Find Us On Social Media :

Tuban Bukan Kota Kabupaten Sembarangan, Disebut Lebih Tua dari Majapahit

By Moh. Habib Asyhad, Sabtu, 14 September 2024 | 10:38 WIB

Usia Kota Tuban sudah setua Majapahit, bahkan konon ia lebih tua dibanding kerajaan yang pernah menguasa Nusantara itu. Tuban juga bukan kota kabupaten sembarangan.

Tahun 1995 Pemda Tuban dan mitra swasta pernah melakukan praktik serupa. "Banyak keramik antik ditemukan, sebagian ada di Museum Kambang Putih. Ada yang ditawar Rp 1 miliar, lo," cerita pemandu di Kembang Putih, yang emoh disebut nama.

Tapi Pemda tekor, karena mitra kami itu lebih banyak melarikan temuannya ke Jakarta," komentar Titik Mahardi. Sejak itu, seperti disitir Kapolres Tuban, AKBP Drs. Oerip Subagyo, penggalian harta karun di perairan Tuban dinyatakan haram.

Sama seperti sisa peninggalan era Majapahit, bangunan berarsitektur Cina juga tak banyak lagi bisa dijumpai di Tuban. Hal itu menjadi ciri umum kota pesisir, yang masyarakatnya lebih heterogen dan cepat menerima perubahan. Beruntung, dua klenteng tua berumur ratusan tahun sampai kini masih tegak berdiri.

Bangunan paling kuno, Klenteng Tjoe Ling Kiong usianya diperkirakan mendekati 400 tahunan, terletak dekat alun-alun Kota Tuban, berdampingan dengan Masjid Agung Tuban dan Gereja Katolik di belakangnya. "Lihat, sejak zaman dulu masyarakat Tuban terbiasa hidup berdampingan secara damai, apa pun agama dan keyakinan mereka," cetus Handjono Tanzah.

Walaupun lebih dulu berdiri, Tjoe ling Kiong tampaknya kalah pamor dengan Klenteng Kwan Sing Bio, terletak persis di pantai utara. Bersama makam Sunan Bonang, Kwan Sing Bio disebut-sebut sebagai andalan Tuban.

Konon, inilah satu-satunya tempat ibadah Tri Dharma di Indonesia yang pintu gerbangnya langsung menghadap ke laut, tanpa terhalang apa pun. Posisi geografisnya yang "aneh" menambah keramat tempat ibadah yang rata-rata dikunjungi 50 - 100 orang per hari itu.

Kepopuleran klenteng berlambang kepiting - lazimnya naga atau singa – itu bahkan sampai ke telinga pemerhatinya di mancanegara. Di acara sembahyang hari besar tertentu, seperti hari jadi Kwan Sing Tee Koen, bertepatan dengan Imlek Lak Gwee 24, jumlah pengunjung mencapai puluhan ribu orang. Tak salah jika banyak peziarah menyebutnya klenteng "terbesar di Asia Tenggara". "Enggak perlu cari hotel, mereka semua kami tampung di bangunan belakang klenteng," ujar Handjono, sembari menunjuk empat bangunan besar terpisah di belakang klenteng.

“Soal doa yang terkabul, feng shui, dan lainnya terpulang pada kepercayaan masing-masing, orang," imbuh Handjono yang mengaku tak bisa memastikan faktor apa yang membuat klenteng itu begitu “diminati". Yang pasti, dia berbahagia, karena di hari-hari sembahyang istimewa, berkah Kwan Sing Bio bisa dinikmati juga oleh masyarakat lain. Terutama sektor informal,, seperti pedagang kaki lima, hingga tukang parkir.

Masih berkaitan dengan situs sejarah, sekitar 200 m dari alun-alun ada Pantai Boom, pelabuhan kuno arena pendaratan sekaligus pembantaian pasukan Mongol. Kata boom konon berasal dari bahasa Belanda, artinya tonggak tempat kapal berlabuh. Rasanya, tak sempurna kunjungan ke Tuban tanpa sekilas menengok kuburan kapal perang itu.

Sayang, keindahan pantainya sendiri nyaris tak tampak. Selain banyaknya sampah mengotori pasir, daratan sepanjang 600 m menjorok ke laut - dulu sebagai tempat menambat kapal - pun dikitari "hiasan" bangunan semipermanen, mulai dari warung makan-minum kaki lima, hingga kios prostitusi tersembunyi.