Saksi Bisu Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, Nasibnya Kini

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ada sejumlah bangunan atau tempat yang menjadi saksi bisu detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Begini nasibnya sekarang.
Ada sejumlah bangunan atau tempat yang menjadi saksi bisu detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Begini nasibnya sekarang.

Banyak saksi hidup sempat merasakan, melihat, dan mendengar detik-detik proklamasi. Tapi tak sedikit yang menjadi saksi bisu. Ada yang "dinobatkan" menjadi peninggalan bersejarah, ada yang berubah wajah dan fungsi, tapi ada pula yang hanya tinggal riwayat.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Benda bersejarah utama di saat proklamasi diumumkan tak lain adalah teks proklamasi. Dengan selembar kertas tua itu bangsa Indonesia "berteriak" menyatakan kemerdekaan. Teks otentik proklamasi saat ini disimpan dan terawat dengan baik di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.

Salinannya antara lain terdapat di Monumen Nasional (Monas), di Jl. Silang Monas, tersimpan dalam peti kaca antipeluru, di lemari gapura berbahan perunggu seberat 4 ton berlapis emas murni 22 kg, beserta rekaman ulang suara Presiden Soekarno yang dibuat tahun 1953.

Sementara konsep teks proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno, dan tampaknya ditulis dengan menggunakan pensil itu baru setahun yang lalu, 19 Mei 1992, diserahkan kepada Presiden Soeharto.

Lo, kok bisa? Selama 47 tahun 9 bulan 18 hari disimpan dan dirawat dengan baik oleh BM Diah, yang waktu itu adalah pemuda yang aktif dalam surat kabar resmi Jepang. Diah hadir dalam acara perumusan naskah proklamasi, bahkan menemani Sajuti Melik saat mengetik teks tersebut.

Konsep proklamasi ditulis di atas secarik kertas bergaris biru dengan beberapa coretan perbaikan. Kata "diusahakan" diganti dengan "diselenggarakan", "penyerahan" diganti "pemindahan". Kertas tua ini menjadi dokumen bersejarah dan kini disimpan di Arsip Nasional, di Jl. Ampera Raya, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.

Antara naskah asli (teks yang sudah diketik) dengan konsep yang ditulis tangan ada perbedaan. Pada bagian bawah naskah asli ada perubahan tiga kata, yakni "tempoh" menjadi "tempo", "Wakil-wakil Bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia", begitu pula dalam penulisan hari dan bulannya.

Kini Museum Proklamasi

Adalah sebuah bangunan tempat kediaman Laksamana Muda Laut Tadashi Maeda (kepala kantor penghubung antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang), terletak di Jl. Meiji Don 1 (Jl. Nassau Boulevard), dan kini bernama Jl. Imam Bonjol 1, Jakarta. Di sini naskah proklamasi yang sangat pendek, tapi padat itu dirumuskan.

Pertemuan untuk merumuskan naskah proklamasi rencananya diadakan di Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan Duta Merlin), di Jl. Gajah Mada, Jakarta, tempat menginap para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPH).

Tapi pihak hotel tidak sanggup menyediakan tempat untuk rapat malam itu, karena ada larangan melakukan kegiatan di malam hari. Akhirnya pertemuan dipindahkan ke rumah kediaman Maeda.

Bangunan yang tahun 1947 sempat menjadi tempat kediaman duta besar Kerajaan Inggris tersebut, tanggal 25 November 1980 diputuskan menjadi Monumen Sejarah Indonesia. Kemudian pada tanggal 26 Maret 1987, gedung tempat perumusan naskah proklamasi tersebut dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum ini terbuka untuk umum.

Gedung tersebut dulu bercat kelabu (menurut Ny. Satzuki Mishima, sekretaris urusan rumah tangga Maeda) dan dibangun sekitar tahun 1920. Berdasarkan hasil pengukuran terakhir, luas bangunan berarsitektur Eropa (Art deco) itu 1,645,31 m2 dengan luas tanah 4.663 m2. Gedung yang kini bercat putih ini terawat baik.

Wajah bangunan maupun isi dan desainnya memang tak persis sama dengan saat dipakai merumuskan naskah proklamasi. Pada bagian samping kiri dan belakang gedung ada tambahan bangunan baru. Di bagian dalam, ada bekas pintu yang ditutup tembok baru. Meski ada sedikit perubahan wajah, masih ada empat ruangan bersejarah lengkap dengan meja-kursi atau perabot lain yang "semodel" dengan aslinya yang ditata menyerupai suasana kala itu.

Keempat ruangan tersebut diberi nama sesuai dengan kronologi kejadian. Ruang Pra Perumusan Naskah Proklamasi, dulu digunakan untuk persiapan perumusan naskah proklamasi. Ruang Perumusan Naskah Proklamasi merupakan ruang makan dan tempat mengadakan rapat.

Dini hari menjelang pukul 03.00 WIB, Jumat, 17 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo Djojoadisuryo masuk ke ruangan ini untuk menyusun konsep naskah proklamasi di atas sebuah meja bundar. Ruang Pengetikan Naskah Proklamasi berada di bawah tangga, dulu merupakan tempat pengetikan konsep naskah proklamasi oleh Sajuti Melik didampingi B.M. Diah.

Sebelum diketik, konsep naskah itu dibacakan Soekarno di hadapan hadirin dan disetujui. Menurut catatan Moh. Hatta, yang hadir sekitar 40 - 50 orang, sementara sejumlah pemuda menunggu di luar pekarangan rumah Maeda.

Sementara Ruang Penandatanganan Naskah Proklamasi merupakan tempat naskah proklamasi disahkan dan ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia, yang berlangsung menjelang subuh, malam itu juga.

Pegangsaan Timur 56

Sekitar enam jam setelah penandatanganan naskah, tepat pukul 10.00 WIB, teks proklamasi diumumkan oleh Ir. Soekarno didampingi Drs. Moh. Hatta di halaman depan rumah kediaman Presiden pertama RI, di Jl. Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi), Jakarta. Sang Merah Putih pun dikibarkan, dan disusul dengan pawai spontan melintasi Jl. Pegangsaan Timur.

Bendera itu menjadi Bendera Pusaka bersejarah yang kini disimpan di Istana Merdeka. Berukuran 178 x 274 cm, bendera yang dijahit dalam waktu dua hari oleh Fatmawati, istri Soekarno, sekitar pertengahan Oktober 1944, terakhir kali dikibarkan tanggal 17 Agustus 1968.

Selanjutnya, ia tak dikibarkan supaya tidak lekas rusak, tapi tetap diikutsertakan dalam setiap upacara HUT kemerdekaan RI. Sementara yang berkibar hanya duplikat Sang Saka Merah Putih, yang terbuat dari sutera alam asli Indonesia, antara bagian berwarna merah dan putih tidak disambung dengan jahitan, melainkan merupakan satu kesatuan.

Sementara bangunan rumah di Jl. Pegangsaan yang sempat menjadi saksi bisu proklamasi tinggal riwayat. Bekas tempat kediaman Presiden pertama RI itu dibongkar dengan alasan yang tidak diketahui secara pasti. Lalu, di atas lokasi itu dibangun Monumen Proklamator berupa patung Bung Karno sedang membaca teks proklamasi didampingi Bung Hatta, yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1980.

Patung Bung Karno setinggi 4,60 m dengan berat 1.200 kg menampilkan wajah Bung Karno pada saat usia 46 tahun. Sedangkan patung Bung Hatta tingginya 4,30 m dan beratnya 1.200 kg, dengan raut wajah kala usia 43 tahun.

Di antara dua patung tersebut terdapat teks proklamasi terukir pada permukaan perunggu. Kedua patung perunggu tersebut dibuat di Bengkel Gardona di Yogyakarta, arsiteknya Ir. Budiono Surasno.

Di atas lokasi ini juga terdapat Tugu Kilat, yang dulunya merupakan tempat Bung Karno berdiri membacakan teks proklamasi. Tugu ini berbentuk linggis dengan lambang kilat di puncaknya yang menggambarkan gerak pembangunan.

Kilatnya sendiri melambangkdn gelegar proklamasi. Ada Tugu Peringatan Satu Tahun Kemerdekaan RI, dikenal dengan Tugu Proklamasi. Selain itu berdiri pula bangunan bertingkat bernama Gedung Pola, sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan. Kini, lokasi Monumen Proklamator tersebut menjadi semacam tempat rekreasi dan wisata.

Telegraf, telepon, dan radio

Sejak proklamasi diumumkan, siaran berita kemerdekaan tak terbendung lagi, menyebar luas ke seluruh penjuru lewat telegraf, telepon, surat kabar, dan radio. Salah satu. yang punya andil adalah Gedung Aneta (Algemeen Nieuws en Telegraaf-Agent-schap, dulu kantor berita Belanda), di Jl. Pos Utara 57 (kini, Jl. Antara), Jakarta.

Pada zaman Jepang, gedung dua tingkat itu menjadi kantor berita Jepang, Domei (di lantai atas), dan Kantor Berita Antara (yang pada 29 Mei 1942 diubah oleh Jepang menjadi Yashima) menempati lantai bawah gedung itu. Sejak 6 Juli 1942, Yashima dilebur ke dalam Domei sebagai Bagian Bahasa Indonesia kantor berita Jepang tersebut. Tapi ironisnya, melalui Kantor Berita Domei pula pengumuman proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dengan cepat tersebar ke berbagai pelosok tanah air, bahkan ke seluruh dunia pada hari itu juga.

Adam Malik, yang memperoleh teks proklamasi segera setelah dibacakan oleh Soekarno, mendiktekannya melalui telepon kepada rekannya di Domei Bagian Bahasa Indonesia. Kemudian karyawan Bagian Bahasa Indonesia meneruskan berita itu melalui jaringan telegraf (morse-cast) dan telepon ke cabang-cabang di daerah tanpa lebih dulu meminta persetujuan petugas sensor. Jepang tak kuasa menghentikannya, karena berita itu sudah terlanjur menyebar dan dikutip oleh banyak surat kabar, dan juga radio.

Semarang Hosoo Kyoku merupakan satu-satunya stasiun radio yang dapat menyiarkan berita proklamasi pada hari itu juga. Sementara Jakarta Hosoo Kyoku (stasiun radio di Jakarta, kini RRI), di Jl. Merdeka Barat, baru pada pukul 19.00 bisa menyiarkan berita proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, masing-masing dibacakan oleh Jusuf Ronodipuro dan Suprapto.

Meski saat itu studio radio dijaga ketat oleh Jepang, tapi salah seorang wartawan Domei Bagian Bahasa Indonesia berhasil masuk menyusupkan naskah proklamasi dengan memanjat tembok belakang studio.

Surabaya Hosoo Kyoku baru pada malam harinya menyiarkan berita tersebut. Itu pun dalam siaran berita bahasa Madura. Sementara Bandung Hosoo Kyoku menyiarkan berita proklamasi pada tanggal 18 Agustus 1945, pukul 19.00. Lewat pemancar radio di Tegal Lega yang berkekuatan tinggi, penyiar Sakti Alamsyah membacakan berita itu dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dengan didahului dan diakhiri lagu Indonesia Raya. Siaran diulang pukul 20.00 dan 21.00, dan beritanya dapat ditangkap di luar negeri.

Gedung bekas Kantor Berita Domei sudah berubah wajah karena dipugar dan direnovasi. Gedung yang sering disebut Gedung Antara atau Kantor Berita Antara itu tanggal 27 Desember 1992 diresmikan menjadi Museum Graha Bhakti Antara oleh Ir. Handjojo Nitimihardjo, pemimpin umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara.

Sejak Februari 1993 museum tersebut dinyatakan terbuka untuk umum. Pada lantai atas dipajang beberapa benda peninggalan yang berkaitan dengan peran pers di masa-masa kemerdekaan: Ada mesin ketik kuno, kartu-kartu pers tempo dulu milik sejumlah wartawan di masa itu, dan lain-lain. Sementara di lantai bawah dipakai sebagai tempat pameran atau galeri foto jurnalistik Antara. Kini, LKBN Antara berpusat di Wisma Antara lantai 19 dan 20, di Jl. Medan Merdeka Selatan 17, Jakarta Pusat.

Berubah fungsi

Di salah satu ruang Bacteriologist Laboratorium (sekarang gedung FKUI bagian Mikrobiologi dan Ilmu Kedokteran Komunitas), di Jl. Pegangsaan Timur 16, dulu sempat diadakan pertemuan para pemuda yang diketuai oleh Chairul Saleh, berkaitan dengan kemungkinan memproklamasikan kemerdekaan.

Tanggal 15 Agustus 1945, pukul 22.00, Wikana dan Darwis, utusan para pemuda menghadap Soekarno-Hatta untuk menyampaikan keputusan rapat mereka dan mendesak agar mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa menunggu "janji" Jepang. Hingga berbuntut "drama mengamankan" Soekarno - Hatta ke markas Peta di Rengasdengklok oleh para pemuda, pada 16 Agustus 1945, pukul 04.30 menjelang subuh.

Di. Jl. Menteng Raya 31, Jakarta Pusat, terdapat asrama tempat ngerumpi pemuda Angkatan Baru Indonesia yang dipimpin oleh Soekarni dan Chairul Saleh. Dulu, gedung ini merupakan tempat pembinaan pemuda untuk menanamkan cita-cita kemerdekaan di zaman revolusi. Gedung yang pada masa Hindia Belanda sempat dipakai sebagai Hotel Schomper ini dipugar 9 September 1973, dan sejak 19 Agustus 1974 diresmikan menjadi Gedung Joang 45. Yang terkoleksi di sana antara lain mobil Buick Eight yang dulu dipakai Soekarno dan mobil De Otto yang dipakai Bung Hatta.

Kamar bola Kebun Binatang Cikini (yang kemudian dipindahkan ke Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan) sempat menjadi ajang pertemuan para pemuda di kala menjelang proklamasi, 16 Agustus 1945, sekitar pukul 10.00. Kini, di atas tanah seluas 8,3 ha di Jl. Cikini Raya 73 itu berdiri Taman Ismail Marzuki, kompleks Pusat Kesenian Jakarta.

Masih ada beberapa saksi bisu lain, baik secara langsung atau tak langsung yang "terlibat" dalam peristiwa proklamasi. Di antaranya kantor Dewan Sanyo Kaigi (kini, Gedung Pancasila), di Jl. Taman Pejambon 2, Jakarta, pada tanggal 16 Agustus 1945, pukul 10.00, sempat digunakan untuk rapat PPKI. Asrama Mahasiswa di Jl. Prapatan 59, dll.

Apa pun bentuknya, yang jelas semua itu pasti menyimpan kenangan.

Artikel Terkait