[ARSIP] Mereka Yang Mengelabui Penjajah Untuk Menyiarkan Sejarah

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Momen proklamasi kemerdekaan RI tak hanya milik Sukarno dan Hatta, tapi juga milik mereka yang berjuang dalam senyap menyebarkan kabar bahagia tersebut.
Momen proklamasi kemerdekaan RI tak hanya milik Sukarno dan Hatta, tapi juga milik mereka yang berjuang dalam senyap menyebarkan kabar bahagia tersebut.

[ARSIP]

Sejarah acapkali tega "menenggelamkan" mereka dari kemilau nama besar para pelakon utama sejarah. Seperti para awak radio ini yang di bawah ancaman samurai mencoba menyiarkan peristiwa proklamasi kemerdekaan RI yang agung kepada dunia luar maupun bangsanya sendiri lewat udara.

Penulis: Pepih Nugroho untuk Intisari edisi Agustus 1992

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Bahwa panggung dunia hampir selalu melahirkan aktor sejarah sebagai pelakon utamanya, ini suatu hal yang sulit terbantah. Seperti halnya pada sebuah lakon sandiwara atau film, aktor pemeran pembantu yang bermain dalam panggung sejarah sering terlupakan. Bahkan kerap kali tidak disebut-sebut sama sekali.

Kita tahu aktor utama dalam panggung proklamasi kemerdekaan RI adalah Soekarno, yang didampingi Hatta, membacakan teks proklamasi atas nama seluruh bangsa Indonesia. Kita kenal pula nama Sayuti Melik, si pengetik naskah proklamasi.

Latief Hendraningrat, si pengerek Sang Saka Merah Putih di halaman Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Atau nama-nama pemuda lainnya yang terlibat dalam perhelatan sejarah proklamasi kemerdekaan RI macam Adam Malik, Sukarni, Soebardjo, Chaerul Saleh, Jusuf Kunto, D. Asmoro, Dr. Muwardi, dan banyak lagi.

Jadi, kurang dikenalnya pemeran pembantu dalam suatu pentas sejarah sering dianggap wajar. Alasannya, tidaklah mungkin semua persona yang terlibat di dalamnya kelak disebut-sebut sebagai pelaku sejarah. Lalu siapa gerangan pelakon-pelakon lainnya yang jarang atau bahkan tidak pemah disebut-sebut itu?

Dari sekian banyak literatur yang menguliti detik-detik sejarah proklamasi, sedikit sekali yang mengungkapkan peranan radio dan para awaknya. Tanpa dukungan perangkat radio beserta awaknya, mustahillah gaung proklamasi akan tersebar luas sampai ke pelosok negeri, bahkan penjuru dunia.

Tetapi mengapa nama Abdulrachman Saleh dan Mohammad Jusuf Ronodipuro–dua nama yang akrab dengan dunia radio yang kebetulan penyiar Radio Hosokyoku–seakan tenggelam dalam kemilau sukses pergelaran sejarah proklamasi kemerdekaan RI yang gemilang itu?

Karena obral janji

Sebagai realisasi janji Jepang seperti pernah diucapkan PM Kuniaki Koiso yang menggantikan PM Tojo, maka janji kemerdekaan bagi Indonesia dilakukan dalam apa yang disebut The Imperial Diet yang ke-85 tanggal 7 September 1944.

Janji tersebut rupanya menyangkut pembentukan suatu badan penyelidik ke arah persiapan matang untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Maka badan yang kelak disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokoritsu Zyunbai Tyoosakai itu pun terbentuk tepat pada hari ulang Tahun Tenno Heika atau hari raya Tentyoo Setsu, 29 April 1945.

Badan yang kemudian diketuai Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat itu bertujuan turut memikirkan dan merencanakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Titik cerah usaha perwujudan kemerdekaan negara RI berdaulat penuh yang dicita-citakan bangsa Indonesia mulai mencuat tatkala Jepang bertekuk lutut pada tentara sekutu. Boleh dibilang ini sebagai titik penentu. Perang Pasifik–Jepang menyebutnya Perang Asia Timur Raya– sudah mendekati ronde pamungkas.

Jepang sudah begitu banyak kehilangan napas dan pengaruh pada tanah jajahannya. Pada Februari 1945 Jepang harus kehilangan Filipina, sementara dua bulan kemudian, pada 1 April 1945 tentara Amerika sudah menjejakkan kakinya di Okinawa.

Pertemuan sekutu di Postdam 26 Juli 1945 kemudian menelurkan satu ultimatum bagi Jepang: "Kami memerintahkan kepada pemerintah Jepang untuk segera mengumumkan penyerahan tanpa syarat kepada semua angkatan perangnya, menjalankan semua perintah, patuh dalam segala tindakan. Penolakan terhadap perintah ini berarti kehancuran total bagi Jepang."

Jelas ini ancaman yang tidak main-main, yang dapat meremangkan bulu kuduk bangsa Jepang pada saat mereka sudah benar-benar kehilangan daya. Apalagi, Amerika benar-benar memenuhi ambisinya dengan membom Hiroshima pada 6 Agustus 1945, dan tiga hari kemudian Kota Nagasaki.

Drama tragis ini malah disambut hangat bangsa-bangsa terjajah mana pun yang sudah begitu banyak merasakan keganasan Jepang. Kekalahan Jepang ini akan berarti pintu kemerdekaan semakin terbuka lebar. Tahu kalau Jepang di ambang kehancuran, maka secara licik sekaligus cerdik, Rusia menyatakan perang kepada Jepang yang sudah tidak berdaya pada 8 Agustus 1945.

Sadar akan kekalahan bertubi-tubi ini, Jepang berusaha mewujudkan janji yang pernah dibuatnya untuk memerdekakan Indonesia. Maka Panglima Tertinggi Pasukan Jepang untuk Asia Tenggara Jenderal Terauchi segera memanggil Soekarno - Hatta dan Radjiman ke Dalat di Saigon, markas besar tentara Jepang di Asia Tenggara.

Bisik-bisik mahasiswa

Kekalahan Jepang memang sudah diperkirakan oleh bangsa -Indonesia, meski datangnya dirasakan secara tiba-tiba. Di pihak lain, karena radio pada saat itu dianggap sebagai jembatan penghubung yang efektif, maka secara sistematis Jepang melakukan sensor keras, bahkah cendeaing merusak peranti yang ada. Caranya dengan merusak dan menyegel gelombang pendek agar semua siaran tidak dapat diterima radio penduduk.

Tapi serapat-rapatnya usaha Jepang, toh berita tentang kekalahannya dapat tersiar pula. Ini terjadi pada 12 Agustus 1945 yang dimulai dengan bisik-bisik antarmahasiswa di ruang kuliah Ika Dai Gaku, Jakarta. Sumbernya keterangan kaum buruh Indonesia di radio militer Jepang.

Esoknya Kantor Berita Domei milik pemerintah Jepang yang didirikan 1 Juni 1936 di Jakarta sudah tidak menerima berita lagi dari Tokyo. Ini memang skenario Jepang. Baru pada 14 Agustus radio Tokyo menyiarkan secara resmi pidato penyerahan Jepang tanpa syarat kepada sekutu oleh Kaisar Hirohito. Bagai menahan derasnya arus sungai dengan beberapa helai jerami, berita memang tidak bisa dicegah untuk dapat tersiar luas.

Meski berita yang sampai berlainan versi, keyakinan bangsa Indonesia bahwa Jepang telah bertekuk lutut telah sangat kental. Ini kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Revolusi harus secepatnya dilakukan, agar kelak kemerdekaan yang didapat tidak terkesan pemberian atau hadiah cuma-cuma dari Jepang. Sebab nyatanya, janji Jepang hanyalah alasan untuk meredam gejolak hati bangsa Indonesia untuk sedikit bersabar.

Tanggal 16 Agustus malam, di rumah Laksamana Maeda di Jl. Miyakodori (sekarang Jl. Imam Bonjol, Jakarta) telah berkumpul beberapa pemuda yang haus dan mengerti benar akan arti kemerdekaan suatu bangsa. Selain Soekarno dan Hatta, hadir Chaerul Saleh, Mr. Subardjo, M. Sutardjo, Dr. Radjiman, Jusuf Kunto, dan kawan-kawan.

Teks yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh Soekarno ditulis tangan dengan pensil di atas, sehelai kertas. Mula-mula dinamakan Maklumat Kemerdekaan. Namun kemudian diganti menjadi Proklamasi Kemerdekaan. Sayuti Melik mengetik coretan itu menjadi susunan huruf yang rapi.

Keesokan harinya, yakni 17 Agustus 1945, di Jl. Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Bung Karno, telah berkumpul beberapa pemuda-pemudi yang akan melangsungkan upacara detik-detik bersejarah itu. Semula hendak dilaksanakan di Ikada. Tetapi batal karena khawatir terjadi provokasi Jepang. Mikrofon sudah disediakan, sekalipun hanya satu.

Pada pukul 10.00 tepat Bung Karno keluar dari ruangan dalam. Dr. Muwardi dan Suwirjo yang menjadi panitia upacara membacakan rencana Pembukaan UUD. Kemudian disusul oleh Suwirjo dan Hatta yang menyampaikan beberapa kata sambutan, menekankan arti sejarah proklamasi kemerdekaan.

Tanpa banyak membuang waktu, Bung Karno lalu tampil ke depan mikrofon, berpidato sebagai pengantar pernyataan proklamasi. Kemudian teks proklamasi kemerdekaan RI yang sangat bersejarah dan menjadi titik penentu itu pun dibacakan. Selesai teks proklamasi dibacakan, bendera Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Ini merupakan detik-detik awal Indonesia merdeka. Rakyat Indonesia bisa bernapas lega di negerinya sendiri.

Lalu bagaimana teks atau berita proklamasi itu dapat tersebar hingga ke pelosok daerah dan penjuru dunia?

Live show gagal

Ada yang kurang disebut-sebut sejarah dari detik-detik proklamasi kemerdekaan RI, yakni sebuah regu yang menamakan dirinya Regu Dajjal. Regu inilah, selain Regu Penggempur dan Regu Palang Merah, yang mendapat tugas sebagai regu propaganda. Tugas berat pertama yang harus mereka pikul adalah berusaha merebut Gedung Hosokyoku (Gedung Radio) di Jl. Gambir Barat 4-5 (sekarang Jl. Merdeka Barat), Jakarta.

Mereka yang mendapat tugas tentu sangat menyadari arti penting sebuah komunikasi atau pemberitaan. Skenario yang mereka rancang adalah bagaimana siaran proklamasi kemerdekaan dari Jl. Pegangsaan Timur 56 itu dapat diudarakan secara langsung, saat itu juga. Kalau tidak, ya diusahakan dapat dibacakan sendiri teks proklamasi kemerdekaan itu pada pukul 10.00 tepat sesuai rencana.

Berbekal sepucuk pistol, Radja Tjut Rachman, Rahadi Usman, dan Ridwan segera memenuhi tugas berat itu. Rencana mereka rapi dan memang sudah diatur secara canggih. Sebelumnya telah dilakukan hubungan dengan karyawan yang bekerja di Gedung Radio tersebut.

Soalnya, pada saat itu Gedung Radio masih berada di bawah kekuasaan Jepang dan dijaga ketat oleh kempetai. Layaknya sebuah adegan film, dengan kepiawaian yang mengagumkan mereka berhasil memasuki ruang operator radio tepat seperempat jam menjelang pukul 10.00. Rentang waktu yang tinggal 15 menit lagi itu mereka rasakan sebagai menunggu bertahun-tahun.

Seorang Jepang tiba-tiba datang menghampiri mereka di kabin siaran. Terjadi keributan kecil di antara mereka. Lantas seorang pemuda lain berlari memberitahu mereka bahwa usaha menyerobot stasiun radio telah gagal dan kepergok Jepang. Pemuda itu menambahkan bahwa mobil lapis baja yang berisi penuh kempetai sudah menunggu di luar.

Proklamasi kemerdekaan RI itu akhirnya gagal disiarkan langsung pada Jumat pagi yang bersejarah itu. Usaha menyelundupkan naskah proklamasi oleh sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran yang bermarkas di Jl. Prapatan 10 gagal total.

Trik mengelabui Jepang

Barulah di sini berkembang beberapa versi. Sejarah mencatat Sjahruddin, salah seorang wartawan Kantor Berita Domei, berhasil menyelundupkan naskah proklamasi ke studio, dia disebutkan masuk dengan cara memanjat tembok belakang pada saat Jepang lengah. Penyusupan ini dilakukan selepas magrib, tepat pukul 18.30.

Setengah jam berikutnya yang terkesan dramatis, yakni tepat pukul 19.00, berita itu dapat disiarkan oleh Mohammad Jusuf Ronodipuro. Dia dibantu oleh Suprapto dan Bachtar Lubis, penyiar seksi luar negeri. Yang disebut terakhir, adalah kakak dan Mochtar “Wartawan Jihad” Lubis. Ronodipuro membacakan naskah dalam bahasa Indonesia, sementara Suprapto beraksi dalam bahasa Inggris.

Konon siaran ini dapat mengudara dari studio dan kamar kontrol seksi siaran luar negeri yang selama tiga hari sudah tidak dipakai. Cara cerdik yang mereka gunakan untuk mengelabui Jepang dengan memutar lagu-lagu dari piringan hitam di studio dan kamar kontrol yang sedang mengadakan siaran. Lagu-lagu itu tidak disalurkan ke pemancar, melainkan melalui pengeras suara dalam studio. Jepang sama sekali tidak menduga di dalam studio justru berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sedang disiarkan.

Siaran ini akhirnya tertangkap Jepang. Pukul 22.00 datang beberapa perwira kempetai ke studio, menciduk Jusuf Ronodipuro dan Bachtar Lubis. Keduanya disiksa habis-habisan, sementara Suprapto dapat melarikan diri.

Entah apa jadinya kalau seorang Jepang bernama Tomobachi yang dikenal punya hubungan baik dengan Indonesia tidak segera datang ke studio. Bisa jadi dua pejuang yang cerdik dan pemberani itu sudah menjadi makanan empuk samurai mereka. Karena campur tangan Tomobachi itulah akhirnya keduanya luput dari maut.

Versi lain menyebutkan, pada malam harinya siaran proklamasi dapat dilakukan baik melalui pemancar Hosokanrikyoku untuk pemberitaan dalam negeri, maupun lewat Taigaihosobu, pemancar militer Jepang yang ditujukan ke luar negeri. Dari kalangan pegawai radio ada beberapa anggota yang menamakan diri Barisan Pelopor Istimewa semisal Sukasmo, Marjono, Sastrohardjo, dan K. Sastrowijoto.

Mereka memang sejak lama dikenal sebagai orang yang anti-Jepang baik dari bagian penyiar, operator, telegraf, maupun stenografi. Mereka inilah yang mempunyai hubungan dekat dengan Dr. Abdulrachman Saleh, seorang dosen di Ika Dai Gaku yang sangat menguasai seluk-beluk teknik radio sampai ke akar-akarnya.

Regu Dajjal yang gagal dalam operasinya itu kemudian mendapat tugas baru, yakni menyiapkan sukarelawan untuk menyebarkan selebaran proklamasi kemerdekaan yang distensil di Kantor Berita Domei. Mereka berteriak sepanjang jalan, "Indonesia Merdeka!" sambil tak lupa menyebarkan pamflet-pamflet tersebut. Kali ini operasi mereka berhasil.

Reaksi luar negeri

Surabaya Hosokyoku memantau berita proklamasi dari buletin Harian Suara Rakyat yang dikirimkan ke studio pada hari itu juga. Tapi kepergok Jepang yang langsung menyitanya. Studio diawasi ketat. Barulah pada malam harinya radio Surabaya dapat menyiarkan berita itu dalam bahasa Madura! Bandung Hosokyoku terlambat satu hari.

Stasiun radio itu baru dapat menyiarkan pada keesokan harinya, yakni tanggal 18 Agustus 1945. Penyiar Sakti Alamsyah menyiarkan berita proklamasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Siaran diulangi satu jam berikutnya dan kini malah dapat disiarkan langsung ke luar negeri melalui gelombang pendek berkat bantuan kawan-kawan dari Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT).

Konon Semarang Hosokyoku satu-satunya stasiun yang dapat menyiarkan berita proklamasi pada hari itu juga. Seperti biasa, pada hari Jumat radio Semarang menyiarkan acara salat Jumat dari masjid agung kota tersebut. Penduduk mendadak terkejut. Sebab ketika siaran dimulai, bukan azan atau khotbah yang berkumandang, melainkan pembacaan naskah proklamasi!

Ini bisa terjadi karena Kantor Berita Domei pusat di Jakarta menyiarkan naskah tersebut secara luas lewat berita kawat sebelumnya, ke dalam maupun luar negeri, meski sebenarnya harus melalui sensor yang ketat. Berita ini selain disiarkan lewat kawat, juga disiarkan oleh staf Indonesia melalui telepon dan telegraf.

Jadi semacam susu instan yang bisa larut seketika, berita proklamasi dalam sekejap bisa menjalar ke mana-mana. Ada usaha Jepang untuk menyiarkan berita susulan yang dimaksudkan sebagai pembatalan atau katakanlah berita bantahan. Namun arus berita sudah "mengalir sedemikian dahsyatnya, tidak mungkin dapat dicegah hanya oleh beberapa helai jerami saja.

Peranan radio memang terbukti ampuh dalam penyebaran berita tentang proklamasi kemerdekaan RI. Baik masyarakat dalam maupun luar negeri tersadar dibuatnya. Radio dalam hal ini telah memainkan peranan penting sebagai aktor sejarah. Khusus untuk tercapainya berita proklamasi ke luar negeri, ada beberapa kelompok yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Mereka yang jarang atau tidak pernah disebut-sebut ternyata merupakan aktor yang tidak kecil peranannya dalam panggung sejarah proklamasi kemerdekaan RI. Masih banyak lainnya yang bahkan tidak pernah disebut-sebut. Yang jelas, mereka tidak menuntut apa-apa, selain menuntut tanah air Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan, terbebas dari terali kolonialisasi.

Merdeka!

Artikel Terkait