Find Us On Social Media :

Soal Perubahan Wajah Jakarta Harus Berterima Kasih kepada Olahraga, meski Ada Bau-bau Korupsinya

By Moh. Habib Asyhad, Jumat, 6 September 2024 | 13:52 WIB

Persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV benar-benar mengubah wajah Jakarta. Karenanya, banyak gedung-gedung tinggi berdiri.

Korupsi di tengah proyek

Keinginan Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga se-Asia sebenarnya bukan baru itu saja. Jauh sebelumnya, seperti ditulis dalam buku Gelora Merawat Warisan Bangsa, Konperensi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) di Solo sudah mengamanatkannya. Konferensi yang berlangsung pada 2-3 Mei 1948 (masih dalam suasana perang!), melahirkan keputusan yang antara lain berbunyi: “… menganjurkan diadakannya Inter Asiatic Sport Meeting.”

Keputusan untuk aktif dalam pergaulan internasional inilah yang membuat Indonesia akhirnya jadi salah satu negara pendiri AGF. Dalam pertemuan awal pembentukan AGF di New Delhi, India, pada 12-13 Februari 1949, Indonesia hadir bersama-sama India, Pakistan, Burma, Sri Lanka, Afghanistan, Nepal, Thailand, dan Filipina.

Delegasi Indonesia diwakili AB Loebis, diplomat Indonesia yang bertugas di New Delhi.

Pembentukan AGF itu sendiri rupanya berpengaruh pada urutan negara penyelenggara Asian Games, mulai dari yang pertama di New Delhi (Maret 1951), kemudian Manila (Mei 1954), lalu Tokyo (Mei 1958). Sementara untuk penyelenggaraan keempat, calon yang mengajukan diri selain Jakarta adalah Karachi dan Taipei, dua kota yang kala itu relatif lebih maju.

Di tengah keragu-raguan berbagai pihak, tak dinyana Komite Eksekutif AGF menetapkan Jakarta sebagai pemenang. Dalam penghitungan suara, Jakarta menang tipis dengan 22 suara dibanding Karachi yang memperoleh 20 suara (1 suara abstain). Jadwal penyelenggaraan AG IV juga diketok palu, 24 Agustus 1962 selama 10 hari.

Kabar kemenangan itu disambut gembira di dalam negeri, sekaligus memancing sebuah pertanyaan besar: mampukah Indonesia menyelenggarakan Asian Games, setidak-tidaknya sama megahnya dengan penyelenggaraan di Tokyo? Di tengah modal perekonomian dan teknologi saat itu, untuk mewujudkan impian itu rasanya sangat berat.

Akan tetapi keraguan itu ditepis oleh Presiden Sukarno yang justru terlihat sangat bersemangat. Bagi Sukarno olahraga bukan hanya sekadar pertandingan di lapangan, namun juga mampu mengangkat harga diri bangsa. Ia langsung bersurat kepada Dewan Menteri agar persiapan AG IV dilakukan sesempurna mungkin. Terutama perlunya pembangunan sebuah kompleks olahraga tempat seluruh cabang olahraga dalam Asian Games dipertandingkan.

Ketua pelaksana pembangunan kompleks olahraga juga langsung ditunjuk yakni Ir. Srigati Santoso yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Presiden Direktur PLN, dan Direksi Hotel Indonesia. Namun beberapa saat kemudian, posisi itu diganti oleh Ir. R. Pramoedji, Kepala Jawatan Gedung-gedung Negeri di Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.

Kelak diketahui pergantian-pergantian panitia pembangunan rupanya mengindikasikan ketidakberesan dalam persiapan awal. Pada 1961 mulai muncul isu tentang penyelewengan, manipulasi, serta pencurian barang-barang yang mengganggu kelancaran pekerjaan. Dari kabar buruk ini, mulai muncul keraguan orang tentang persiapan AG IV.

Melihat berbagai kendala di lapangan, pemerintah akhirnya membentuk Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) dengan Mayor Jenderal D. Soeprajogi sebagai komandan. Ya, KUPAG memang memakai struktur ala militer di mana setiap pimpinan dipanggil komandan. Bukan cuma pimpinan yang berasal dari militer saja, tim operasi teknis dan pembangunan yang banyak diisi masyarakat sipil juga dipanggil komandan.

Sejak mengambil alih pekerjaan, KUPAG bergerak cepat. Pemborong utama ditunjuk langsung yaitu P.N. Adhy Karya, P.N. Nindhya Karya, P.N. Hutama Karya, dan P.N. Waskita Karya. Para pemborong utama ini kemudian masih bekerja sama lagi dengan tujuh pemborong lain mengingat besarnya proyek ini.