Find Us On Social Media :

Belanda Depok: 'Sinyo' dan 'Noni' van Depok, ke Mana Sekarang?

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 29 Agustus 2024 | 12:47 WIB

Belanda Depok bukan sekadar olok-olokan. Ada akar kuat yang melekat di belakangnya terkait 12 marga Depok.

 

[ARSIP]

Depok, wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta bagian selatan, punya sejarah yang sangat lekat dengan penjajahan Belanda. Sayangnya, jejak-jejak sejarah itu sulit kita temukan di Depok masa kini. Hanya frasa 'Belanda Depok' yang lamat-lamat masih terdengar.

Penulis: Birgitta Ajeng untuk Majalah Intisari edisi April 2015

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Sampai beberapa puluh tahun silam, sebutan "Belanda Depok" masih sering terdengar oleh masyarakat sekitar Depok dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya sebutan ini ditujukan kepada sekelompok warga Depok yang memiliki nama marga yang kebelanda-belandaan, yang jumlahnya ada 12--sekarang sisa 11.

Marga-marga itu adalah Bacas, Isakh, Jonathans, Joseph, Jacob, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. Bukan hanya nama, budaya dan kehidupan masyarakat itu juga banyak terpengaruh oleh tradisi masyarakat Belanda.

Mereka tidak berkulit putih atau berhidung mancung laiknya orang-orang Kaukasoid. Sebab sesungguhnya mereka adalah asli pribumi tapi punya keterkaitan erat dengan tuan mereka yang orang Belanda. Namanya, Cornelis Chastelein.

Baca Juga: Hikayat Belanda Depok, Pribumi Asli yang Punya Marga Belanda

Membeli 150 budak

Cornelis Chastelein adalah seorang pegawai VOC. Saat usianya 17 tahun, dia ditugaskan ke Hindia Belanda sebagai tenaga pembukuan. Anthony Chastelein, ayahnya, berasal dari Prancis yang melarikan diri ke Belanda akibat pertikaian agama di negerinya. Sedangkan ibunya, Maria Cruydenier, adalah putri seorang walikota.

Di VOC karier Chastelein melesat hingga menjadi saudagar kaya raya. Setelah 17 tahun jadi pejabat, persisnya pada 1691, dia dikenal sebagai saudagar senior kelas dua dari benteng Batavia. Menurut buku Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe yang ditulis Yano Jonathan, salah seorang keturunan 12 marga Depok, tahun itu juga Chastelein mengundurkan diri dari jabatannya karena alasan kesehatan.

Meski ada kemungkinan itu disebabkan ketidaksetujuannya dengan kebijakan politik dagang Gubernur Jenderal VOC yang baru, van Outshoorn.

"Jadi waktu itu terjadi pergantian gubernur jenderal. Ketika Gubernur Jenderal van Outshoorn bertugas, Chastelein tidak setuju dengan politik dagangnya karena keras sekali. Dia tidak setuju ada kekerasan di sana, kerja paksa, kerja rodi terhadap orang-orang pribumi," ungkap Yano saat ditemui di Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) di Depok pada 2015 lalu.

Setelah mengundurkan diri, Chastelein membeli beberapa bidang tanah yang tersebar di Batavia, seperti Noordwijk (sekarang Pintu Air di Jalan Juanda) dan Lapangan Banteng, untuk dijadikan perkebunan. Dia juga membangun rumah dan gereja kecil (kapel) di sekitar Jalan Kenanga, Pasar Senen. Untuk mengembangkan pertaniannya, dia membeli lagi beberapa bidang tanah di selatan Jakarta, tepatnya di Seringsing (sekarang Lenteng Agung) dan Depok.

Depok dibeli Chastelein dari seorang Tionghoa bernama Tio Tong Ko dan sebagian lagi dari Van Den Barlisen. "Luasnya kira-kira 1.240 hektare," cerita Yano yang juga dikenal sebagai seorang peminat sejarah dan filatelis ini.

Untuk menggarap lahan pertanian itu, Chastelein membeli 150 budak dari kawasan di Jakarta di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Kampung Bali dan Kampung Bugis. Tak heran bila kebanyakan budak-budak Chastelein yang ditempatkan di Depok berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan. Para budak inilah cikal bakal Belanda Depok.

Baca Juga: Bagaimana Perang Padri yang Terjadi Tahun 1803 sampai 1838 Merupakan Perlawanan Rakyat yang Terjadi di Sumatera Barat?

Awalnya olok-olokan

Berbeda dengan stereotip tentang budak di masa silam yang penuh kesengsaraan, budak-budak Chastelein hidup dengan sejahtera. Tak hanya disuruh menggarap lahan pertanian, mereka juga dididik dan diajari cara mengurus dan membangun sebuah sistem masyarakat.

Para budak itu juga dibaptis dan menganut Kristen Protestan. Mereka juga diminta memakai marga-marga ala Belanda--yang dikenal sebagai 12 nama marga Depok.

"Sekarang bukan 12 tapi 11 marga, karena yang satu, Zadokh, kehilangan keturunan prianya. Karena biasanya yang menyandang nama marga itu pria. Tapi dia melahirkan anak perempuan," kata Yano tentang situasi terkini dari penamaan itu. Sayangnya Yano tidak memiliki keterangan tentang siapa yang membaptis para budak itu beserta tanggalnya.

Tiga bulan setelah membeli Depok, Chastelein membuat surat wasiat yang berisi pembebasan budak-budaknya. Dia juga memberikan harta bendanya dan sebagian wilayah Depok kepada mereka.

Menariknya lagi, menurut Yano, Chastelein juga menyiapkan sebuah wilayah yang tidak boleh diganggu. Luasnya 6 Ha yang kini menjadi semacam hutan lindung di tengah wilayah Depok. Wilayah itu kini dikenal dengan nama Taman Hutan Raya (Tahura). Lokasinya tak jauh dari Stasiun Depok.

"Itu bisa diartikan satu bentuk pelestarian lingkungan. Hutannya sampai saat ini masih ada," cerita Yano.

Terkait istilah "Belanda Depok", menurut Yano, sebenarnya para orangtua di Depok merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Sebab panggilan itu sesungguhnya adalah sebuah olok-olokan di kalangan anak-anak muda Depok pada zaman dulu.

Kisahnya berawal dari tahun 1876 saat alat transportasi kereta api dengan rute perjalanan Batavia-Buitenzorg (kini Jakarta-Bogor) sudah mulai beroperasi. Keberadaan transportasi umum itu membuat warga Depok yang sempat merasa terisolasi bisa bepergian ke Jakarta atau Bogor. Begitu pula dengan muda-mudi Depok yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Jakarta.

Dalam perjalanan kereta ini, anak-anak muda Depok tetap dengan gaya mereka sehari-hari yakni memakai bahasa Belanda selayaknya para sinyo dan noni Belanda. Tentu saja hal ini membuat mereka diolok-olok oleh rekan-rekan mereka yang berasal dari kawasan lain di sekitar Depok, hingga lahirlah istilah "Belanda Depok". Hebatnya, istilah ini bertahan sampai puluhan tahun kemudian.

Mempertahankan jejak sejarah

Lain dulu, lain sekarang. Kini jejak kehidupan peninggalan Cornelis Chastelein dan para budaknya sulit dijumpai di jantung Kota Depok. Kita baru akan menemuinya di sepanjang Jalan Pemuda dan Jalan Kartini. Itu pun sangat sedikit yaitu gedung YLCC yang mulanya adalah rumah tinggal para pendeta, Gereja Immanuel Depok, SMA Kasih Depok, SD Pancoran Mas II Depok, Rumah Sakit Harapan, Jembatan Panus, dan Pemakaman Kamboja. Padahal kedua jalan itu adalah bekas pusat pemerintahan Depok.

"Kemajuan begitu hebat di sini, dalam satu tahun bisa empat rumah hilang," kata Yano.

Untuk mempertahankan dan melestarikan peninggalan yang ada, Yano dan rekan-rekannya dari YLCC berupaya menyelenggarakan diskusi dan seminar mengenai sejarah Depok. YLCC sendiri merupakan perkumpulan dari 12 marga keluarga Depok. Yayasan ini dibentuk untuk memelihara aset-aset yang dulu dihibahkan oleh Chastelein kepada para budaknya.

Yayasan ini juga memberi pelayanan sosial dan menyelenggarakan pendidikan bagi 11 keluarga yang tersisa dan 12 marga Depok. Sejak awal pendiriannya, 4 Agustus 1952, yayasan ini tetap aktif sampai hari ini.

Menurut Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe, dulu Depok juga memiliki monumen yang berlokasi di depan Rumah Sakit Harapan. Monumen berbentuk tugu itu berdiri atas inisiatif Presiden Depok Johanes Mathijs Jonathans. Cikal bakalnya dimulai pada 1871, saat Mr. H. Klein, seorang jaksa, mengusulkan agar masyarakat Depok tetap mengenang jasa Cornelis Chastelein.

Sayangnya, tugu ini sudah tidak ada karena dirobohkan di tahun 1960-an. Belakangan, ada upaya dari YLCC untuk membangun kembali tugu tersebut demi pengetahuan sejarah generasi penerus.

"Sebenarnya pembangunan tugu itu sudah diupayakan sejak 15 tahun lalu, akan tetapi baru bisa dijalankan pertengahan Mei 2014," kata Yano. Lucunya, di tengah pembangunan tugu, Pemerintah Kota Depok sempat melarang, tapi persoalan ini akhirnya selesai bahkan pembangunan akan diteruskan dengan gerbang cagar budaya.

Upaya Yano dan YLCC untuk melestarikan peninggalan sejarah yang tersisa memang masih sangat terbatas. Di sisi lain, Yano mengkhawatirkan upaya ini sebab dia dan rekan-rekannya saat ini sudah memasuki usia senja. Sementara sedikit sekali keturunan dari 12 keluarga marga Depok yang berminat meneruskan upaya itu.

"Sampai hari ini saya belum dapatkan orangnya. Upayanya sudah saya lakukan sangat keras. Saya lakukan presentasi, saya undang orang Depok," kata Yano yang hanya bisa berharap pada kedatangan “sinyo dan noni” di masa depan.

Baca Juga: Sosok Ini Buka-bukaan Soal Pengalamannya Melamar Jadi Debt Collector Pinjaman Online: Diajari Mencaci Maki