Find Us On Social Media :

Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bukan Hadiah Jepang

By Moh. Habib Asyhad, Minggu, 11 Agustus 2024 | 11:54 WIB

Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia tak lepas dari beberapa peristiwa yang menyertainya. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, menyerahnya Jepang kepada Sekutu, pembentukan BPUPKI, hingga Peristiwa Rengasdengklok.

Namun lima dasar negara yang dituliskan Moh Yamin itu bukanlah isi pidato yang dia sampaikan dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945. Kelima dasar negara itu merupakan teks draf pembukaan UUD yang ditulis Yamin atas perintah Soekarno untuk keperluan rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945.

Demikian pula dengan Soepomo yang ternyata tidak mengusulkan dasar negara dalam pidatonya di Sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945. Dalam buku-buku pelajaran sejarah ditulis bahwa Soepomo mengusulkan lima dasar negara, yakni: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan lahir dan batin, Musyawarah, dan Keadilan rakyat

Padahal dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang ditulis pada 1995, Soepomo dalam pidatonya, hanya mengajukan teori negara integralistik sebagai jalan tengah antara teori negara individual (liberal) dan komunistik. Dia tidak pernah mengusulkan lima dasar negara.

Adapun lima dasar negara itu diambil secara acak dari pidato Soepomo semasa Orde Baru. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Pancasila merupakan buah pemikiran Soekarno seorang diri. Soekarno mengungkapkan usulan lima asas dasar negara yang kemudian disebut sebagai Pancasila dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Itulah mengapa tanggal 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila.

Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok terjadi karena adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua mengenai menyikapi kekalahan Jepang atas Sekutu. Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Berita kekalahan itu disiarkan melalui radio sehari kemudian, atau pada 15 Agustus. Berita kekalahan Jepang, yang sebenarnya hendak disembunyikan dari para tokoh Indonesia, didengar oleh Sutan Syahrir.

Mengetahui berita penting tersebut, Syahrir bersama golongan muda yang dipimpin oleh Chairul Saleh, mengadakan rapat di Pegangsaan Timur, Jakarta, untuk membahas proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat, disepakati bahwa kemerdekaan Indonesia adalah keputusan rakyat Indonesia, bukan Jepang.

Malam harinya, anggota dari golongan muda, Wikana dan Darwis, diutus menemui Soekarno dan Hatta untuk mendesak agar proklamasikan kemerdekaan Indonesia dilakukan pada 16 Agustus 1945. Wikana dan Darwis juga mengancam Seokarno dan Hatta, apabila pada 16 Agustus 1945 proklamasikan kemerdekaan belum dilakukan, maka akan terjadi pergolakan besar.

Tapi desakan Wikana dan Darwis tidak dituruti oleh Soekarno dan Hatta, yang berpendapat bahwa lebih baik untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan terkait proklamasi kemerdekaan Indonesia. Golongan tua berpendapat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dirundingkan terlebih dahulu dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Soekarno-Hatta ingin proklamasi segera dilaksanakan, tetapi mereka tidak ingin terjadi pertumpahan darah dengan bala tentara Jepang, yang pastinya merugikan bangsa Indonesia. Untuk itu, Soekarno-Hatta lebih memilih jalan aman, yakni berunding dulu dengan PPKI.

Mendengar jawaban golongan tua, Wikana dan Darwis lantas kembali mengadakan rapat bersama dengan golongan muda di Jalan Cikini 71, Jakarta. Dalam rapat, diputuskan bahwa Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok di Karawang, Jawa Barat, untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang.

Di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Ketegangan di Rengasdengklok dapat diakhiri setelah Achmad Soebardjo, salah satu tokoh golongan tua, menjemput Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok dan menjamin proklamasi kemerdekaan terlaksana pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Setelah mendapat jaminan proklamasi kemerdekaan dari Achmad Soebardjo, golongan muda setuju untuk memulangkan Soekarno dan Hatta ke Jakarta. Sekembalinya Soekarno dan Hatta dari Rengasdengklok, diadakan rapat persiapan kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda untuk menyusun naskah Proklamasi.

Akhirnya, pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno dan didampingi Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.