Find Us On Social Media :

Tak Kelihatan Batang Hidungnya, di Mana Bung Karno dan Bung Hatta saat Sumpah Pemuda?

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 18 Agustus 2024 | 13:50 WIB

Saat Sumpah Pemuda diikrarkan, di mana gerangan sosok Bung Karno dan Bung Hatta? Asvi Marwan Adam menawarkan dua alasan.

Saat Sumpah Pemuda diikrarkan, di mana gerangan sosok Bung Karno dan Bung Hatta? Asvi Marwan Adam menawarkan dua alasan.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Jika kita memperhatikan lebih lanjut, tak ada nama Sukarno dan Mohammad Hatta saat peristiwa Sumpah Pemuda. Padahal, ketika itu, keduanya sudah menjadi aktivis Pergerakan Nasional. Ke mana Bung Karno dan Bung Hatta saat Kongres Pemuda II itu?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat struktur kepanitiaan Kongres Pemuda II yang nantinya menghasilkan Sumpah Pemuda.

Kongres Pemuda II digelar di beberapa tempat di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Yang menjabat sebagai ketua panitia adalah Sugondo Djojopuspito yang berasal dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Sementara wakilnya adalah RM Djoko Massaid dari Jong Java.

Dua pemuda Sumatera, Mohammad Yamin yang mewakili Jong Sumatranen Bond dan Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond masing-masing menjabat sebagai sekretaris dan bendahara.  Adapun Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond menjabat sebagai sekretaris dan Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond menjadi bendahara.

Para pengurus inti itu didampingi oleh sekitar lima pembantu. Mereka adalah Johan Mohammad Cai dari Jong Islamieten Bond, R. Katjasoengkana dari Pemoeda Indonesia, R.C.I. Sendoek dari Jong Celebes, Johannes Leimena dari Jong Ambon, dan Mohammad Rochjani Su'ud dari Pemoeda Kaoem Betawi.

Baca Juga: Jadi Presiden di Usia Muda, Kok Bisa Sukarno Sering Berseberangan dengan Para Pemuda?

Seperti disebut di awal, Kongres Pemuda II dilaksanakan di beberapa tempat di Jakarta untuk tiga kali rapat. Rapat pertama dilaksanakan pada Sabtu, 27 Oktober 1928 bertempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein, yang sekarang masuk kawasan Lapangan Banteng.

Di situ, Sugondo Djojopuspito berpidato, berharap kongres dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Yamin juga urun suara, bicara tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Dia bilang, ada lima hal yang bisa memperkuat persatuan: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Lalu rapat kedua digelar pada Minggu, 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioscoop. Di sini yang dibahas adalah urusan pendidikan. Pemantiknya adalah Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Secara garis besar, keduanya ingin setiap anak harus mendapat pendidikan kebangsaan.

Rapat ketiga, rapat penutupan, digelar pada hari yang sama dengan rapat kedua, digelar di Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106. Di situ Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sementara Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional.

Dua hal penting yang terjadi di rapat ketiga: untuk pertama kalinya lagi Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola dan ikrar para pemuda yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Kembali ke pertanyaan awal, di mana Bung Karno dan Bung Hatta?

Ketika kongres terjadi, Bung Karno berusia sekitar 27 tahun--kebanyakan anggota kongres berusia akhir belasan tahun. Nama Bung Karno memang tidak ada dalam kelindan peristiwa itu, tapi bukan berarti dia tidak memantau peristiwa penting tersebut. Untuk Bung Hatta sendiri, ketika itu dia masih menyelesaikan studinya di Belanda. Lagian, setahun sebelumnya, Bung Hatta dijebloskan ke penjara Den Hag karena aktivitas politiknya.

Ada dua versi

Dalam tulisannya di Majalah Intisari berjudul "Sukarno Versus Kaum Muda", sejarawan Asvi Marwan Adam menjelaskan beberapa versi terkait kenapa Bung Karno tidak ada ketika Sumpah Pemuda. Penjelasan Asvi bertolak pada Juli 1927 ketika Bung Karno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung.

Lalu pada Desember 1927, Sukarno berhasil merealisasikan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang semula terdiri atas tujuh organisasi (PNI, Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indonesische Studieclub).

Permufakatan itulah yang membuat segala kegiatan Bung Karno diawasi oleh pemerintah kolonial karena dianggap berbahaya. Tabrani yang mengetuai Kongres Pemuda I tahun 1926 dan kemudian belajar di Eropa menulis kepada Sukarno bulan Desember 1928, "Lebih baik kamu di belakang layar saja atau lebih baik lagi meninggalkan Tanah Air untuk sementara."

Baca Juga: [ARSIP] Cerita Lucu Bung Karno Usai Merdeka: Presiden Sudah Terpilih, Mobilnya Baru Dicari

Hal senada disampaikan oleh Hatta yang menulis kepada Sukarno bulan Februari 1929: "... keselamatanmu dalam bahaya ... kau harus menarik diri dari kepemimpinan puncak, untuk sementara tidak muncul di depan publik ... sangat mendesak bagimu untuk meninggalkan Indonesia sementara waktu."

Hatta menambahkan, biaya perjalanan dan tempat tinggal selama Sukarno di Belanda telah tersedia.

Ternyata peringatan itu menjadi kenyataan. Sukarno dan tiga kawannya diadili pada 1930. Ironisnya, Hatta yang mengingatkan Sukarno lebih dulu dimejahijaukan, yakni pada 1927. Hatta dibebaskan dari tuduhan pada Maret 1928. Dia menghadiri liga antikolonialisme di Jerman pada Juli 1928.

Ketika Sukarno dan tiga kawannya ditangkap di Bandung Desember 1929, Hatta menulis artikel pembelaan dalam De Socialist. Kegiatan dalam gerakan itulah yang menyebabkan masa studi Hatta molor sampai 11 tahun. Setelah lulus sarjana tahun 1932 ia pulang ke Tanah Air.

Seperti disinggung di awal, Sukarno memang tidak hadir saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945. Meskipun begitu, dia mengirim surat berisi ucapan selamat yang dibacakan dalam pembukaan Kongres Pemuda II bersama surat Tan Malaka dan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Kenapa dia tidak hadir, ada beberapa alasan.

Versi pertama, masih menurut Asvi berdasarkan pernyatan Abu Hanifah yang dikutip oleh Lambert Giebels (Soekarno, Biografi 1901-195), Sukarno pernah diundang untuk berbicara di depan anggota Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang antara lain dipimpin Soegondo Djojopoespito. Ketika itu para mahasiswa sedang gandrung pemikiran Gandhi yang memboikot kain tenun buatan Barat dan menganjurkan pakaian sederhana buatan dalam negeri.

Dalam pertemuan di sebuah gedung di Jl. Kenari, Batavia, terkesan Sukarno seakan baru datang dari "suatu peragaan busana atau resepsi orang elit" sehingga dicemooh mahasiswa. Informasi di atas perlu dipertanyakan karena buku Giebels sendiri menampilkan banyak kekeliruan fakta historis. Lagipula dia mengutip Abu Hanifah yang baru menerbitkan tulisan tahun 1972 (Tales of a Revolution).

Abu Hanifah sendiri kelak dikenal sebagai pengurus Masyumi yang dalam beberapa hal sangat berseberangan dengan Bung Kamo.

Alasan kedua adalah kesibukan Sukarno dalam mengembangkan partainya. Lagipula dalam kongres itu sudah berperan tokoh PNI seperti Mr. Sunario dan Mr. Sartono. Sukarno tampil di mana-mana. Rakyat terpesona dengan gaya berpidatonya yang penuh retorika Sekadar informasi, Sunaria punya peran krusial saat kongres.

Setelah perencanaan dilakukan secara matang, ternyata pada saat terakhir panitia teradang oleh perizinan dari polisi Belanda. Kongres itu nyaris batal. Pihak kepolisian menolak karena sebelum kongres direncanakan arak-arakan pandu yang melibatkan banyak sekali pemuda. Sebetulnya ini hanya alasan untuk memboikot kongres tersebut.

Menyadari bahwa polisi tidak bisa lagi diajak berunding, maka diutuslah Mr. Sunario (bersama Arnold Manuhutu) menemui pembesar Hindia Belanda yang dapat mengubah keputusan polisi, yakni K de Jonge. Sunario memberikan tawaran dengan setuju pawai itu dilarang tetapi kongres tetap dilaksanakan.

Perundingan itu tidak selesai dalam satu hari. Hari berikutnya selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda itu yang akhirnya memerintahkan polisi memberi izin. Dengan syarat kongres itu tidak boleh mengkritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan pemerintah Hindia Belanda. Kongres hari pertama tanggal 27 Oktober 1928 sempat dihentikan oleh polisi dua kali.

Pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah "kemerdekaan" dan kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri bekerja lebih keras agar tanah air Indonesia dapat menjadi negara seperti Inggris dan Jepang. Meskipun begitu, secara umum, Kongres Pemuda II berlangsung dengan sukses dan melahirkan ikrar heroik yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.