Find Us On Social Media :

Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bukan Hadiah Jepang

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 11 Agustus 2024 | 11:54 WIB

Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia tak lepas dari beberapa peristiwa yang menyertainya. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, menyerahnya Jepang kepada Sekutu, pembentukan BPUPKI, hingga Peristiwa Rengasdengklok.

Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia tak lepas dari beberapa peristiwa yang menyertainya. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, menyerahnya Jepang kepada Sekutu, pembentukan BPUPKI, hingga Peristiwa Rengasdengklok.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com - Jangan sekali-kali mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang yang memang jago dalam urusan propaganda. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari darah dan keringat para pejuang dan para pendiri bangsa.

Artikel ini akan secara singkat menjelaskan sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia, mulai dari pemboman Hiroshima dan Nagasaki hingga pembacaan teks proklamasi pada Jumat, 17 Agustus 1945, di tengah-tengah bulan puasa.

Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 memaksa Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya sekaligus menandai berakhirnya Perang Dunia II. Peristiwa menyerahnya Jepang ke Sekutu memicu golongan muda Indonesia mendesak agar Soekarno dan Mohammad Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Karena awalnya Soekarno menolak segera membacakan proklamasi kemerdekaan, maka golongan muda menculiknya ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat pada 16 Agustus 1945 dini hari. Pada peristiwa penculikan itu, lalu disepakati bahwa proklamasi kemerdekaan diumumkan pada keesokannya atau 17 Agustus 1945.

Usai kesepakatan itu, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta. Setibanya di Jakarta pada pukul 02.00 WIB, mereka singgah di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda yang merupakan Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat tentara Kekaisaran Jepang. Di rumah Laksamana Maeda itulah, teks proklamasi dirumuskan.

Sebelumnya, Bung Karno sudah pernah menuliskan kalimat pembuka pada secarik kertas yang berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”

Kalimat itu diambil dari rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar yang dihasilkan pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Kecil terdiri dari sembilan dan dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Bung Hatta kemudian menambahkan kalimat kedua pada teks proklamasi itu. Menurutnya, kalimat pertama hanya berusaha menyatakan kemauan bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu, harus ada pelengkapnya yang menegaskan bagaimana cara menyelenggarakan revolusi nasional.

Dengan dasar gagasan ini, ia pun menuliskan: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Setelah teks proklamasi disusun, pertemuan diakhiri dengan pengumuman dari Bung Karno bahwa proklamasi akan dibacakan pada pukul 10.00 WIB di halaman rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Awalnya, pembacaan teks proklamasi kemerdekaan akan dilakukan di Lapangan Ikada. Akan tetapi, pasukan Jepang yang terus berpatroli di sekitar Lapangan Ikada menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya bentrokan. Akhirnya, pembacaan teks proklamasi kemudian dipindah ke rumah Bung Karno.

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun 05. Atas Nama bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta.”

Ada beberapa peristiwa yang mengawali peristiwa proklamasi kemerdekaan RI, dua di antaranya adalah pembentukan BPUPKI dan Peristiwa Rengasdengklok.

Pembentukan BPUPKI

Ketika posisi Jepang semakin terdesak karena Perang Asia Pasifik di akhir 1944, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) akhirnya dibentuk. Badan ini adalah wujud pemenuhan janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia.

Tapi Jepang sebenarnya memiliki motif lain dalam pembentukan BPUPKI, yaitu menarik simpati rakyat Indonesia dan mempertahankan sisa-sisa kekuatan mereka. Dengan membentuk BPUPKI, Jepang berupaya membuat pribumi percaya bahwa mereka adalah pembebas Indonesia dari penjajahan pemerintah kolonial Belanda dan Sekutu.

Tak hanya itu Jepang juga masih berharap Indonesia bersedia membantu mereka dalam Perang Asia Pasifik melawan Sekutu. Tujuan pembentukan BPUPKI oleh Jepang memiliki beberapa tujuan.

Di antaranya adalah menarik simpati rakyat Indonesia membantu Jepang dalam melawan sekutu. Kala itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan dan melaksanakan politik kolonial pada 1 Maret 1945. Jepang juga ingin mempelajari dan menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara Indonesia merdeka atau mengenai tata pemerintahan Indonesia merdeka.

BPUPKI beranggotakan 67 orang yang terdiri dari 60 orang Indonesia dan tujuh orang Jepang sebagai pengawas. BPUPKI terdiri atas dua badan, yakni Badan Perundingan atau Badan Persidangan dan Kantor Tata Usaha atau Sekretariat.

Badan perundingan diisi oleh seorang kaico (ketua), dua orang fuku kaico (ketua muda atau wakil ketua), dan 60 orang iin atau anggota. Ketua BPUPKI adalah Radjiman Wedyodiningrat, sedangkan jabatan wakil ketua dipegang oleh Hibangase Yosio (Jepang) dan Soeroso. Adapun dalam perjalanannya, BPUPKI membentuk panitia sembilan dengan diketuai Sukarno.

Anggota panitia sembilan ini diambil dari panitia kecil yang dibentuk dalam sidang pertama BPUPKI. Anggota panitia sembilan terdiri dari: Sukarno (ketua), Mohammad Hatta (wakil ketua), Alexander Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin sebagai anggota.

Tugas utama BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal penting yang berhubungan dengan berbagai hal menyangkut pembentukan negara Indonesia. Selain itu, BPUPKI juga memiliki beberapa tugas lain, meliputi:

- Membahas Dasar Negara Indonesia.

- Sesudah sidang pertama, BPUPKI membentuk reses selama satu bulan.

- Membentuk Panitia Kecil (panitia delapan) yang bertugas menampung saran-saran dan konsepsi dari para anggota.

- Membantu panita sembilan bersama panita kecil.

- Panita sembilan menghasilkan Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Selama perjalanannya, BPUPKI melakukan sidang sebanyak dua kali, yakni pada 29 Mei 1945-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Sidang pertama BPUPKI berlangsung di Gedung Chuo Sangi In, Jalan Pejambon 6, Jakarta (sekarang menjadi Gedung Pancasila).

Dalam sidang pertama BPUPKI yang dimulai pada 29 Mei 1945 dan berakhir pada 1 Juni 1945, dibahas perumusan Dasar Negara Indonesia. Terdapat 39 tokoh yang berpidato tentang dasar negara di sepanjang sidang pertama BPUPKI.

Namun dalam buku Naskah Persiapan UUD hasil suntingan Moh Yamin, hanya disebutkan pidato dari tiga tokoh, yakni Bung Karno, Yamin, dan Soepomo. Dalam buku-buku sejarah yang ada selama ini, sering kali disebutkan lima asas dasar negara dalam Pancasila merupakan usulan dari Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

Tapi penulisan sejarah tentang perumusan Pancasila tersebut tidaklah benar. Pancasila adalah hasil usulan Soekarno. Adapun Moh Yamin dan Soepomo diketahui tidak pernah mengusulkan asas dasar negara yang termuat dalam Pancasila.

Dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, Moh Yamin hanya mengusulkan tiga dasar, yaitu permusyawaratan, perwakilan dan kebijaksanaan. Tiga nilai yang diusulkan Moh Yamin kemudian dimasukkan ke dalam sub-bab sila perikerakyatan yang tertulis di Naskah Persiapan UUD. Dalam penulisan sejarah masa Orde Baru, Moh Yamin disebut turut mengusulkan lima dasar negara, yakni: Peri kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri kerakyatan, dan Kesejahteraan rakyat.

Namun lima dasar negara yang dituliskan Moh Yamin itu bukanlah isi pidato yang dia sampaikan dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945. Kelima dasar negara itu merupakan teks draf pembukaan UUD yang ditulis Yamin atas perintah Soekarno untuk keperluan rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.

Demikian pula dengan Soepomo yang ternyata tidak mengusulkan dasar negara dalam pidatonya di Sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945. Dalam buku-buku pelajaran sejarah ditulis bahwa Soepomo mengusulkan lima dasar negara, yakni: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, dan Keadilan rakyat

Padahal dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang ditulis pada 1995, Soepomo dalam pidatonya, hanya mengajukan teori negara integralistik sebagai jalan tengah antara teori negara individual (liberal) dan komunistik. Dia tidak pernah mengusulkan lima dasar negara.

Adapun lima dasar negara itu diambil secara acak dari pidato Soepomo semasa Orde Baru. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Pancasila merupakan buah pemikiran Soekarno seorang diri. Soekarno mengungkapkan usulan lima asas dasar negara yang kemudian disebut sebagai Pancasila dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Itulah mengapa tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua mengenai menyikapi kekalahan Jepang atas Sekutu. Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Berita kekalahan itu disiarkan melalui radio sehari kemudian, atau pada 15 Agustus. Berita kekalahan Jepang, yang sebenarnya hendak disembunyikan dari para tokoh Indonesia, didengar oleh Sutan Syahrir.

Mengetahui berita penting tersebut, Syahrir bersama golongan muda yang dipimpin oleh Chairul Saleh, mengadakan rapat di Pegangsaan Timur, Jakarta, untuk membahas proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat, disepakati bahwa kemerdekaan Indonesia adalah keputusan rakyat Indonesia, bukan Jepang.

Malam harinya, anggota dari golongan muda, Wikana dan Darwis, diutus menemui Soekarno dan Hatta untuk mendesak agar proklamasikan kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 16 Agustus 1945. Wikana dan Darwis juga mengancam Seokarno dan Hatta, apabila pada 16 Agustus 1945 proklamasikan kemerdekaan belum dilakukan, maka akan terjadi pergolakan besar.

Tapi desakan Wikana dan Darwis tidak dituruti oleh Soekarno dan Hatta, yang berpendapat bahwa lebih baik untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait proklamasi kemerdekaan Indonesia. Golongan tua berpendapat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dirundingkan terlebih dahulu dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Soekarno-Hatta ingin proklamasi segera dilaksanakan, tetapi mereka tidak ingin terjadi pertumpahan darah dengan bala tentara Jepang, yang pastinya merugikan bangsa Indonesia. Untuk itu, Soekarno-Hatta lebih memilih jalan aman, yakni berunding dulu dengan PPKI.

Mendengar jawaban golongan tua, Wikana dan Darwis lantas kembali mengadakan rapat bersama dengan golongan muda di Jalan Cikini 71, Jakarta. Dalam rapat, diputuskan bahwa Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok di Karawang, Jawa Barat, untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang.

Di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Ketegangan di Rengasdengklok dapat diakhiri setelah Achmad Soebardjo, salah satu tokoh golongan tua, menjemput Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok dan menjamin proklamasi kemerdekaan terlaksana pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Setelah mendapat jaminan proklamasi kemerdekaan dari Achmad Soebardjo, golongan muda setuju untuk memulangkan Soekarno dan Hatta ke Jakarta. Sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok, diadakan rapat persiapan kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda untuk menyusun naskah Proklamasi.

Akhirnya, pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan didampingi Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.