Find Us On Social Media :

Dikenal sebagai Jagal Berdarah Dingin, Bagaimana Raymond Westerling Menceritakan Dirinya Sendiri?

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 29 September 2024 | 11:54 WIB

Raymond Westerling, jagal berdarah dingin yang telah membantai lebih dari 40 ribu jiwa orang Sulawesi Selatan. Bagaimana petualangannya hingga sampai di Indonesia?

Permulaan Januari 1947 Westerling dan anak buahnya memasuki sebuah kampung yang letaknya 120 km sebelah timur laut Makassar. Daerah ini merupakan basis dari suatu kekuatan bersenjata yang sangat aktif. Lain dari biasanya, kali ini ia tidak mengirimkan mata-mata lebih dulu, karena tidak mungkin mengharapkan penduduk kampung membuka mulut untuk menunjuk orang.

Setelah mengepung kampung itu, Westerling mengumpulkan penduduk menjadi dua kelompok, pria di sisi satu; di sisi lainnya wanita dan anak-anak. Dari golongan laki-laki ditunjuk empat orang petani, yang tampaknya cukup terpandang. Westerling membawa mereka ke sebuah gubuk untuk berbicara dengan mereka tanpa disaksikan orang lain.

"Sebab kalian tak mau melaporkan kaum pengacau, saya terpaksa menembak mati kalian!" tukasnya secara langsung. Orang-orang terancam itu berlutut. Agak kurang keras nadanya ia melanjutkan:

"Saya masih memberikan kesempatan untuk menyelamatkan jiwa kalian. Saya tahu mengapa kalian menutup mulut. Kalian takut akan pembalasan mereka. Tapi saya tak menyalahkan kalian. Bagaimana juga kalian bisa membantu saya tanpa mengatakan sesuatu."

Sejurus kemudian Westerling keluar dari gubuk itu dengan muka garang. Keempat tawanan itu didorong secara kasar ke arah regu tembak. Seperti biasa ia mengucapkan pidato singkatnya lalu menambahkan:

"Keempat orang ini akan ditembak mati. Empat orang lagi akan menyusul dan kami akan meneruskan sampai kalian menunjukkan hidung para teroris yang bersembunyi di antara kalian."

Orang pertama dihadapkan ke depan regu tembak. Aba-aba terdengar, disusul oleh bunyi tembakan. Orang itu jatuh tergolek.

Penduduk tampaknya terperanjat, tetapi tak ada seorang pun yang bersuara. Lalu orang kedua dihadapkan ke muka moncong-moncong penyebar maut itu. Masih juga belum ada reaksi. Penembakan ketiga dilaksanakan. Penduduk desa saling berpandangan lalu berbisik-bisik.

Westerling memberikan aba-aba agar penembakan keempat dikerjakan. Pada saat itu seorang penduduk lanjut usia berdiri tegak. "Apakah kita membiarkan orang-orang kita ditembak mati untuk melindungi 'penjahat-penjahat' dari luar?" serunya dengan lantang.

Tiba-tiba terjadi perkelahian. Penduduk desa itu menyergap sekitar dua puluh orang laki-laki, lalu membawa tangkapan mereka kepada Westerling. Westerling berhasil mengenali empat pemimpin laskar di antara mereka.

Mereka segera ditembak mati. Yang lainnya dibelenggu untuk dibawa ke Makassar. Setelah itu si kapten berpaling kepada ketiga petani yang tergeletak di tanah sejak tadi.

"Bangun!" perintahnya,