Penulis
[ARSIP]
Asian Games IV dan pembangunan Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) adalah dua peristiwa yang saling terkait erat. Juga terkait dengan berubahnya wajah Jakarta.
Penulis: Tjahjo Widyasmoro
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Awal kisah keberadaan Kompleks GBK tak lepas dari upaya tim delegasi Indonesia yang melobi Asian Games Federation (AGF) agar mau menerima Indonesia sebagai salah satu calon penyelenggara AG IV. Kala itu tim yang terdiri atas Sri Paku Alam VIII, H.E.R. Maladi, dan Abdul Halim, berada di Tokyo, di tengah perhelatan Asian Games III yang digelar pada Mei 1958.
Tak salah jika ada sebagian orang yang menilai tim delegasi Indonesia sangat nekat. Indonesia melamar menjadi tuan rumah AG IV dengan hanya bermodalkan sebuah buku yang memuat foto-foto berbagai sarana dan prasarana olahraga peninggalan pemerintah kolonial. Ada Stadion Ikada, kolam renang Manggarai, serta beberapa lapangan olahraga lain yang bisa dipastikan jauh dari kelayakan.
Dengan segala keterbatasan, proposal beserta dokumen itu akhirnya diserahkan juga oleh Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia, W.J. Latumenten, kepada Sekretaris AGF. Penyerahan itu waktunya begitu mepet, tinggal dua hari jelang pengambilan keputusan soal tuan rumah AG IV.
Baca Juga: Ambisi Presiden Soekarno Membangun GBK: Sebuah Mahakarya di Tengah Gelora Sejarah
Delegasi Indonesia sadar betul, banyak negara yang meragukan kemampuan Indonesia. Bukan cuma fasilitas olahraganya yang kurang layak, sarana akomodasi dan transportasi di Jakarta juga sangat minim. Kala itu Jakarta yang notabene ibukota negara, masih mirip sebuah kampung besar yang tidak tertata.
Apalagi jika menengok kemegahan Tokyo dalam penyelenggaraan AG III. Negeri yang belum lama porak poranda akibat kalah Perang Dunia II itu bahkan bisa membangun dua stadion khusus untuk AG yakni Nation Stadium di Shinjuku dan Tokyo Metropolitan Gymnasium di Shibuya.
Korupsi di tengah proyek
Keinginan Indonesia menyelenggarakan pesta olahraga se-Asia sebenarnya bukan baru itu saja. Jauh sebelumnya, seperti ditulis dalam buku Gelora Merawat Warisan Bangsa, Konperensi Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) di Solo sudah mengamanatkannya. Konferensi yang berlangsung pada 2-3 Mei 1948 (masih dalam suasana perang!), melahirkan keputusan yang antara lain berbunyi: “… menganjurkan diadakannya Inter Asiatic Sport Meeting.”
Keputusan untuk aktif dalam pergaulan internasional inilah yang membuat Indonesia akhirnya jadi salah satu negara pendiri AGF. Dalam pertemuan awal pembentukan AGF di New Delhi, India, pada 12-13 Februari 1949, Indonesia hadir bersama-sama India, Pakistan, Burma, Sri Lanka, Afghanistan, Nepal, Thailand, dan Filipina.
Delegasi Indonesia diwakili AB Loebis, diplomat Indonesia yang bertugas di New Delhi.
Pembentukan AGF itu sendiri rupanya berpengaruh pada urutan negara penyelenggara Asian Games, mulai dari yang pertama di New Delhi (Maret 1951), kemudian Manila (Mei 1954), lalu Tokyo (Mei 1958). Sementara untuk penyelenggaraan keempat, calon yang mengajukan diri selain Jakarta adalah Karachi dan Taipei, dua kota yang kala itu relatif lebih maju.
Di tengah keragu-raguan berbagai pihak, tak dinyana Komite Eksekutif AGF menetapkan Jakarta sebagai pemenang. Dalam penghitungan suara, Jakarta menang tipis dengan 22 suara dibanding Karachi yang memperoleh 20 suara (1 suara abstain). Jadwal penyelenggaraan AG IV juga diketok palu, 24 Agustus 1962 selama 10 hari.
Kabar kemenangan itu disambut gembira di dalam negeri, sekaligus memancing sebuah pertanyaan besar: mampukah Indonesia menyelenggarakan Asian Games, setidak-tidaknya sama megahnya dengan penyelenggaraan di Tokyo? Di tengah modal perekonomian dan teknologi saat itu, untuk mewujudkan impian itu rasanya sangat berat.
Akan tetapi keraguan itu ditepis oleh Presiden Sukarno yang justru terlihat sangat bersemangat. Bagi Sukarno olahraga bukan hanya sekadar pertandingan di lapangan, namun juga mampu mengangkat harga diri bangsa. Ia langsung bersurat kepada Dewan Menteri agar persiapan AG IV dilakukan sesempurna mungkin. Terutama perlunya pembangunan sebuah kompleks olahraga tempat seluruh cabang olahraga dalam Asian Games dipertandingkan.
Ketua pelaksana pembangunan kompleks olahraga juga langsung ditunjuk yakni Ir. Srigati Santoso yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Presiden Direktur PLN, dan Direksi Hotel Indonesia. Namun beberapa saat kemudian, posisi itu diganti oleh Ir. R. Pramoedji, Kepala Jawatan Gedung-gedung Negeri di Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga.
Kelak diketahui pergantian-pergantian panitia pembangunan rupanya mengindikasikan ketidakberesan dalam persiapan awal. Pada 1961 mulai muncul isu tentang penyelewengan, manipulasi, serta pencurian barang-barang yang mengganggu kelancaran pekerjaan. Dari kabar buruk ini, mulai muncul keraguan orang tentang persiapan AG IV.
Melihat berbagai kendala di lapangan, pemerintah akhirnya membentuk Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) dengan Mayor Jenderal D. Soeprajogi sebagai komandan. Ya, KUPAG memang memakai struktur ala militer di mana setiap pimpinan dipanggil komandan. Bukan cuma pimpinan yang berasal dari militer saja, tim operasi teknis dan pembangunan yang banyak diisi masyarakat sipil juga dipanggil komandan.
Sejak mengambil alih pekerjaan, KUPAG bergerak cepat. Pemborong utama ditunjuk langsung yaitu P.N. Adhy Karya, P.N. Nindhya Karya, P.N. Hutama Karya, dan P.N. Waskita Karya. Para pemborong utama ini kemudian masih bekerja sama lagi dengan tujuh pemborong lain mengingat besarnya proyek ini.
Bisa terancam banjir
Jauh sebelum menyentuh ke pekerjaan konstruksi, urusan yang tak kalah pelik adalah penentuan lokasi komplek olahraga. Karena sejak awal idenya adalah membangun sebuah kompleks olahraga terpadu, maka perlu lahan luas, setidak-tidaknya 300 hektar.
Ada berbagai pilihan lokasi di Jakarta yang masuk nominasi. Awalnya kawasan Bendungan Hilir dipertimbangkan, namun Gubernur DKI Jakarta Raya, Soemarno Sostroatmodjo, cenderung memilih kawasan sekitar Rawamangun yang lahan kosongnya lebih luas.
Saat itu Sukarno memberi pertimbangan, lokasi sebaiknya dekat dengan pusat kota, seperti di sekitar Jalan MH Thamrin atau kawasan Menteng. Namun setelah terus dirundingkan, nominasi bergeser ke kawasan yang agak pinggir yakni Kampung Karet, Pejompongan, dan Dukuh Atas.
Untuk memastikan kondisi sesungguhnya di lapangan, Sukarno mengajak arsitek F. Silaban terbang bersama dengan helikopter kepresidenan. Satu per satu calon lokasi diamati, sambil terus aktif berdiskusi.
Dari pengamatan di udara, Silaban berpendapat jika stadion dibangun di kawasan Dukuh Atas, bakal menyebabkan kemacetan lalu-lintas di sekitarnya. Selain itu keberadaan Sungai Grogol yang melintasi kawasan Dukuh Atas sewaktu-waktu bisa mengancam stadion jika sampai banjir.
Sampai di situ Sukarno masih tetap ngotot bahwa persoalan ancaman banjir di Dukuh Atas masih bisa diatasi. “Kita buat terowongan,” tuturnya memberi ide.
Tak ingin berbantahan, Silaban akhirnya memberi pertimbangan bahwa Sukarno sering membawa rombongan tamu-tamunya dalam berbagai kegiatan. Karena itu perlu ruang terbuka yang jauh lebih luas dari yang ada di Dukuh Atas.
Silaban lalu meminta helikopter mengarah ke Senayan. Dari ketinggian, Sukarno melihat sendiri lahan kosong di kawasan ini cukup luas. Ia bahkan langsung berimajinasi tentang sebuah kompleks sarana olahraga dengan sebuah jalan besar yang menghubungkannya dengan pusat kota di Monas dan pusat pemerintahan di sekitar Istana Presiden. Kelak jalan ini kita kenal sebagai Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman.
Mendapat kavling 100 m2
Setelah lokasi disepakati, pekerjaan besar selanjutnya adalah pemindahan warga di kawasan Senayan seluas 300 hektar. Pekerjaan ini dilakukan oleh Panitia Pembebasan Tanah yang terdiri atas unsur-unsur keempat angkatan bersenjata. Sebagai koordinator, ditunjuk Soetikno Loekitodisastro, seorang perwira menengah Angkatan Darat.
Pekerjaan pemindahan dimulai pada Mei 1959 atau begitu Letnan Jenderal A.H. Nasution sebagai KSAD dan “Penguasa Perang Pusat” mengeluarkan keputusan bahwa seluruh tanah pada lahan calon kompleks GBK akan dikuasai negara dan harus segera dikosongkan.
Pemindahan 55.523 jiwa korban gusuran Senayan berlangsung dalam 3 bulan antara September sampai November 1959. Setiap hari 50 buah truk pengangkut wara-wiri di Senayan. Berbagai fasilitas juga dibangun di tempat lokasi pemindahan antara lain 6 masjid, 18 langgar, 19 sekolah, 2 pasar, 3 poliklinik dan 40 km jalan.
Para pemilik tanah mendapat ganti lahan di Tebet, Slipi, dan Ciledug dengan total luas sekitar 500 hektar. Aturan ganti rugi ini cukup menarik. Misalnya penduduk yang dipindah ke Tebet menerima kavling minimal 100m2 dengan membayar harga maksimal 60 persen dari nilai ganti rugi. Jadi rumah didapat, uang ganti rugi masih tersisa di kantong.
Pembangunan kawasan Senayan juga diikuti pelebaran Jalan Jenderal Sudirman yang menghubungkan kawasan itu dengan pusat pemerintahan di sekitar Istana Presiden. Beberapa wilayah yang dilintasi jalan besar itu harus ikut tergusur, mulai dari Pejompongan sampai Kebayoran Baru dengan batas sampai Jalan Hang Lekir.
Pembangunan jalan protokol ini memunculkan kebutuhan lain yakni kelancaran lalu-lintas di persimpangan antara Jalan Jenderal Sudirman dengan jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Jenderal Gatot Subroto. Maka dirancanglah Jembatan Semanggi yang akhirnya selesai dibangun pada 1961. Keputusan pembangunan jembatan ini dilakukan Sukarno sendiri atas proposal Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Sutami.
Pemilihan nama Semanggi ini kisahnya cukup unik. Selain karena selain bentuk jembatan mirip daun semanggi jika dilihat dari atas, di lokasi jembatan ini berdiri dulunya juga merupakan rawa-rawa yang ditumbuhi tanaman semanggi (Marsilea crenata).
Aliran konstruktivisme
Cerita mengenai pembangunan Kompleks GBK sebenarnya tidak bisa lepas dari peran satu negara adidaya yakni Uni Soviet. Bahkan rasanya mustahil rencana besar ini terwujud tanpa cawe-cawe negara pemimpin dari Blok Timur itu. Dimulai dari komitmen pinjaman dana lunak sebesar 12,5 juta dollar AS sampai ke bantuan teknis pembangunan di lapangan.
Tim Uni Soviet terdiri atas arsitek dan insinyur yang mewakili Architectural-Planning Department of Moscow yang dipimpin Director of Institute, A.A. Osmer. Hasil rancangan tim Uni Soviet mulai diterima 31 Juli 1959. Menyusul kemudian datang dua orang ahli yaitu Chief Architect R.I. Semerdjiev dan Senior Engineer L.A. Muromtsev untuk membicarakan detail pelaksanaan teknisnya.
Kompleks GBK hasil rancangan tim Uni Soviet terdiri atas Stadion Utama berkapasitas minimal 100 ribu orang, aula bulutangkis (dikenal sebagai Istana Olahraga) untuk 10 ribu orang, Stadion Aquatic untuk 8 ribu orang, Stadion Hockey (Stadion Madya) untuk 15 ribu orang, Basket Hall, Stadion Tenis berkapasitas 5 ribu orang, tiga lapangan tenis terbuka, lapangan latihan terbuka, stasiun radio dan televisi, tempat penjualan karcis, asrama wanita, perkampungan internasional dan area parkir.
Tak bisa dipungkiri, rancangan komplek GBK karya para arsitek Uni Soviet telah memberi warna sendiri bagi kekayaan arsitektur Indonesia. Dalam bahasa arsitektur, desain bangunan-bangunannya punya pendekatan perancangan dengan ekspresi konstruksi. Maklum, Uni Soviet adalah pusat aliran konstruktivisme.
Simbol kedekatan itu semakin terasa tatkala Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Khrushchev, menyempatkan diri ke Indonesia selama 12 hari, mulai 18 Februari 1960. Khrushchev tentu meninjau langsung proyek pembangunan Kompleks GBK dan bersama Sukarno sama-sama menarik tali tiang pemancang ke-100 dari Stadion Utama GBK.
Kemungkinan sabotase
Sejak pemancangan tiang pertama, 8 Februari 1960, pembangunan Kompleks GBK terus dikebut seolah tak kenal waktu. Maklum, tim pekerja menyiapkan sebuah megaproyek yang belum pernah dikerjakan sebelumnya di Indonesia, sementara waktunya cukup terbatas yakni 2,5 tahun saja.
Tim inti yang mengerjakan proyek ini adalah 40 sarjana teknik dari Indonesia dibantu sejumlah tenaga luar negeri. Para tenaga ahli itu bukan cuma dari Uni Soviet, namun ada juga dari Hungaria, Swiss, Jepang, Prancis, dan Jerman. Total pekerja yang terlibat mencapai 12.000 tenaga sipil dan militer, terbagi dalam 3 shift, siang-malam.
Kalau dilihat dalam angka, proyek ini akan terasa sangatlah besar. Total galian atau urugan tanah adalah 2,5 juta m3 atau sekitar 800 ribu truk. Beton yang dicor 100 ribu m3, dengan 21 ribu ton besi, 800 ribu kantong semen, dan pasir dan batu 120 ribu m3. Konstruksi atap untuk Stadion Utama dan Istora menggunakan 6.400 ton besi. Lembar aluminium untuk atap mencapai 10 hektar.
Pembangunan dirasa berat karena penanganan logistik tidaklah mudah. Harus dibuat jalan khusus sebagai jalur untuk 700 truk selama konstruksi. Bahkan di dalam area stadion sampai dibuat jalur kereta khusus untuk mendistribusikan peralatan dan material seperti semen, batu, pipa, dan baja.
Di tengah pembangunan yang melaju kencang, terjadi peristiwa mengejutkan pada 21 Oktober 1961. Stadion utama yang sudah mulai mewujud, mendadak terbakar. Saat para pekerja tengah bersantai, sekitar pukul 18.45 WIB, tiba-tiba muncul lidah api yang menjulang sampai 50 meter. Dalam sekejap, api melalap sepertiga bangunan stadion.
Suasana mendadak tegang karena perancah untuk konstruksi menggunakan batang-batang bambu dan papan-papan kayu yang mudah dilalap api. Pemadam kebakaran dibantu seluruh pekerja, termasuk pekerja asing, bahu-membahu memadamkan api. Tujuh jam api baru benar-benar dikuasai.
Setelah dievaluasi, kerugian akibat kebakaran adalah 3 persen dari biaya yang telah dikeluarkan. Sedangkan jika dikalkulasi dari anggaran proyek pembangunan Stadion Utama Senayan, tidak lebih dari 1 persen. Memang tidak besar, karena yang terbakar kebanyakan kayu penyangga kerangka besi. Meski begitu atap stadion yang masih dikerjakan, rusak cukup parah. Waktu pengerjaan juga jadi mundur 1,5 bulan.
Bagian menariknya, karena proyek ini merupakan kerja sama antara Indonesia dengan Uni Soviet, muncul rumor adanya sabotase terhadap negara Blok Timur itu. Secara resmi panitia berkesimpulan penyebab kebakaran adalah kekeliruan penanganan. Namun keterangan Ashari Danudirdjo, Sekretaris Panitia Pelaksana Pembangunan, menyiratkan bahwa bukan tidak mungkin disebabkan adanya sabotase.
Meski dampaknya tidak besar, namun akibat dari kebakaran, sempat muncul keragu-raguan dari para anggota AGF. Kondisi ini sampai membuat Presiden AGF Sultan Hamengkubuwono IX mengundang para Executive Committee AGF ke Jakarta pada April 1962. Hadir lengkap utusan dari India, Jepang, Filipina, Hongkong, Afghanistan dan Taiwan. Setelah berkeliling barulah mereka yakin kondisi baik-baik saja.
Di sisi lain peristiwa kebakaran malah mendatangkan liputan positif dari luar negeri. Salah satunya The Asia Magazine yang memuji persiapan Asian Games dan bangunan Stadion Utama di Senayan. “… its construction is a feat unequaled in the annals of sports history in Asia than perhaps in the world,” tulis majalah terbitan Hongkong itu.
Para wakil executive committee AGF seperti G.D. Sondhi dari India, de O Sales dari Hongkong, dan Gunsun Hoh dari Taiwan juga mengakui bahwa ide memusatkan seluruh sport venues dan international village dalam satu kompleks merupakan yang pertama dan terbaik di dunia. Akibatnya para atlet tidak akan kesulitan soal transportasi dan mereka bisa beristirahat lebih banyak.
Meski penuh dinamika tak terduga, pembangunan Kompleks GBK bisa selesai sesuai target. Peresmian dilakukan 21 Juli 1962 atau sebulan sebelum AG IV digelar. Saat meresmikan, Presiden Sukarno didampingi Wakil Ketua Pertama Dewan Menteri Uni Soviet, Anastas Mikoyan. Menurut menteri asal Armenia itu, Stadion Utama GBK merupakan monumen persahabatan antara Indonesia dan Uni Soviet.
Atap temu gelang
Di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang sangat memprihatinkan pada awal tahun 1960-an, kemegahan Kompleks GBK dan disusul suksesnya penyelenggaraan AG IV, memang menjadi penghiburan tersendiri bagi rakyat yang tengah prihatin. Kebanggaan bangsa Indonesia diwakili oleh Sukarno sendiri yang begitu meyakini bahwa GBK adalah stadion terbaik di dunia saat itu.
“Ini merupakan stadion terhebat di seluruh dunia, milik bangsa Indonesia. Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat stadion di Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain, … wah, Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia,” kata Sukarno berapi-api dalam upacara pembukaan.
Sukarno memang sangat kagum pada konstruksi bangunan stadion utama, terutama pada konstruksi atapnya yang memutar dan saling bertemu. Konstruksi atap yang diistilahkannya “temu-gelang” itu tak lain adalah usulan Sukarno sendiri setelah melihat konstruksi serupa di Museo Antropologia de Mexico di Mexico City.
“Tidak ada satu stadion di dunia ini yang atapnya itu temu-gelang, kataku, tidak ada. Stadion Rio de Janeiro, yang lebih besar sedikit dari pada stadion ini, tapi atapnya tidak temu-gelang, dan konstruksinya kalah dengan stadion ini,” kata Sukarno seperti ditulis dalam buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno.
Sampai hari ini, kecanggihan konstruksi atap Stadion Utama GBK masih jadi kebanggaan tersendiri bagi sebagian bangsa Indonesia. Bukan hanya terlihat indah secara artistik, kekuatannya juga sudah teruji sejak awal pembangunan dan dinyatakan aman. Tak heran jika semangat pembangunannya tetap abadi hingga kini.
Baca Juga: Ganefo Dan Ambisi Bung Karno Menyaingi Olimpiade, Semua Gegara Isreal