Find Us On Social Media :

Belanda Depok: 'Sinyo' dan 'Noni' van Depok, ke Mana Sekarang?

By Moh. Habib Asyhad, Kamis, 29 Agustus 2024 | 12:47 WIB

Belanda Depok bukan sekadar olok-olokan. Ada akar kuat yang melekat di belakangnya terkait 12 marga Depok.

Tiga bulan setelah membeli Depok, Chastelein membuat surat wasiat yang berisi pembebasan budak-budaknya. Dia juga memberikan harta bendanya dan sebagian wilayah Depok kepada mereka.

Menariknya lagi, menurut Yano, Chastelein juga menyiapkan sebuah wilayah yang tidak boleh diganggu. Luasnya 6 Ha yang kini menjadi semacam hutan lindung di tengah wilayah Depok. Wilayah itu kini dikenal dengan nama Taman Hutan Raya (Tahura). Lokasinya tak jauh dari Stasiun Depok.

"Itu bisa diartikan satu bentuk pelestarian lingkungan. Hutannya sampai saat ini masih ada," cerita Yano.

Terkait istilah "Belanda Depok", menurut Yano, sebenarnya para orangtua di Depok merasa tidak nyaman dengan panggilan itu. Sebab panggilan itu sesungguhnya adalah sebuah olok-olokan di kalangan anak-anak muda Depok pada zaman dulu.

Kisahnya berawal dari tahun 1876 saat alat transportasi kereta api dengan rute perjalanan Batavia-Buitenzorg (kini Jakarta-Bogor) sudah mulai beroperasi. Keberadaan transportasi umum itu membuat warga Depok yang sempat merasa terisolasi bisa bepergian ke Jakarta atau Bogor. Begitu pula dengan muda-mudi Depok yang berkesempatan melanjutkan pendidikan ke Jakarta.

Dalam perjalanan kereta ini, anak-anak muda Depok tetap dengan gaya mereka sehari-hari yakni memakai bahasa Belanda selayaknya para sinyo dan noni Belanda. Tentu saja hal ini membuat mereka diolok-olok oleh rekan-rekan mereka yang berasal dari kawasan lain di sekitar Depok, hingga lahirlah istilah "Belanda Depok". Hebatnya, istilah ini bertahan sampai puluhan tahun kemudian.

Mempertahankan jejak sejarah

Lain dulu, lain sekarang. Kini jejak kehidupan peninggalan Cornelis Chastelein dan para budaknya sulit dijumpai di jantung Kota Depok. Kita baru akan menemuinya di sepanjang Jalan Pemuda dan Jalan Kartini. Itu pun sangat sedikit yaitu gedung YLCC yang mulanya adalah rumah tinggal para pendeta, Gereja Immanuel Depok, SMA Kasih Depok, SD Pancoran Mas II Depok, Rumah Sakit Harapan, Jembatan Panus, dan Pemakaman Kamboja. Padahal kedua jalan itu adalah bekas pusat pemerintahan Depok.

"Kemajuan begitu hebat di sini, dalam satu tahun bisa empat rumah hilang," kata Yano.

Untuk mempertahankan dan melestarikan peninggalan yang ada, Yano dan rekan-rekannya dari YLCC berupaya menyelenggarakan diskusi dan seminar mengenai sejarah Depok. YLCC sendiri merupakan perkumpulan dari 12 marga keluarga Depok. Yayasan ini dibentuk untuk memelihara aset-aset yang dulu dihibahkan oleh Chastelein kepada para budaknya.

Yayasan ini juga memberi pelayanan sosial dan menyelenggarakan pendidikan bagi 11 keluarga yang tersisa dan 12 marga Depok. Sejak awal pendiriannya, 4 Agustus 1952, yayasan ini tetap aktif sampai hari ini.

Menurut Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe, dulu Depok juga memiliki monumen yang berlokasi di depan Rumah Sakit Harapan. Monumen berbentuk tugu itu berdiri atas inisiatif Presiden Depok Johanes Mathijs Jonathans. Cikal bakalnya dimulai pada 1871, saat Mr. H. Klein, seorang jaksa, mengusulkan agar masyarakat Depok tetap mengenang jasa Cornelis Chastelein.

Sayangnya, tugu ini sudah tidak ada karena dirobohkan di tahun 1960-an. Belakangan, ada upaya dari YLCC untuk membangun kembali tugu tersebut demi pengetahuan sejarah generasi penerus.

"Sebenarnya pembangunan tugu itu sudah diupayakan sejak 15 tahun lalu, akan tetapi baru bisa dijalankan pertengahan Mei 2014," kata Yano. Lucunya, di tengah pembangunan tugu, Pemerintah Kota Depok sempat melarang, tapi persoalan ini akhirnya selesai bahkan pembangunan akan diteruskan dengan gerbang cagar budaya.

Upaya Yano dan YLCC untuk melestarikan peninggalan sejarah yang tersisa memang masih sangat terbatas. Di sisi lain, Yano mengkhawatirkan upaya ini sebab dia dan rekan-rekannya saat ini sudah memasuki usia senja. Sementara sedikit sekali keturunan dari 12 keluarga marga Depok yang berminat meneruskan upaya itu.

"Sampai hari ini saya belum dapatkan orangnya. Upayanya sudah saya lakukan sangat keras. Saya lakukan presentasi, saya undang orang Depok," kata Yano yang hanya bisa berharap pada kedatangan “sinyo dan noni” di masa depan.

Baca Juga: Sosok Ini Buka-bukaan Soal Pengalamannya Melamar Jadi Debt Collector Pinjaman Online: Diajari Mencaci Maki