaulatan. Anda akan sangat merugikan kepentingan Belanda."

Orang republik pun mengirimkan Divisi Siliwangi, yang diperlengkapi dengan senjata modern dan panser ke Bandung untuk menduduki ibu kota Pasundan.

Di Pasundan Westerling mencari akal bagaimana caranya mempersatukan perlawanan laten terhadap republik, sebelum struktur-struktur federal terakhir dihancurkan dan republik menguasai seluruh Nusantara.

Pada tanggal 5 Januari 1949 ia menuntut RI mengaku autonomi negara-negara federal secara mutlak.

Bersedia berlagak pilon

Westerling pun membuat rencana penyerangannya. Untuk menyerbu Jakarta ia akan menyerang dari dalam kota. Dua ribu orang anggota APRA di bawah pimpinan Letkol Rappard (bekas komandan brigade KRIS) akan menyelusup ke dalam kota dengan pakaian preman dan tanpa senjata, antara tanggal 21 dan 22 Januari.

Westerling menghadapi dua kesulitan besar: yang pertama, pemerintah pusat di Jakarta sudah mengetahui adanya rencana. Yang kedua: Seandainya ia berhasil menyelundupkan komando ke Jakarta dan akhirnya toh berhasil menguasai ibu kota republik, ia bisa diserang dari belakang, yakni kalau Bandung diambil. Karena alasan strategis dan politik, pertahanan Bandung sama pentingnya dengan pendudukan Jakarta.

Westerling memutuskan untuk menyerang Jakarta dan Bandung secara serentak. Untuk pelaksanaan rencana semacam itu Westerling cuma mempunyai senjata ringan yang cukup untuk menduduki Bandung.

Kemungkinan untuk merebut persenjataan di Jakarta sangat terbatas. Hampir seluruh perbekalan perang Belanda sudah diserahterimakan kepada TNI.

Letkol T dari Basis Komando Bandung kebetulan mengetahui bahwa di suatu tempat ada sebuah depo berisi sejumlah senjata ringan berikut mesiunya yang cukup untuk mempersenjatai tiga kompi. Bintara perbekalan yang bertanggung jawab bersedia membiarkan gudangnya tidak terjaga pada saat yang dijanjikan dengan 'ganti rugi' sebesar sepuluh ribu gulden.

Letkol P, komandan Pasukan Komando di Batujajar, bersedia memejamkan matanya jika anak buah Westerling mengambil senjata di gudangnya pada pukul 21.00.

Senjata-senjata berasal dari Bandung dan Batujajar akan diselundupkan dalam truk-truk swasta dan dibawa ke pertigaan Padalarang, tempat Westerling menjemput pada pukul 22.00. Sesudah itu konvoi kecil itu akan menuju ke Jakarta. Pada pukul 04.00 senjata akan dibagikan kepada dua ribu orang pasukan liar itu. Pukul 05.00, tanggal 23 Januari, APRA akan mengadakan serangan serentak di Bandung dan Jakarta.

Di Jakarta mereka merencanakan untuk menawan semua anggota pemerintah pusat dan menduduki instalasi-instalasi vital. Westerling mengandalkan bantuan seribu seratus orang anggota polisi dan kepalanya; Komisaris N, yang berjanji mendukung gerakannya.

Keluar keringat dingin

Sebagaimana direncanakan para penyusup itu masuk kota antara Sabtu, 21 Januari, dan Minggu, 22 Januari 1950. Pemimpin mereka, Rappard, bermarkas di sebuah rumah di Kramatlaan 20 (sekarang Kramat V, Jakarta Pusat).

Hari Ahad itu Westerling berusaha tidak menyimpang dari kebiasaannya. Pagi-pagi ia berjalan-jalan ke Bandung, bercakap-cakap dengan beberapa orang teman dan kenalan, lalu minum-minum di Hotel Preanger.

Sore harinya ia mengadakan rapat terakhir dengan mereka yang akan mengadakan serangan atas Bandung. Malamnya Westerling kembali ke hotel untuk makan bersama istrinya, sehingga terlihat oleh banyak orang.

Pukul 21.00, orang-orang yang mungkin mengamati tindak tanduknya mengira ia sudah masuk ke kamar no. 101. Padahal Westerling bermobil ke Padalarang. Pada hari Senin, 23 Januari, pukul 05.00 gerakan menduduki Bandung dimulai di Cimahi, km dari Bandung.

Gerombolan pengacau yang berjumlah sekitar delapan ratus orang itu terdiri atas gabungan bermacam-macam kesatuan. Mereka menyerbu Markas Besar Divisi Siliwangi dan membunuh setiap prajurit TNI yang dijumpai. TNI baru saja memasuki kota setelah gencatan senjata dan kekuatannya hanya sekitar dua batalyon yang tersebar karena kesulitan akomodasi.

Di Jakarta keadaannya lain. Malam Senin, 22 Januari, Westerling dan komplotannya menunggu kedatangan truk senjata di Padalarang. Pukul 22.30 keringat dingin mulai membasuh tubuhnya, karena khawatir dan tidak sabar menanti. Ternyata anak buahnya memang kepergok di Batujajar, sehingga tak berhasil mendapat senjata. Tanpa persenjataan seluruh rencananya akan gagal total.

Pukul 23.30 Westerling berkesimpulan bahwa ia dikhianati Letkol T. Namun, bagaimana sekarang? Untuk membatalkan Operasi Bandung sudah terlambat. Untuk meneruskan rencana di Jakarta, harus dicoba yang mustahil, yakni mendapat senjata sebelum pukul 05.00.

Kemungkinan terakhir ada di Jakarta sendiri, ia mengharapkan polisi mendukung gerakannya. Pada saat itu seharusnya Kepala Kepolisian Komisaris N, sudah mengadakan persiapan. Pada pukul 02.30 mereka sampai di perbatasan kota dan berhasil lolos dengan berpura-pura akan menyerahkan tawanan ke markas besar kepolisian.

Sudah diambil republik

Mereka langsung ke markas besar kepolisian. Ternyata Komisaris N tidak di tempat. Westerling mengajak rombongannya ke rumah komisaris.

Komisaris N muncul berpakaian piyama, dengan wajah mengantuk dan rambut kusut.

"Mengapa kamu tidak ada di posmu!" bentak Westerling.

Yang dibentak menjawab dengan suara datar, hampir tak terdengar, "Saya telah berpikir-pikir lagi, Kapten. Rasanya utusan ini terlalu berbahaya. Saya tidak ikut lagi. Maaf saja, tetapi jangan mengandalkan saya atau anak buah saya lagi." Westerling muak.

"Kami bisa tanpa kau, tapi serahkan kunci gudang senjata."

Komisaris itu menundukkan kepalanya. "Saya bisa saja memberikan kunci gudang, tetapi di sana sudah tak ada senjata lagi. Kemarin sudah diambil tentara republik."

Sembunyi di bunker

Rappard mengusulkan untuk menyerang sebuah asrama untuk memperoleh senjata. Westerling hanya menggelengkan kepala, dari jendela terlihat fajar baru menyingsing — terlambat. Hari itu juga markas Westerling di Kramatlaan diserbu TNI dengan akibat tewasnya Rappard.

Para anggota komplotan digulung termasuk Sultan Hamid yang waktu itu masih menjabat menteri tanpa portofolio dalam kabinet pertama RIS.

Westerling sendiri dilindungi oleh teman-temannya dalam Angkatan Bersenjata Belanda. Sambil menantikan kesempatan untuk kabur, Westerling, menurut pengakuannya, bersembunyi di sebuah bunker tua yang tak terpakai, ditemani oleh beberapa orang pengikutnya.

Kabur ke luar negeri

Pada tanggal 23 Februari 1950 seorang yang berseragam sersan Angkatan Udara Belanda yang tampangnya sangat mirip Westerling menaiki sebuah pesawat amfibi PBY Catalina yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok. Tak lama kemudian pesawat militer itu dan terbang ke arah Malaysia.

Hari sudah hampir kelam ketika Catalina itu melaut beberapa kilometer lepas Pantai Pontian. Westerling yang sudah mengganti seragamnya dengan pakaian preman, meniup sebuah perahu karet, bersalaman dengan anak buah pesawat, lalu turun ke perahu. Masuknya Westerling tak boleh sampai ketahuan para pejabat Inggris.

Perahu karetnya sama benar dengan yang biasa dipakainya dalam petualangannya di rawa-rawa atau sungai-sungai Indonesia. Dia menuju ke pantai dengan mengayuh kuat-kuat. Sejurus-kemudian ia terperanjat. Perahunya bocor.

Umpan ikan hiu

Laut tenang, tetapi di sekitarnya banyak ikan hiu berkeliaran. Westerling mengayuh seperti kuli rodi. "Bajingan mereka itu!" makinya diam-diam. "Aku tertipu. Bagus sekali. Bekas Kapten Westerling tidak ditemukan kembali, dilalap hiu di lepas pantai Malaysia. Tidak ada cara yang lebih bagus untuk menyingkirkan seorang pengacau."

Dia seperti kerasukan, tetapi agaknya perahu tidak maju-maju, malah makin tenggelam.

Westerling menatap sinar lampu di pantai yang jauh dengan rasa putus asa. Lalu ada sesuatu yang meluncur di antara dia dengan cahaya lampu, mirip sayap kalong, sebuah bayangan hitam pada langit yang gelap. Sebuah perahu layar! Westerling berteriak sekuat tenaga.

Dengan perahu nelayan itu akhirnya Westerling mencapai Pontian. Dengan surat-surat keterangan palsu atas nama Ruitenbeek, warga negara Belanda, Westerling memasuki Singapura. Dia ditangkap oleh polisi Inggris pada hari keempat.

Diminta membantu RMS

Ketika berita penangkapannya tersiar, pemerintah Indonesia menuntut ekstradisinya. Pemerintah kolonial Inggris di Singapura ogah untuk menyerahkan Westerling dengan alasan bahwa tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua negara.

Westerling akhirnya hanya dijatuhi hukuman dua bulan penjara, karena bersalah memasuki negara dengan identitas palsu dan pelanggaran lain. Setelah masa hukumannya habis ia masih ditahan lagi empat bulan, lalu dideportasi ke negeri asalnya.

Sementara itu pemerintah Belanda mengeluarkan perintah penahanan atas Westerling karena tuduhan "menghasut anggota angkatan bersenjata melakukan makar". Pada waktu pesawat mendarat di Kairo, Westerling ternyata dibebaskan oleh anggota dinas rahasia Inggris.

Selama tinggal di Brussel ia didekati oleh para gembong pemberontak RMS. Tahun 1952 ia memasuki negeri leluhurnya secara diam-diam, lalu ditangkap. Hakim menyatakan tidak ada alasan untuk menahan Westerling, sehingga ia dibebaskan pada hari itu juga. Selama tiga tahun berikutnya ia dipanggil dan didengar keterangannya oleh pengadilan secara tertentu.

Tahun 1955 perkaranya disisihkan. Tanggal 26 November 1987, Raymond Westerling yang pernah membantai begitu banyak manusia di Indonesia meninggal di Purmerend, ± 20 km dari Amsterdam. Umurnya 68 tahun.

Begitulah riwayat hidup Raymond Westerling, jagal berdarah dingin yang telah membantai lebih dari 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan.